Rabu, 24 November 2004

membingkai keikhlasan

ah kau tidak mengerti
tentang puisi gamang
bahkan anginpun tahu
tanpa bertanya
tanpa menunggu hujan reda

biarkan aku sembunyi
meredakan getar hati 

Selasa, 23 November 2004

Bukan barisan malaikat


Jamaah ini bukanlah barisan malaikat
Yang didalamnya tak kau temui kekhilafan
Ia adalah barisan yang Allah adalah tujuannya
Betapapun tidak sempurnanya mereka

//nyontek abis dari rumahnya ienk.. makasih yah


Senin, 22 November 2004

Episode nyolot

@) emangnya itu website siapa sih?
*) ikhwan... bagus kok
@) huh, bagus apanya? gak haroki sama sekali
*) hah? siapa bilang? jelas-jelas di depannya ada sang imam
@) ah, cuma covernya aja, isinya gak haroki sama sekali tuh.
*) yang penting kan bermanfaat. Lagian itu dibikinnya udah lama banget kayanya.
@) ... yang punya website siapa sih? kok dibelain segitunya?
*) gak tahu. Dulu nemu pagenya udah lama banget. Ternyata bagus, suka. Lalu di link deh ke sini.
@) pokoknya gak haroki.
*) emang mau seharoki apa ? susah tahu.. nyari ikhwan yang bener2 haroki dan militan jaman sekarang. Adanya cuma di cerpen
@) eh, pernyataan bagus, ikhwan haroki adanya di cerpen.. ana simpan kata-kata ini di buku harian ana.
*) silakan aja.
@) Lagian... jangan cari yang ideal,carilah yang tepat..itu kata Ust Anis Matta. dia adalah cermin dari kita. Kalo kita mujahid,dia pasti mujahidah gt. Emangnya akhwat militan banyak? Emangnya anti militan? yeee
*) gak tahu. Yang jelas buku "membentuk akhwat militan" ada. yeee**semakin nyolot**
@) terserah deh..
*) ya udah. Sana dimanfaatkan kata2nya. Bikin cerpen aja sekalian. Mau bikin juga ah... kita liat siapa yg selesai duluan
@) boleh aja...
*) ayuh aja.. sapa takut. Huh..

**episode nyolot hari ini selesai, baikan yuk??** 

Kamis, 18 November 2004

Al Muzammil...

Jauh sebelum subuh memanggil. Smsku berdering. Isinya singkat saja.

"Un, bangun yuk. Do'a kita InsyaAllah longgarkan penat :-)"

Sampai hari ini masih kusimpan. Bukan sms rancu dari lawan jenis yang kadang kadang merupakan pembenaran dari pengotoran hati yang diembel embeli dengan dalih dalih islami. Bukan... Tapi dari ukhty fillah yang aku tahu insyaAllah selalu menjaga pertemuan2 rutinnya dengan Ar Rahman di sepertiga malam. Manusia manusia langit tentu sangat cinta padanya. Entah kapan aku bisa seperti dia.

73:1:: yaa ayyuhaa almuzzammilu
Hai orang yang berselimut (Muhammad),
73:2::qumi allayla illaa qaliilaan
bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)
73:6:: inna naasyi-ata allayli hiya asyaddu wath-an wa-aqwamu qiilaan
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.


Selasa, 16 November 2004

buat yg umurnya berkurang satu...


Mau cerita nih. Tentang salah seorang sahabat terbaikku. Yang mana hayoo?.

Sahabat terbaik yang hari ini umurnya berkurang satu *wah bu' umur kite sama donk sekarang*. Yang ngotot memanggilku dengan sebutan 'kak ren', padahal aku cuma lebih tua 2 bulan 7 hari **. Padahal aku memilih untuk merasa lebih muda.. wohoo..*. Yang lagi semangat banget ngerjain skripsi.
Yang hari ini pasti lagi belajar ttg digital signal processing dan sebangsanya di kampus sana *hayoo.. dilarang begadang*.

Tiadanya ucapan selamat dariku bukan berarti aku tidak perhatian. Karena bagiku ucapan2 seperti itu bukanlah hal yang essential, dan kamupun aku rasa paham alasannya. Sama seperti beratnya aku mengucapkan maaf lahir batin ketika iedul fitri. Karena permintaan maaf yang ditradisikan itu ternyata memang hanya 'tradisi' yang hampir-hampir tanpa esensi. Apalagi kartu2 lebaran yang lama2 dimataku cuma seperti simbol2 yang kehilangan arti. Sehingga ucapan 'maaf' yang sakral itu terasa mengalami degradasi makna. Waduh, afwan jadi kemana mana...

Tapi sehabis sholat iedul fitri di KBRI, perasaan2 emosional itu seperti sukar dibendung. Secara spontan aku mencari cari sosoknya yang kebetulan punya nama sama dengan ibuKebagusanRaya di seberang sana. Sebenarnya bukan cuma nama yang sama. Cita cita, harapan, semangat, ghirah, mu'aqobah dan keistiqomahan mereka berdua dalam mengkaji dan mencintai dienul islam ini tak jarang jadi cerminan buat aku yang masih suka abal abalan ini. Mungkin karena itu juga ikatan ikatan hati ini serasa begitu kuat menghujam di sanubari, di taman taman ukhuwah yang mewangi karena semerbaknya kuntum2 tausiyah.

Ternyata si ibu sudah berdiri dihadapanku. Menjabat erat tanganku, memelukku dan menangis. Ah lebaran tahun lalu juga begini ya. Maafkan aku... maafkan aku, begitu katanya, terisak isak. Aku terdiam, berusaha tidak terbawa perasaan. Sungguh bu', selama dua tahun menjadi teman sekamarmu rasanya aku belum pernah disakiti, dilukai, apalagi dijahatin, trus minta maaf buat apa, begitu fikirku. Bukankah hampir setiap malam kita hanya dilalui dengan diskusi diskusi panjang tentang jalan yang tidak akan berhenti kita tempuh. Atau tentang cita cita yang ingin kita rintis, demi keluarga, agama, dunia dan akhirat. Kalau semangat yang kita punya ini bisa menjelma menjadi api, mungkin setiap malam kamar kita sudah hangus terbakar.

"Mungkin ini lebaran bareng kita yang terakhir ya.." kataku. Si ibu malah semakin terguncang guncang. Akhirnya aku tidak ingin mengatakan apa apa lagi Sesak.. pahit sekali rasanya. Kacamataku berembun, jilbabpun miring miring. Abisnya meluk gak minta ijin hehe. Akhirnya ikut2an nangis deh aye. Jadi malu deh euy. Ya sudahlah, meskipun nantinya akan dipisahkan pulau, samudera, atau lautan, insyaALLAH masing2 kita tetap menapak tegak tanpa henti langkah langkah abadi ini. Memenuhi panggilan muslim sejati.

Selamat tinggal sahabatku, Ku kan pergi berjuang, Menegakkan cahaya Islam, jauh di negeri Seberang. Selamat tinggal sahabatku, Ikhlaskanlah diriku, iringkanlah doa restumu, Alloh bersama slalu. Kalaupun tak lagi jumpa, Usahlah kau berduka,Semoga tunai cita - cita. Tegakkan Islam di dalam dirimu, tebar cahanya di lingkunganmu , sambutlah seruan mujahid yang melangkah maju ,Jangan bimbang dan ragu !. Relakah kau panji al-Islam terkulai , runtuh tercabik bahkan musnah terburai. Satukanlah hati dan niatan suci,Hanya ridhlo Ilahi. Jangan tertinggal hai kawan. Raihlah cinta Ar-Rahman.

Kami sadari jalan ini kan penuh onak dan duri. Aral menghadang dan kedzaliman yang kan kami hadapi. Jalan ini jalan panjang penuh aral nan melintang. Namun jua kau lalui tuk Illahi .Walaupun rasa terdera raga berpeluh terluka

**itu liriknya izis loh :P, ditulis mana mana yang inget aja. Soalnya beliau ni suka banget sama nasyidul jihadnya izzatul islam, sampai suatu hari menghadiahiku ringtone 'banteng kebenaran' ^_^ **
InsyaALLAH aku tidak akan pernah lupa akan apa2 yang telah kita jalani bersama sama. Tentu aku akan merindukan saat2 itu. Bagaimana bisa aku melupakan bagaimana emosinya kita berdua setelah menyaksikan sekilas film ttg palestina. Bagimana mungkin aku bisa melupakan bagaimana terbakarnya kita saat menyaksikan episode saat saat terakhir sebelum syahidnya bocah bernama Muhammad Durroh di palestina sana.

Siapa lagi yang tahan berdiskusi denganku berjam jam kalau bukan antuna semua. Aku juga bakal kangen banget sama ibu penyuka bawang putih di Gim Moh road sana, yang tidak pernah protes kalau tiba2 aku pengen mendiskusikan ide ideku atau ilmu ilmu baru yang aku peroleh. Malah ngompor2in dengan bilang "trus trus.. gimana uN* atau *eh uN kamu ngutang nge-lecture in aku ttg ini*. Dan biasanya aku baru berhenti ngomong kalau udah haus atau tiba2 nyadar kalau udah nyampe di boonlay hehe. Aku juga bakal kangen banget sama si ibu "gengsian" yang tidak segan segan mengeluarkan statemen2 yang cukup kontroversial demi kemasalahatan bersama. Sungguh aku tidak yakin, apakah di tempat yang baru aku akan menemukan kenyamanan yang sama. Apakah aku masih akan menemukan getar jiwa yang sama. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin pergi... Waduh, afwan jadi melankolis lagi.

teringat syairnya saujana....
Sedingin embunan dedaun kekeringan. Sesegar ingatan kenangan kisah silam. Kita seiringan bersatu berjuang. Meniti titian persahabatan. Kau hadir bawa cahaya. Terangi hatiku teman. Saling memerlukan dan mengharapkan. Tangis gembira disaat bahagia. Moga kan kekal menuju ke syurga . Kerana Tuhan kita itemukan Andai terpisah itu ketentuan



Minggu, 07 November 2004

and the reason is YOU...


A: nkh? cuma itu alasannya de'?
B: gak .. itu bukan alasan utama.. masih ada lagi.. tapi itu juga penting makanya kusebut duluan...
A: lalu apa de'?
B: da'wah...
A: kenapa? ada apa dengan da'wah di sana?
B: manis sekali... bla bla bla... bla bla bla... *censored*
A: lalu apa yang kamu rasakan setelahnya? bukankah itu membuatmu lebih kreatif de'?
B: iya..
A: bukankah itu membuatmu merasa lebih bisa berbuat?
B: iya...
A: bukankah itu juga mengajarkanmu ttg perjuangan?
B: iya...
A: lalu kenapa de'?
B: ga tahu... kadang ingin seperti disini... di tempat yang kondusif. Agar kefuturan yang kadang membayangi sirna sajalah segera
A: mau apa di sini? satu DPRa saja isinya 200 an. Kenapa tidak mempertahankan lezatnya perjuangan di tempat yg penuh tantangan
B: *terdiam*
A: kamu tahu syarat menjadi sholehah kan de'?
B: *terdiam*
A: musti muslihah juga...
B: saya paham...
A: lalu apa lagi de' alasannya?
B: da'wah.. selalu itu. Jawabanku tidak akan berubah. Bahkan kali ini aku tidak mampu merangkainya menjadi alasan2 yang bisa mba' terima... aku sendiri tidak mengerti.
A: terserah de', tapi pesanku cuma satu...
B: apa mba?
A: apapun yang melandasi setiap langkahmu. Jadikanlah DIA saja alasannya. Cukup DIA saja.
B: insyaALLAH mba'...
A: lalu bagaimana jika kali ini niatmu tidak dikabulkanNya?
B: tolong kuatkan keyakinan saya saja...
A: seperti apa de'?
B: Bahwa berarti menurutNya, ini bukan yang terbaik buat saya, buat agama saya, buat dunia saya, dan buat akhirat saya

//ups melamun rupanya... ternyata memori pertemuan sore sebelumnya sedang memainkan drama satu babak dialog kisi hati. Padahal ibu kebagusanRaya lagi keberatan menenteng buntelan gede bekal "ngalong" tadi malam, sambil asyiknya bercerita.
Moga2 gak ketahuan kalau mindaku sempat *berkelana* bbrp menit hehe. Berjalan menuju terminal busway bundaran BI. Belum lagi pukul 5 pagi. 

Senin, 01 November 2004

[Cluster 3]: Belahan jiwa bunda

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

Di sini --> http://unisa.f2o.org/log/maR04.html pernah kutulis tentang laki-laki itu. Pada entry singkat berjudul "Senyumnya Matahari" , tertanggal Saturday, March 13, 2004. Juga di tulisan-tulisan di tahun-tahun sebelumnya, 2003, 2002, baik pada hari-hari biasa ataupun di hari-hari penting baginya. Selalunya ada entry-entry khusus buat dia.

Beberapa minggu yang lalu berkesempatan lagi berjumpa dengan laki-laki itu. Laki-laki yang sama yang selalu menyita sel-sel kelabu di kepala. Canggung juga rasa hati mengingat pertemuan terakhir dengannya adalah 8 bulan yang silam. Maka terburu-buru menyelesaikan tugas kantor dan segera melesat ke Orchard road, satu-satunya tempat yang ia pahami begitu menginjakkan kaki di Singapura. Beberapa saat menjelang magrib kala itu, saat akhirnya sosoknya kulihat dari kejauhan duduk menunggu di salah satu bangku di depan Lucky plaza. Sedang memandangi arus manusia di depannya.

Aku muncul, melambaikan tangan. Sosoknya berdiri seketika. Ah masih sama. Tinggi besar dan gagah. Wajah coklat tembaga itu tersenyum.
Manis sekali. Garis-garis wajah ayah tergambar jelas di wajahnya. Senyumnya yang malu-malu dan canggung persis meniru ibunda. Pakaian yang rapi, wangi dan matching, jelas bukan meniru uni nya (hehehe...)

Si dia yang dulunya masih berseragam SMP ketika kutinggal ke ITB. Yang beberapa tahun kemudian menjelma menjadi pemuda gagah dengan sisi-sisi pergaulan mengikuti jamannya. Yang bangga dengan koleksi-koleksi musiknya yang hangar bingar bikin sakit telinga, juga sebuah foto asing di kamarnya dengan judul ‘calon menantu ibunda’. (Ooolaalaa.. uni-nya aja tak punya foto dengan judul begitu). Yang bangga dengan teman-teman bermotornya yang rupa-rupa warnanya dan sering memutarin kota Padang sampai pagi tiba. Duh duh adinda. Khayalanku mungkin masih jauh melambung di tsurayya, mengharapmu bergabung dengan barisan-barisan manis yang bukan malaikat namun indah cintanya pada agamanya. Duh duh adinda sudah lama aku menyerah kalah.

Si hitam manis (bukan kucing looh…) mengangsurkan bungkusan mungil. “Ada tempe goreng, kentang goreng, ikan asin dan sambal lado kesukaan uni” katanya malu-malu. Waduh waduh senangnya rasa hati. Maka makanlah kami di sebuah bangku di pinggir jalan itu. Lalu lintas kendaraan yang rapi dan tak banyak polusi menjadi hiburan tersendiri. Kelap kelip lampu kota menghiasi malam menutupi sinar rembulan. Rembulan yang cantik alami dan tak pernah iri pada lampu-lampu kota yang semu indahnya. “Magrib uni, magrib sebentar lagi, mesjid ada di mana?”, ups tidak salah dengarkah telinga ini?. “Ada, ada.. mesjid al Falah namanya, tak berapa jauh, hanya sepeminuman kopi” (dooo serasa di jaman persilatan)

Bergegas ia ketika mesjid di depan mata.
Oh oh sungguh ingin rasanya mengucek2 mata dan mencubit lengan. Benarkah pemuda gagah yang sedang berlari-lari itu pemuda yang sama yang setahuku alergi dengan mesjid dan atribut2nya. Ah biarlah, bukankah Allah sang pemilik hati. Maka terpekurlah aku menunggunya, si belahan hati ibunda, di depan mesjid. Aduh, aduh kenapa lama sekali. Apakah tersasar di dalam? Atau terkunci di kamar mandi?. Tak tahan rasa hati akhirnya melongokkan kepala mencuri-curi pandang ke barisan para Rijal. Mana dimana dirimu. Yaa Rabbi, sang pemilik hati, yang kucari sedang bersujud lama di ujung sana. Yaa bunda, benarkah itu adikku?

Aku mengamatinya menalikan sepatu. Benar. Itu masih dia. Pemuda yang sama yang dari kecil selalu menyamakan panjang tali2 sepatunya sebelum mengikatnya. Dia berdiri, menggamit buntelan yang dibawanya, akan bersiap melangkah ketika matanya tertumbuk pada jejeran buku-buku di pelataran mesjid. “Uni, aku mau buku ini”, ups tidak salah dengarkah telinga ini? Sejak kapan buku-buku fiqih menjadi wished-list nya. “Ah jangan becanda” sahutku harap-harap cemas. Dia tidak menjawab, menatapku sekilas lalu kembali asyik menekuni buku2 di hadapannya. Wajah itu ya wajah itu, walau masih sama dgn bertahun2 silam tapi sesuatu disana berbeda.

“Aku mau buku-buku seperti tadi...” katanya memecah sunyi. Duhai hati tak sanggup bertanya. “Uni punya?”. Aku mengangguk mantap, mengatupkan bibir, memilih tidak berkata-kata. Menahan tetesan bening yang mengumpul di pelupuk mata. Mengalihkan topik, berusaha menyembunyikan haru yang menelusup di ruang-ruang hati. Yaa bunda, benarkah ini adikku?

Namun butir-butir bening itu tak malu-malu menguraikan hujan ketika hari berikutnya mendapatinya dalam diam terbangun kala subuh menjemput. Mengucurkan wudhu, yang seketika itu menjelma menjadi simpony paling indah di dunia. Lalu bersujud panjang di hadapan tuhannya. Yaa bunda, benarkah itu adikku?

Jika ini adalah awal dari suatu perubahan dalam hidupmu, maka semoga istiqomah selalu.