Selasa, 27 Maret 2007

[Cluster-7] Duo malam di Ranah Minang

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

27 maret 2007

Tak kupungkiri!
Selalu saja ada segumpal rasa haru yang menderu-deru memenuhi rongga dada setiap kali pesawat terbang yang membawaku mulai memperlihatkan garis-garis pantai barat Sumatera, dengan pantainya yang bersih dan gugusan pohon kelapa yang indah dipandang dari ketinggian. Ranah Minang! Rasa haru yang luar biasa itu makin hebat saat kaki ini mulai melangkah keluar dari Pesawat dan bergegas-gegas menuju koridor utama untuk segera bertemu MEREKA! Wajah-wajah terkasih. Banyak nian! Nenek, bundo, mama, paman dan deretan sepupu-sepupu mungilku dengan tawa mereka yang khas, murni, bersih, lugu serta bintang gemintang di mata mereka yang penuh sayang.


Kakak pulaaaaaaaang… kakak kami pulaaaaaaaaaaaaaang…., teriak mereka. Lalu deretan wajah-wajah mungil itu akan berhamburan,  berteriak, memegang kakiku, memeluk, mencium walau satu-dua di antaranya hanya sekedar tersenyum malu sambil menyembunyikan tangan di belakang punggung. Tak pernah rasanya malu menghinggapi diri walau selalu saja aku menjadi penumpang dengan sambutan terheboh. Ah biar dibilang kampungan. Tak ada yang melebihi ikatan sayang yang melimpah-limpah antara aku, kakak tertua dan 11 orang sepupu tersayang, walau kebanyakan di antara mereka dilahirkan saat aku di rantau.

Tak kupungkiri!
Selalu saja ada segumpal rasa haru yang menderu-deru memenuhi rongga dada setiap kali mataku mulai bertemu dengan mata IBU. Wajah tercinta yang dengan sabar membiarkan para sepupu menikmati hiruk pikuk dunianya sesaat. Wajah tercinta dengan senyum sabarnya yang tak pernah pudar dimakan waktu. “Anak ibu…” katanya pelan sambil membelai punggungku dengan sayang. Wajah tercinta yang merelakan dirinya 22 tahun bergelut dengan pahit manisnya hidup sendirian.
Hanya untuk memastikan mentari selalu hadir di mata kami. Bagaimanapun caranya. Rindu sangat. Wajah tercinta yang do’a-do’a nya luar biasa hebat. Memotivasi, meneguhkan hati, memantapkan tekad, dan Subhanallah hampir selalu terkabul. Ibu… ibu… andai bisa kupesankan untukmu istana di Surga.

Lalu dua malam terasa begitu singkat. Bagi keluarga ini aku tidak pernah pernah berubah seperti hari pertama aku meninggalkan rumah ini untuk kemudian jarang pulang. Bagi kakek dan nenek aku tetap cucu tertua yang perlu ditemani belajar malam-malam dirumah saat semua orang berkumpul di warung sate kami. Bagi mereka aku tetap perlu dioleh-olehi rambutan, ikan tangkapan dari sungai, serta bengkuang seiap kali akan pegi lagi. Bagi ibu aku tetap anak kecil yang selalu harus dipastikan sudah makan pagi, siang dan malam. Baginya aku tetap anak-anak yang wajib dibelikan sala lauak sebagai oleh-oleh dari pasar.

Buat mama aku tetaplah anak rantau yang wajib dibekali pisang berplastik-plastik fresh from the ladang near our sawah. Bagi sepupu-sepupuku aku tetap kakak mereka seperti saat pergi 8 tahun yang lalu, sehingga setiap pulang wajib mendengarkan cerita-cerita mereka di kamarku sampai menjelang tengah malam. Dan aku wajib bercerita tentang kisah-kisah di rantau, lengkap dengan foto-fotonya. Bagi mereka kepulanganku adalah saatnya berkumpul kita ber12 lalu sekedar menghabiskan seharian di taman melati, pantai padang, museum adityawarman atau sekadar berlarian bersama di ladang atau di sawah. Apapun! Asal bersama-sama


Bagi tetangga-tetangga aku tetap kakak pembimbing dari anak-anak mereka yang kerap datang untuk sekadar menanyakan PR malam hari atau untuk dibimbing menghadapi ujian akhir di sekolah. Sehingga rasa haru tak henti-henti tiap kali selalu kudapati bermacam-macam hasil sawah dan ladang mereka berplastik-plastik yang dikirimkan ke rumah beberapa jam setelah kedatanganku. Mulai dari kacang panjang, jariang (jengkol), patai (petai), ketimun, bahkan telur bebek! Fresh from the kandang. Kadang tak sampai hati mengingat rata-rata mereka adalah keluarga petani yang hidup seadanya. Namun tak tega rasanya menolak pemberian yang disodorkan dengan sungguh-sungguh, senyum terkembang apalagi jika si pemberi masih memakai atribut lengkap dengan tingkuluk di kepala dan kaki berlumpur…

Tak kupungkiri!
Selalu ada rasa geli menggelitik setiap kali kusempatkan barang 1 atau 2 jam berputar-putar dengan angkutan umum Kota Padang yang KHAS!! Keren, wangi, eksentrik, full musik. Setiap unit angkutan berlomba-lomba untuk dihias secantik dan se’gaul’ mungkin untuk menarik hati penumpang. Mode tahun ini sepertinya rumput dan tanaman bunga. Sehingga begitu memasuki angkutan yang berwarna warni dan hiuk pikuk itu, aku serasa berada di taman bunga. Bahkan satu dua diantaranya dilengkapi dengan TV 14 inch.. Haduh haduh.. kotaku ini..


Tak kupungkiri!
Selalu saja malam terakhir di rumah adalah yang terberat. Apalagi beberapa jam menjelang keberangkatan. Saat angkot yang disewa ibu mulai dipenuhi oleh sepupu-sepupuku dan aku harus mendatangai satu persatu keluarga untuk berpamitan. Rinduku belum habis! Dan mungkin tak akan pernah habis. Mereka tak tergantikan. Selamanya. Pun ketika mereka yang masih berumur di bawah 5 tahun dengan gaya digagahkan beramai-ramai merangkulku dan menepuk-nepuk punggungku seperti orang dewasa sambil berkata: ”kakak ka pai liak? Elok-elok se lah yo kak” (kakak mau pergi lagi? Hati-hati selalu). Antara sedih dan geli 


Selamat tinggal ibu, selamat tinggal adik-adik, selamat tinggal keluargaku, bisikku saat melambai-lambaikan tangan dari dalam terminal keberangkatan. Tentunya pada saatnya aku akan pulang lagi dan kita ulangi lagi tradisi kita.
Selamanya