Selasa, 30 Juni 2009

Telah Terbit : La Tahzan for Working Mothers. Beli ya...



Numpang promosi buku baru, terbitan Forum Lingkar Pena.
Senangnya bisa ikutan nulis keroyokan dengan penulis favorit saya (mb Izzatul Jannah) dan penulis-penulis lainnya ^_^

Apakah cinta itu berarti harus selalu ada setiap saat? Apakah bukti cinta berarti dapat dipeluk kapan saja saat hati merana? Tak pernah pergi walau sesaat? Apakah cinta berarti menjadi sosok yang pertama kali terlihat saat mata terbuka, dan menjadi yang terakhir ditatap saat mata terpejam?

Beberapa ibu rumah tangga yang juga sehari-harinya menjalani profesi sebagai ibu bekerja (baik yang berkantor di luar rumah maupun di dalam rumah), ataupun sambil bersekolah, membagi pengalamannya di sini. Cerita tentang menyeimbangkan rumah tangga dan pekerjaan, suka duka membagi waktu, membagi perhatian sembari mengukuhkan cinta dan sayang terhadap keluarga.

Saat bekerja menjadi sebuah keniscayaan. Berkahnya bukan hanya bagi sebuah keluarga, tapi juga bagi banyak pihak lainnya. Saat bekerja menjadi sebuah pilihan hidup, sehingga harus siap dengan segala efek samping di baliknya, siap dengan pahit, getir dan (tentunya) manis gulanya. Saat bekerja menjadi kebutuhan jiwa, stimulus energi, ruang aktualisasi intelejensi, ruang eksplorasi diri, geliat tantangan yang menggoda, dan juga separuh napas kehidupan.

Ibu, tanganmu yang mengepal adalah kepak sayap burung-burung
yang membawa benih
dan menebarkannya
di belantara matahari

Anakku sayang,
Ibu ingin engkau menjadi penyejuk mata,
penentram jiwa,
asa dalam diam, dan sujud kami
mengirimkan lantunan doa ke 'arasy
dalam berlapis harapan semoga engkau menjadi anak yang shaleh...

Buku yang perlu dibaca oleh Ibu-ibu bekerja, ibu rumah tangga, calon ibu, bahkan calon istri sekalipun. Bagi ibu-ibu bekerja, buku ini mungkin dapat menjadi sedikit penawar dahaga dan pembasuh jiwa dalam menghadapi lika liku membagi waktu, tenaga dan perasaan antara rumah dan keluarga. Bagi ibu-ibu rumah tangga yang tentunya sepak terjangnya mengurusi keluarga tiada henti juga demikian hebat, buku ini juga dapat menjadi sumber inspirasi tak bertepi. Bagi calon ibu dan calon istri, buku ini juga dapat menjadi cermin tempat berkaca akan sebentuk tantangan dan anugerah yang kelak akan dijumpai pula.

Dan bagi para calon Ayah serta para Ayah.... buku ini juga dapat menjadi telaga yang jernih untuk menyelami isi hati para istri agar hal-hal yang kadang mungkin tak terucapkan dapat dipahami, hingga tak ada yang pernah merasa terzalimi karena semua hak telah dipenuhi, dalam suatu bahasa cinta.

Di buku ini juga dibahas tips-tips menarik yang mudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, di dalam keluarga dan di lingkungan kerja.

Buku yang menarik untuk dimiliki sendiri, atau untuk hadiah kepada orang-orang terkasih.

Jadi, tunggu apa lagi???

Jumat, 12 Juni 2009

Setelah menonton "Ketika Cinta Bertasbih - The Movie"

"Jika saya punya anak gadis seperti Anna, lalu datang dua lelaki yang melamarnya, yang satu sangat serius belajar dan sedang menyelesaikan program masternya, sedangkan yang satu (belum lulus s1) dan sibuk berjualan tempe dan bakso, kira-kira yang mana yang akan saya pilih?" demikian kira-kira petikan ucapan ustadz Mujab kepada Azzam.

Dialog ini salah satu yang paling membekas dalam diri saya setelah menonton film ini. Tentunya tiap penonton akan membawa pulang kesan yang berbeda. Tapi bagi saya inilah salah satu realitas hidup sesungguhnya yang kadang-kadang oleh sebagian novel/film/cerpen/dst kadang tersingkirkan oleh entah melankolisme yang berlebihan atau keinginan untuk menyenangkan pemirsa sesegera mungkin.

Jika anda-anda sekalian berada dalam posisi sebagai orangtuanya Anna, siapakah yang akan anda pilih? Furqon yang akan segera menyandang titel S2 atau Azzam yang sudah 9 tahun belum lulus s1 dan malah sibuk berjualan tempe dan bakso untuk menghidupi dirinya, ibunya dan adik-adiknya? Apakah ada hal-hal lain yang jadi pertimbangan juga atau itu sudah harga mati?Tentu andalah yang paling tahu jawabannya :)

Ketika Cinta Bertasbih (KCB), novel fenomenal karya Kang Abik pada dasarnya menceritakan perjalanan seorang Azzam, mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo yang 'terpaksa' harus melakoni hidup sebagai mahasiswa dan sebagai pengusaha (penjual tempe dan bakso kan pengusaha juga walau lingkupnya masih kecil) untuk menghidupi diri dan keluarganya di Indonesia semenjak Ayahnya meninggal dunia. Sebelum sang Ayah meninggal, Azam memiliki prestasi belajar yang sangat bagus. Setelah ia membagi waktunya antara menjadi mahasiswa dan pengusaha tempe-bakso, mau tak mau dia harus tunggang langgang melakoni hidup sehingga setelah 9 tahun pun belum juga meraih gelar sarjana.

Di novel maupun Film nya juga hadir tokoh Furqon, seorang ikhwan kaya, modis, yang bersahabat dengan Azzam, sedang menyelesaikan S2 nya di Mesir. Gaya hidupnya jauh berbeda dengan Azzam, untuk menghadapi sidang S2 nya saja, Furqon sampai harus menginap di hotel mewah 'Presiden suite', sampai harus ditimpa sebuah tragedi mengerikan yang akhirnya mempengaruhi jalan hidupnya seumur hidup. Namun secara umum, Furqon diceritakan sebagai tokoh yang baik.

Lalu siapa Anna Althafunnisa? Bagaimana pula sebenarnya kehidupan keluarga sederhana Azzam di kampung halamannya? Bagaimana peranan Husna (adiknya Azzam) sebagai tokoh utama lainnya di dalam Film ini? Dan bagaimana pula sebenarnya karakter Eliana? Seorang artis dan putri duta besar yang pernah 'menggoda' hati Azzam. Loh? kok bisa ikhwan sekaliber Azzam tergoda oleh Eliana? Kenapa tidak? Itulah manusia.

Naaah, baca di novelnya aja ya, KCB 1 dan KCB 2. Atau kalau tidak sempat baca novelnya, tonton aja filmnya, insyaAllah meninggalkan sesuatu yang berkesan di hati. Saya memang tidak berniat mengupas tuntas mengenai film itu di tulisan kali ini (karena itu lah judul tulisan ini bukan Resensi KCB the movie), selain kuatir menyuguhkan spoiler, percayalah bahwa kejutan-kejutan di Film tersebut beserta segala kelebihan dan kekurangannya lebih indah untuk dinikmati secara langsung. Antusias penonton pun sangat terasa, ikut larut dalam setiap adegan-adegan. Sangat terasa bagaimana penonton sangat menjiwai film yang kemarin saya saksikan. Mereka ikut senang dan bahagia ketika tokoh utama sedang berbahagia. Mereka ikut berseru kuatir, sedih, dan (ada yang) menangis, ketika tokoh utama mengalami kesusahan. Dan ikut tertawa gembira ketika disuguhi adegan-adegan lucu.

Berikut adalah beberapa hal yang menurut saya menjadi nilai lebih dari film ini :

  1.  Setting film sebagian besar benar-benar di Mesir. Kita jadi ikut larut menikmati indahnya pesona alexandria karena beberapa kali adegan diambil di pinggir lautan yang indah. Seringkali kitajuga serasa berada di tengah hiruk pikuknya kota Cairo dengan segala keunikannya. Serasa berada di apartemen mahasiswa Indonesia di sana. Kita juga dibawa melayang ke suasana akademis kampus al-Azhar university Cairo. Dan tentunya menyusuri eksotisnya sungai nil di beberapa kesempatan. Indah ! Bagi saya ini pengalaman visual yang jarang didapati.
  2. Di Film juga cukup terasa nuansa beragam suku mahasiswa Indonesia, dengan masing-masing dialek yang khas. Bahkan ditampilkan suatu acara perkawinan dalam suku tertentu, beserta lagu dengan bahasa daerahnya. Bagus! Daerah manakah itu? Penasaran kaaan, yang jelas suatu daerah di Sumatera.  Bagi saya ini merupakan nilai plus, karena di sebagian besar (mungkin seluruhnya?) novel-novel karya kang Abik sangat kental dengan nuansa jawa terutama solo. Di filmnya kita disuguhi suasana yang lebih kaya.
  3.  Unsur edukasinya sangat bagus, namun tidak terasa menggurui. Mengalir begitu saja, namun melekat dalam ingatan. Hal ini tentu tak lepas dari banyaknya terlibat seniman-seniman besar yang sudah menghasilkan karya-karya yang tidak sekedar profit oriented tapi juga kaya edukasi. Sebut saja Chaerul Umam, Deddy Mizwar, Neno Warisman, Didi Petet dll
  4. Terasa lebih manusiawi. Tak jarang (yang saya rasakan) karya-karya yang bergenre islami, kadang-kadang tanpa disadari menghadirkan tokoh-tokoh bersifat 'malaikat' di dalamnya. Di sini rasanya mengalir lebih alami, lebih natural, dan kealamian sikap serta perasaan tokoh dapat kita rasakan dengan wajar. Tokoh utamanya tetap dihiasi karakter yang memukau, akhlak yang baik, tutur kata yang santun, perilaku yang halus dan ilmu agama yang luas. Namun beliau tetap 'pernah' tergoda ketika godaan duniawi menerpa. dst dst.
  5.  Diselilingi humor-humor segar. Film ini walaupun sarat nilai-nilai islami, kesantunan, dst dst, namun kita tetap dapat menikmati adegan-adegan lucu yang tetap santun dan alami. Hal ini sangat jarang kita jumpai di jaman ketika kelucuan-kelucuan biasanya tak lepas dari olok-olok terhadap fisik seseorang, terhadap ras, kebiasaan, atau bahkan menertawakan keabsurdan gender yang akhir-akhir ini sedang marak. Humor-humor di film ini tetap tidak melepaskan diri dari kesopanan dan kesantunan.
  6. Mengenai poligami. Jika selama ini  isu poligami yang diangkat  selalu menyangkut fenomena seorang suami yang beristri lebih dari satu dengan segala pro dan kontra-nya. Maka percayalah bahwa di film ini diangkat sisi yang lebih berbeda. Yaitu ketika seorang calon istri mensyaratkan untuk tidak di'madu' sepanjang masih hidup dan sepanjang masih bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri. Loh? memangnya bisa? Penasaran kan? makanya baca novelnya atau tonton filmnya :)
  7. Menyentuh. Tentuuu. Ini kan ciri khas (novel) karyanya Kang Abik. Siapa yang tidak terbuai dengan pilihan-pilihan kalimat beliau di dalam Ayat-ayat cinta, Ketika cinta bertasbih, Langit Makah berwarna merah dll. Penikmat karya beliau pasti tak asing dengan kalimat-kalimat berikut : "Wahai orang yang lembut hatinya. Aku tak ada siapapun kecuali Allah di hatiku. Aku hanya ingin menjadi yang halal bagimu".Atau di Ayat-ayat cinta...

"Assalamu 'alaikum warahmatullah wa barakatuh.Kepadamu kukirimkan salam terindah, salam sejahtera para penghuni surga. Salam yang harumnya melebihi kesturi, sejuknya melebihi embun pagi. Salam hangat sehangat sinar mentari waktu dhuha. Salam suci sesuci air telaga Kautsar yang jika direguk akan menghilangkan dahaga selama-lamanya. Salam penghormatan, kasih dan cinta yang tiada pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa" 
Atau ketika Anna Althafunnisa mendefinisikan cinta, setiap kalimatnya menyentuh hati (sayangnya gak apal) 
Atau ketika perasaan rindu dan kasih kepada orang tua yang jauh dilukiskan dengan pilihan-pilihan kalimat yang begitu indah, atau ketika perasaan rindu kepada Rasulullah digambarkan begitu hebat, atau ketika perasaan takut dan harap kepada Allah diceritakan begitu kuat, sehingga menggetarkan perasaan.
Itulah ciri khas kang Abik. Kekuatan kang Abik dalam mendeskripsikan sesuatu yang menyentuh hati mungkin (buat saya - untuk kalangan penulis Indonesia) baru bisa ditandingi oleh kekuatan metafora Andrea Hirata yang begitu kuat, ilmiah, dan khas (tentunya dalam konteks dan genre yang berbeda).

Namun bagaimanapun Novel dan Film tentunya berbeda. Untuk saya pribadi, bagaimanapun kemampuan novel untuk mendeskripsikan segala sesuatu dengan sepanjang-panjangnya, seindah-indahnya, sejelas-jelasnya, sekuat-kuatnya, adalah suatu seni tersendiri yang kadang tak selalu mampu didefinisikan oleh kekuatan visual.

Demikianlah sekelumit 'nilai lebih film ini di mata saya, tentunya yang saya rasakan berdampingan dengan segala kekurangan-kekurangannya. Kekurangannya di mata saya, durasi film ini cukup panjang (2 jam), dengan dialog-dialog yang terlalu panjang. Namun dialog yang panjang ini pada dasarnya menjadi 2 sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dengan edukasi dan pesan-pesan moral yang ingin disampaikan.

Itu sajalah dulu, kalau terlalu panjang kasian yang belum nonton atau yang belum baca bukunya. Kuatir merusak imajinasi ^_^

Di bagian penutup film ini juga ditampilkan sekilas proses audisi untuk mencari 5 bintang utama film ini, di berbagai kota di Indonesia.

Sungguh 2 jam yang sangat berkesan. Demikian juga bagi lelaki yang menemani saya sepanjang 2 jam ini. Seorang lelaki yang pernah harus tunggang langgang membagi waktu kuliahnya dengan berbagai usaha-usaha kecil yang kerap kali jatuh bangun. Lelaki yang harus merelakan masa akademisnya berjalan begitu lama karena harus diselingi dengan aktivitas mencari nafkah dengan cara menjual ikan bakar, jualan kaos kaki, jaulan pernak pernik seribuan, jualan sayur-mayur dst dst. Nah, sekarang pembaca paham kan, mengapa saya membuka tulisan saya dengan paragraf di atas ^_^