Sabtu, 23 Mei 2015

Menjajaki Calon Sekolah

Kemaren berkunjung ke sebuah Primary School (Dutch School) di Delft dan ngobrol lama dengan Kepala Sekolahnya. Ketakjuban pertama adalah, 100% waktunya benar2 untuk ngobrol dengan saya. Jadi semua telpon masuk, ketukan di pintu, atau peristiwa apapun (mungkin kecuali gunung meletus - tapi di sini gak ada gunung), benar-benar gak dia hiraukan. Untuk ketemu beliau memang udah janji 1 bulan sebelumnya. Walau demikian tetap saja rasanya dihargai banget. Ketakjuban kedua adalah, segala hal dia kerjakan sendiri. Mulai dari bukain pintu, menjelaskan tentang sekolah, ngisiin formulir pendaftaran, nyiap2in brosur, ngajak keliling2 sekolah, bahkan input data di komputer. Kepala sekolah di sini gak punya asisten. Rupanya segala hal yang berhubungan dengan penerimaan murid baru memang Kepsek yang langsung menangani. Jadi selama hampir 2 jam pertemuan itu kami ngobrol banyak tentang metode pendidikan di SD tersebut, dan dia benar-benar menjelaskan dengan telaten, satu persatu (sampai saya sempat merasa gak enak udah menyita waktunya terlalu lama).
Ngomong2 tentang jadwal. Salah 1 karakter orang Belanda yang saya pahami adalah mereka sangat teratur dengan schedule-nya. Maka wajar di sebuah SD lain susah sekali ketemu dengan Kepseknya, karena dia harus mengurus 2 sekolah! Takjub banget. Dan dia benar2 ga punya asisten (teachers ga bisa dibilang asisten donk).

Salah 1 yang dibahas adalah potensi kekagetan anak-anak di awal-awal karena tahu2 harus nyemplung di SD yang memakai Bahasa Belanda, lalu dibahaslah beberapa pengalaman2 guru dan tips2 untuk menghadapi hal tersebut. Saya insyaAllah percaya, teko-teko kecilku yang sekarang masih sibuk bermain-main lumpur di sawah-sawah dan sungai-sungai kota Padang itu akan cukup tangguh menghadapi kendala bahasa ini (emaknya PD banget yak.. hehe.. as ussual). *ini ngomongin anak loh, bukan belut (soalnya yang main lumpur di sawah gak cuma belut), takut ada pembaca yg salah persepsi.

Saya cukup senang mendapati metode pendidikan yang lebih mengedepankan unsur bermain, imajinasi, mendengarkan pendapat anak, dan berpetualang. Ketimbang melulu ngomongin masalah2 science itu. Well,untuk menjadi hebat di masa depan bukan berarti kamu harus juara matematika, fisika, kimia dll gitu sih menurutku. Toh emak juga ga pernah juara olimpiade apapun, masih bahagia aja ampe sekarang tongue emoticon. Jadi kalau kelak teko-teko ingin jadi seniman, emaknya gak masalah kayaknya hehe. Serta ada kunjungan2 ke museum. Seru banget kan (ini emaknya jangan2 minta ikutan!).

Anak-anak mungkin akan rindu suasana minangkabau yang ramai dan penuh petualangan. Abang akan rindu masa-masa kepeleset trus kecemplung heboh di sawah (dia bangga banget nyemplung di sawah sementara emaknya stres, menurut dia itu prestasi!). Abang akan sedih karena obsesinya memelihara ular sawah ga pernah kesampaian (plis deh, Nak). Adik akan rindu petualangan ngasih makan ayam dan burung-burung peliharaan di rumah. Rindu saat2 stress pertama kali ketemu sapi. Kebahagian mereka saat mengetahui perbedaan mendasar antara kambing dan keledai. Ketakjuban mereka saat tahu-tahu ada sapi yang bebas berkeliaran (beberapa sapi memang suka anti mainstream!). Perasaan2 asyik saat bermain2 dengan cacing. Dan tentunya masa-masa 'On the job training' mereka sebagai keturunan ke-4 pedagang sate harus segera diakhiri. Setidaknya mereka bisa sedikit menghayatilah, inilah lingkungan yang membesarkan bundo-nya. O ternyata tsakep2 begitu, bundo ternyata dulu kembang sate (sedikit di bawah kembang desa.. hahaha).

Anak-anak harus pindah lagi dari 'comfort zone' nya yang baru. Dari hebohnya kota Jakarta dengan belantara beton-nya, tahu-tahu harus pindah ke pinggiran kota Padang yang ndeso, tapi penuh kekeluargaan. Lalu dari sebuah keramaian yang selalu tumpah ruah, bahkan antara tetangga seperti tiada jarak, dan setiap hari belasan anggota keluaga selalu singgah untuk bercengkrama hingga malam menjelma... tahu2 pindah lagi ke Belanda yang relatif lebih sunyi.
Kelak mungkin akan kuceritakan sebuah kalimat dahsyat buat mereka, dari sebuah halaman di Sang Pemimpi :
"kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu. Tanpa mimpi,orang seperti kita akan mati. (Arai, Sang Pemimpi)"

Namun saya yakin mereka akan betah di sini. InsyaAllah. Walau saya dikasih PR besar ama gurunya, yaitu :
  1. Ngajarin anak-anak naek sepeda (padahal emaknya juga baru bisa di hari pertama hidup memaksa dia untuk naik sepeda he.. he.. he). Sekolahnya gak dekat2 amat dengan rumah, sehingga masih perlu naik sepeda sekian menit-lah kiki emoticon
  2. Ngajarin anak-anak BAB sendiri dan membersihkan badan dengan tissue (ini susah! gimana donks. Panik ~_~). Dibesarkan di lingkungan di mana sungai Lubuk Minturun mengalir deras sepanjang 4 musim (musim durian, musim rambutan, musim duku dan musim kuaci), terbiasa mencuci, mandi dan $@$@$!^** di sungai, dengan air yg melimpah ruah, bagaimana bisa ke toilet dengan bekal tisue ~_~
  3. Menyiapkan bekal makan siang yg sehat setiap hari. Ondeeeh. PR banget nih krn saya belum paham apakah sejenis gulai ayam, terong balado, sambel goreng ati bisa disebut sehat? Kemaren lupa dibahas. Daaaan... semoga ada waktu (serta niat yang kuat) sih. Mengingat seseorang bisa survive berbulan2 hanya dgn telur rebus dan sosis panggang ~_~

Masih puluhan hari sebelum anak-anak benar-benar datang ke sini. Masih puluhan hari sebelum masa penantian ratusan hari ini benar-benar berakhir. Namun apalah artinya puluhan hari dibanding 1 tahun. Jadi rasanya memang mereka seperti sudah di pelupuk mata. Seolah sudah dalam rengkuhan.
Dan aku cukup senang akhirnya menemukan sebuah primary school buat mereka, setelah masa pencarian lumayan lama.

Walau kelak akan ada masanya kami cuma ber-3 saja di sini, semoga keyakinanku bahwa insyaAllah akan senantiasa ada petunjuk, kemudahan dan pertolongan untuk kami, memberikan suatu kekuatan bahwa kadang kita tak pernah tahu batas kemampuan kita sebelum benar-benar ada kesempatan untuk mencobanya.

Kemarin antara senang dan sedih mendengar kabar bahwa si abang sedang siap-siap mempelajari resep gulai ayam. Senang karena fikirannya futuristik banget (emaknya bahkan baru bisa bikin gulai ayam jauh setelah jaman orde baru berakhir, tepatnya 1,5 dekade setelah issue Y2K berakhir). Sedih karena itu sedikit menggambarkan kekuatiran dia atas kemampuan bundo-nya memasak... hehehe...

Delft,
H-sekian puluh hari, sebelum H1 dan H2 memulai petualangan barunya ^_^