Kamis, 03 September 2020

[Goresan] Sang waktu


Berdialog dalam sunyi..

Berdiam dalam sepi..
Kesendirian kadang memberi ruang untuk kontemplasi..
Menyapa takzim sang waktu yang merajai hari..

Pada akhirnya, sang waktu memang selalu bermetamorfosis menjadi 2 pilihan.

Pilihan pertama: waktu seolah obat atas lelah penat perjalanan, penawar dahaga, dan formula ajaib pengubah pahit menjadi madu. Sehingga setiap tarikan nafas selalu terasa semakin manis dan semakin manis.

Pilihan kedua: waktu seolah kabut yang turun perlahan di dataran rendah penuh rawa. Semakin pekat dan semakin padat, mengungkung pembuluh jiwa, menyesakkan dada. Sehingga setiap tarikan nafas terasa semakin pahit dan semakin pahit.

Akan halnya diri, rupanya terkadang lupa bahwa hakikatnya pemaknaan waktu adalah pilihan. Memilih menjadikan tarikan nafas terasa semakin manis, atau sebaliknya terlena dalam sisi-sisi perih berkubang-kubang.

Pilihan yang akan memberi makna pada usia..
Ah, usia..

Akhir-akhir ini, waktu selalu mengingatkan pada pudarnya siluet kesukaanku.
Yang sering berdiri di persimpangan fikiran.
Tampak gusar pada kerumitan yang kadang tak terurai.
Penuh lompatan-lompatan pertanyaan mencengangkan.
Kegusaran yang memukau..

Akhir-akhir ini, waktu seolah memaksaku, memudarkan sebuah ruang rindu.
Tempat resonansi jiwa bermula, lalu perlahan bermukim nyaman di sebuah ruang rahasia.
Apa perlu aku hilangkan kuncinya?

Ada yang tak bisa pergi.
Ada yang tak ingin kulepas pergi.
Padahal, biarkan saja pergi.
Lalu abaikan remah pahitnya, kumpulkan ceceran yang manis seperti gula.

Hari ini..
Kembali kulepas siluet itu pergi
Walau akan redup cahayaku
...semoga tak lama

Kemudian, ibarat kupu-kupu,
Bersiap terbang, hingga jarak makin terbentang.
Terbang adalah keharusan
...supaya sayap tetap mengepak
...supaya tak ingat lagi perih
walau diterjang halilintar
walau kilat menyambar
walau takut jatuh lagi.

ah tidak,
kalaupun jatuh
haruslah sanggup berdiri dan terbang kembali..
mengejar warna warni pelangi.

Terima kasihku kepada pihak-pihak yang membuat senyuman begitu cemerlang. Walau ditingkahi oleh sebuah cengiran usil di sudut hati yang pelan-pelan harus dipadamkan. Harus dipadamkan

Rabu, 26 Agustus 2020

[Goresan] Terima kasih yaaa

Jadi,

Aku mau bilang makasih, atas segala nasehat, masukan berharga, perenungan-perenungan, bahkan obrolan-obrolan receh yang kita bicarakan. Segala lautan narasi, deskripsi, diksi itu, berkejar-kejaran memasuki ruang-ruang pemikiranku. Sebagian masuk ke ranah sel-sel kelabu yang seringkali membuat dahiku berkerut, otak meleleh. Sebagian lagi bersemayam ke ruang-ruang syahdu yang menentramkan hati. Bahkan tak sedikit juga yang menelusup membaur dengan hormon oksitosin, dopamin dkk, yang membuat sudut-sudut bibir ini melengkung ke atas. Aku tersenyum dan tertawa....

Jadi,
Aku mau bilang makasih, atas sebuah hal penting yang kadang aku consume semena-mena. Hal yang tak kan terulang.
Sang waktu.
Iya, makasih atas segala waktu yang disediakan. Waktu untuk mendengarkan rentetan kalimatku yang seringkali gak beraturan, lalu kau bantu menjadi terstruktur dan indah. Waktu untuk mendengarkan ocehanku yang kadang melompat-lompat memenuhi udara, berebutan mengatakan banyak hal yang kadang tak benar-benar aku pahami, lalu sepenuh hati kau ubah jadi penuh makna. Bahkan waktu untuk mendengar keluh kesah dan irama kesedihanku yang konyol. Sangat cetek. Tak proporsional dengan umur dan berat badan. Yang kadang dalam sekejap berubah lagi jadi tarikan sudut-sudut bibir melawan gravitasi. Aku tersenyum dan tertawa...

Jadi,
Aku juga mau bilang makasih atas ditanamkan padaku bahwa:
...yang penting itu adalah bagaimana menikmati setiap proses yang dilalui.
...bagaimana menjemput hikmah dan manfaat yang kadang mengintip malu-malu.
...kadang kita tersenyum saat menemukan hal-hal baru.
...dan kadang jatuh lalu bangkit lagi ketika sempat sedih karena merasa kaki tiba-tiba lemah.
...dan semoga setiap kalimat yang kita baca, setiap kata yang kita tuliskan, berperan menjadi mata pena yang tajam mengukir kekuatan karakter dalam diri kita. Rasanya seperti ada gemintang masuk ke mataku sejenak, lalu keluar menjelma matahari. Segala pahit menjelma menjadi gula...

Jadi,
Aku mau bilang makasih atas segalanya...
Hanya bisa kubalas dengan do'a.
Karena kufikir, do'a dalam diam adalah ungkapan rahasia paling sempurna.

Terima kasih pernah ada...
Walau kemudian menjadi tiada...

Kamis, 23 Juli 2020

Mendadak lomba menulis artikel religi

Lupa gimana awalnya. Dalam 2 minggu ini bertubi-tubi pesanan buku-buku datang ke rumah. Dan rasanya menyenangkan mencuri-curi waktu untuk membacanya. Awalnya 5 menit, 10 menit, 15 menit, lalu akhirnya jam-jam nonton youtube sebelum tidur jadi beralih ke buku-buku ringan ini.


Lupa gimana awalnya, saya menikmati kembali rutinitas yang belasan tahun terlupakan. Membaca buku. Iya, buku. Beraroma kertas, bisa dibolak-balik, bisa dibawa2 kemana2, bisa dilipat (eeh), dan kadang penyok karena ketimpa tidur.

Lupa awalnya gimana, diksi-diksi yang berceceran di setiap halaman terasa berebut-rebutan secara visual tampil di hadapan saya. Keindahan narasi ust Salim A Fillah yang menggambarkan apapun dengan melankolis dan mendayu-dayu (bahkan kisah perang), kedalaman bahasa al Mubarakfury menyajikan kisah hidup Insan Mulia yang: gagah sebagai pemimpin, namun luar biasa romantis sebagai kepala keluarga. Santunnya penggambaran an-Nadawi tentang Ummul Mukminin Aisyah yang tak hanya tentang sifat cemburu, manja, dan penyayangnya, tetapi juga aspek-aspek kecerdasan dalam dirinya yg membuat kita berkata "Sekarang saya paham kenapa beliau menikah di usia begitu muda". Bahkan saya tak berhenti ternganga membayangkan pasukan al-Fatih menyeret kapal-kapal melewati hutan dan bukit Galala. Bukan di lautan.

Kemudian, hati menjadi malu saat buku "Agar Bidadari Cemburu Padamu", mengoyak-ngoyak kualitas diri dan menampar-nampar qalbu. Menuju usia 40 tahun, sudah punya bekal apa menuju mati. Bekal yang membuat Bidadari Cemburu? Nol besar.

Adapun buku yg saya fotokan ini adalah buku yang paling saya kagumi, karena tentang rumah tangga dan pernikahan barokah.

Barakah, kata penulisnya, bukan hanya tentang menikah. Saya kutip ya, halaman 12:
"Barakah itu, mencurahkan musim semi meski masalah membadai.
Barakah itu, membawakan senyum, meski air mata menitik.
Barakah itu, menyergap rindu di tengah kejengkelan.
Barakah itu, menyediakan rengkuhan dan belaian lembut saat dada sesak oleh masalah"

Indah ya.
Ah semoga, sisa hidup penuh berkah....