Dari webmis:
Saya menemukan cerita ini sehabis ngubek ngubek koleksi cerpen islami di copy
dari portal kita jaman dahulu kala. Sayangnya saya gak tahu siapa nama
pengarangnya. Yang jelas ini pernah dimuat di annida 2000. Selamat membaca =).
InsyaAllah bermanfaat ^_^
=============
( Catatan Harian Seorang Laki-Laki, Maaf, Bacaan Khusus Laki-Laki ! )
15 Januari 2000
Yap, akhirnya! Berhasil juga kudapatkan cinta
Rika, si tomboy yang jago mendaki gunung itu setelah beberapa Minggu ini aku
giat merayunya. Itupun dengan dilandasi ejekan Andi dan Yanto yang menantangku,
"Ayo, Fan, taklukin tuh cewek. Ingat waktunya sebulan!"
Dengan modal dasar ditambah keahlianku merayu, Rika menerima cintaku di sini,
saat kami berhasil mencapai puncak Gunung Purtri Elok I dengan waktu kurang
dari satu bulan. Ini sesuai dengan target konyolku: Tahun Baru, Pacar Baru!
Kebersamaan kami dalam pendakian atau di sekretariat MAPALA membuatku tertarik
pada Rika. Bayangan Ayu yang menjadi pacarku hampir tiga bulan hilang begitu
saja. Wajah lembut keibuan itu terkikis oleh wajah imut dan ceria milik Rika.
Malam itu sungguh mengesankan. Rekan-rekan sependakian menyanyikan kami
lagu-lagu mesra dengan diiringi gitar di sekeliling api unggun sebagai tanda
peresmian kami. Tentunya
sepulang dari pendakian ini Andi dan Yanto harus bersiap-siap mentraktirku
makan besar.
21 Januari 2000
Aku hampir tidak dapat berdiri lagi akibat kekenyangan menyantap makanan
kesukaanku di Enas Café. Ini masih jatah dari Andi. Besok Yanto yang
mentraktirku. Keduanya tak henti-henti memuji keberhasilanku mendapatkan Rika.
"Tapi bagaimana dengan Ayu, Fan?"
"Gampang," kataku cuek sambil menghembuskan asap rokok. "Kampus
MIPA dengan FE kan jauh. Pintar-pintar akulah membagi waktu dengan keduanya.
Walau ketahuan, terserah mereka mau bagaimana. Aku bisa cari
penggantinya."
"Huuu.., kamu benar-benar playboy antic dari Fakultas Ekonomi, Fan !"
31 Januari 2000
Pagi tadi secara tidak sengaja aku bertemu Ayu di kantin Pak Li. Andi, Yanto,
dan Pardan buru-buru membuang muka dan menjauh. Aku tidak bisa mengelak.
"Fan, kamu mulai jarang datang," suara halus calon ibu guru itu
lembut menegurku. Kulihat mukanya kusam. Aku segera pasang muka serius.
"Maaf, Yu. Aku sibuk."
"Sebegitu sibukkah, Fan, sampai-sampai tak ada waktu sedikitpun
buatku?"
Aku tertawa kaku. "Begitulah, Yu. Nanti ya aku datang..."
Aku memang sibuk akhir-akhir ini. Sibuk kuliah, di sekretariat MAPALA dan sibuk
menemani Rika jalan-jalan, shopping atau nonton. Aku tidak bohong khan :)
10 Februari 2000
Hari-hariku kian berbunga bersama Rika. Bayangan Ayu hanya sesekali melintas
dalam benakku. Semua mahasiswa Fakultas Ekonomi sudah tahu aku jadian sama Rika.
Mereka tidak heran lagi jika di FE aku jalan bareng Rika, dan sewaktu-waktu
mereka mendapatiku di kampus MIPA dan yang di dalam sedan civicku adalah Au.
Mereka semua mengerti adatku dan memakluminya.
21 Februari 2000
Mulai hari ini aku putus dengan Ayu. Siang tadi dia sengaja menemui di area
parkir FE.
"Jangan kira aku buta dengan hubunganmu sama Rika, Fan. Begini rupanya
cara kerjamu dengan wanita-wanita sebelum aku. Malah aku baru tahu dari Tanti
kau tinggalkan begitu saja sewaktu kau mengejar-ngejarku, Fan. Beruntung aku
cepat mengetahui belangmu. Dasar ular berkepala dua..!"
Ular berkepala dua. Hmm, kukira julukan itu pantas untukku. Sejak dulu aku
sudah terbiasa memelihara lebih dari satu wanita di hatiku. Aku pantas
mendapatkannya. Tampang, body dan otakku di atas rata-rata, ditambah kekayaan
orang tuaku sebagai salah satu pengusaha besar. Banyak lelaki yang mundur
teratur bila tahu saingannya adalah aku. Ada satu dua yang menantangku duel
memperebutkan cinta seorang wanita. Tentu saja aku jagonya. Tidak klop rasanya
bila orang top sepertiku tidak dililiti sabuk ban hitam.
2 Maret 2000
Belum genap 2 bulan hubunganku dengan Rika, aku sudah diisukan oleh nama
seorang wanita lain, Inayah Fitri. Yanto yang pertama kali
menggembor-gemborkannya.
"Dia adik kelasku di jurusan Manajemen. Kebetulan aku ngambil mata kuliah
yang sama dengannya. Orangnya cantik. Banyak cowok yang suka padanya. Tuh cewek
cuek banget! Orangnya tertutup sekali. Tidak pernah bergabung dengan cowok.
Pendiam dan sangat bersahaja. Si Erlan, anak pejabat itu sampe frustasi
ngedekati dia. Emangnya cowok yang bagaimana sih yang dimauinya? Si Erlan saja
ditolak, apalagi aku yang cuma begini!"
"Usaha dong, To. Usaha! Enggak semua cewek doyan
sama cowok kaya. Justru ada cewek yang suka cowok sederhana seperti kamu,"
hibur Andi sambil senyum-senyum."
"Memangnya seperti apakah si Inayah itu? Apa dia anak orang kaya, cantik,
atau sangat populer dalam organisasi sampai jadi sombong begitu pilih pilih
cowok?" tanyaku. Yanto
menunduk. "Tidak, justru ia sangat sederhana dengan pakaian lebar dan
berjilbab. Dia nggak ikut organisasi. Yang kutahu dia aktif di Masjid kampus
ngadain pengajian-pengajian dan ceramah."
"Aduh, To, kok turun seleramu..." Aku dan Andi geleng-geleng kepala. "Masa cewek seperti itu nggak bisa kamu dapatin, To ? Yanto
memandangiku gusar, "Itulah, Fan. Kamu nggak tahu tipe cewek yang satu
ini." Dan bukan aku namanya kalau tidak penasaran dan mengenal cewek itu.
3 Maret 2000
Gadis yang bernama Inayah itu sosok yang berjilbab lebar dan berpakaian rapi
menutupi seluruh tubuhnya. Penampilannya amat rapi dengan paduan warna serasi. Teman-temannya
kebanyakan berpenampilan sepertinya dan tempat mangkalnya di Mushola Al-Misan.
Kami yang sembunyi-sembunyi melihatnya dari taman kampus dekat Musholla sering
mendapatinya berdiskusi serius di tangga Musholla. Gaya bicaranya tegas dan
bersemangat. Kami menyaksikan dari kajauhan. Andi dan Yanto sibuk mengomentari
gadis itu. Sedang aku yang duduk di batang akasia hanya diam membisu
memandanginya. Aku tidak menampik, wajah bersih dan selalu menunduk dibalut
jilbab biru muda itu sangat cantik. Dan aku.. aku..
11 Maret 2000
Adalah hal yang aneh kalau sekarang aku sering berada di Musholla untuk sholat
atau duduk-duduk bengong di tangga (Aku mengerjakan sholat ini dengan terpaksa.
Untung aku masih ingat gerakan dan doa yang terpatah patah yang kuyakini banyak
salah dan tidak mengerti maksudnya). Sejak melihat gadis berjilbab itu, aku
sudah bertekad untuk mengubernya seperti halnya Tanti, Ayu, Rika, dan
mantan-mantanku dulu. Tentu saja tidak seru kalau tidak pakai taruhan. Andi dan
Yanto yang jadi penantangnya. Enas Café jadi langganan si pemenang selama
seminggu penuh dibayar oleh yang kalah. Yanto yang sudah jelas kalah itu sempat
meremehkanku. Tapi, mantanku di semester II dulu adalah Sofia, mahasiswi teknik
yang berjilbab. Toh, jilbabnya hanyalah jilbab, sepotong kain penutup kepala
semacam mode. Suka pakai celana panjang dan kaos ketat. Kelakuannya sama
bejatnya dengan kelakuanku di luar kampus. jadi apa istimewanya dengan jilbab?
Pertaruhan telah dimulai. Batas waktunya sebulan. Ini sudah hari kedelapan
usahaku mendekati Inayah. Makanya aku dan Andi serta Yanto yang sering
menemaniku di Musholla kampus. Ini salah satu tehnik dan strategiku. Beberapa
suara-suara keheranan singgah di telingaku. "Udah insaf kali si Irfan,
ya..?"
21 Maret 2000
Sialan! Benar-benar eror. Ini sudah hari kedelapan belas dan hasilnya nol
besar. Kok, sulit sekali sih, mendekati gadis itu ? Bila kuajak bicara
sendirian saja, dengan cara halus dia bisa mengelak. Segala tegur sapaku
ditanggapinya apa adanya sambil menundukkan wajah. Tidak seperti gadis gadis
yang kukenal selama ini. Dengan muka memerah dan suara manja mereka
berlama-lama menahanku ada di dekatnya. Tapi sikap gadis yang bernama Inayah
ini justru membuatku terpesona dan jadi segan mengusilinya. Aku mulai merasakan
ada yang tidak beres dengan diriku.
Entah kenapa setiap kali membayangkan Inayah, aku seperti melihat setangkai
bunga melati yang kudapati di atas gunung atau hutan-hutan lebat dalam
pendakianku. Melati berduri yang ada diantara semak belukar sehingga tidak
sembarang orang bisa memetik atau menyentuhnya. Namun begitu aroma keharumannya
semerbak di sekelilingnya membuat orang merasa damai dan senang berada di
dekatnya. Bila kutatap atau curi-curi pandang ke wajahnya, serasa ada setitik
embun yang menempel pada mahkota melati itu jatuh mengenai hatiku yang
kerontang. Sejuk.
Ups! Taruhan tetaplah taruhan. Harus kubuktikan bahwa aku adalah Petualang
Cinta. Rika yang mulai mencium gelagatku tidak ambil pusing. Dia asyik dengan
pendakian-pendakiannya bersama team Mapala. Aku tahu bukannya dia tidak tahu
apa maksud tujuanku mendekati Musholla kampus. Mungkin kegilaannya mendaki yang
kian menjadi-jadi itu adalah satu cara menutupi kekecewaannya. Beberapa hari
yang lalu kulihat Ayu berboncengan dengan lelaki berpakaian necis di depan
perpustakaan. Persetan dengan mereka semua. Targetku sekarang adalah: Inayah!
25 Maret 2000
Aku sungguh tidak mengerti dengan wanita yang satu ini. Aku hampir gila
dibuatnya. Apa yang dimilikinya sehingga membuat aku tidak bisa memperlakukan
seperti gadis-gadis lainnya? Keberadaanku tidak sebelah matapun dipandangnya.
Malah kemarin aku ditegur Ali Zaki, mahasiswa jurusan akuntansi yang sering
jadi imam Musholla.
"Maaf, Fan. Aku disuruh menyampaikan pesan dari para jama'ah wanita agar
kamu jangan terlalu menampakkan diri di sekitar kaum wanita. Terlebih pada
saudari Inayah. Dia merasa sangat terganggu."
Bah! Ingin kutonjok muka berjenggot tipis di dagunya itu. Apa urusannya dengan
kami? Atau dia pingin mendapatkan Inayah? Kalau bersaing yang jantan Bung!
Untung emosiku tidak sampai meledak waktu uty. Tapi yang pasti aku masih gagal
mendapatkan cinta Inayah.
Cinta? Apa pula ini? Orangnya saja belum apa-apa kok
sudah cintanya, Irfan Amara? Jujur saja, aku selalu memikirkan Inayah, dan kini
kudapati jawaban itu dari diriku sendiri mengapa dia begitu mempesonaku. Bukan dengan kecantikannya, tetapi
dari sesuatu yang dimiliki dari dalam. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa
"sesuatu" itu. Atau sebut saja sebagai "keagungan wanita"
yang ada padanya. Ya! Semacam keagungan wanita yang membuatku sangat hormat,
segan dan tunduk padanya sebagai calon ibu dan ibu yang melahirkan
putra-putrinya. Jadi apakah wanita yang pernah dekat denganku selama ini tidak
memiliki "keagungan wanita" itu? Kukira mereka semua punya.Hanya saja
mungkin mereka tidak menyadari atau malah tidak memperdulikan keagungan mereka
itu. Mereka menganggap keagungan itu tidak sesuai dengan mode dan yang paling
parah adalah dengan kodrat serta harkat martabat mereka! Jadilah mereka wanita
yang segan-segan mengobral cinta, tubuh, dan harga diri. Diantara mereka adalah
pacar-pacarku dulu.
Kalau begitu apa bedanya pula dengan aku yang laki-laki ini? Laki-laki yang
menerima keberadaan bahkan bergaul dengan wanita yang tidak menyadari
"keagungannya" itu tentulah lelaki yang sama dengan wanita itu. Ah!
Bisa gila aku kalau begini? Apa yang telah terjadi denganku?
28 Maret 2000
Kali ini aku benar-benar gila. Rasa putus asa karena belum mendapatkan Inayah
sementara waktunya sudah mepet, membuatku jadi berbuat nekad. Karena
kenekadanku itu jadilah hari ini hati yang paling bersejarah dalam hidupku.
Sewaktu melihat Inayah keluar dari Musholla seorang diri. Andi dan Yanto yang
masih memberi harapan kepadaku memberi kode agar mendekatinya. Karena kesal
ditambah putus asa, tiba-tiba aku mencolek pinggul gadis itu! Kebiasaan yang
sering kulakukan pada gadis-gadis lain! Bukan hanya mencolek tapi kulontarkan
kata-kata yang tidak pantas untuk seorang gadis seperti Inayah.
"Alaah, sok belagak alim, lu! Pura-pura jual mahal! Padahal, lu, nggak
beda ama cewek-cewek lain, malu-malu tapi mau! Emangnya lu udah merasa paling
cakep di dunia maklanya menolak cowok seganteng gue! Eh, buka mata lu
lebar-lebar dan lihat tampang gue baik-baik. PErempuan seperti Elu biasnaya
punya nafsu besar dibanding laki-laki seperti gue. Tapi nggak pandai gunakan
akal untuk..."
Plakk!!!
Rasa pedih seketika mendera pipiku. Aku ditampar! Asli! Kurasa mukaku merah
waktu itu. Merah karena sakit dan merah karena malu dilihat oleh banyak
mahasiswa di sekitar Musholla. Di tengah-tengah ketegangan itu terdengar suara
hadis itu terbata-bata dan menunjuk mukaku dengan jari bergetar, "Kau..,
kau benar. Perempuan lebih banyak nafsunya dari lelaki. Tapi dengan sedikit
akal yang dimilikinya wanita bisa menjaga nafsunya sehingga menjadi terhormat.
Tidak seperti kamu yang banyak akal tapi tidak bisa menjaga satu nafsumu
sehingga kamu tidak lebih dari binatang yang hina!"
Blarr!!
Aku tertohok hebat. Rasanya waktu itu aku ingin hilang saja dari tempat itu
menyembunyikan maluku. Masih banyak lagi lagi kata-kata yang diucapkan gadis
itu sebelum akhirnya berlari kembali ke dalam Musholla sambil menangis
tersedu-sedu. Beberapa laki-laki yang keluar dari dalam Musholla, sudah berniat
menghajarku. Tapi secara kebetulan Ali Zaki tiba di tempat itu dan menahan
mereka. Aku diminta segera pergi. Dengan rasa malu yang tiada tara aku dikawal
Andi dan Yanto meninggalkan tempat itu diiringi tatapan marah beberapa
gadis-gadis berjilbab yang menyaksikan peristiwa itu. Aku betul-betul gila
jadinya. Baru kusadari begitu rendahnya perbuatanku pada wanita yang selama ini
diam-diam aku agungkan dan yang kukagumi. Aku munafik!
2 April 2000
Aku tidak mempedulikan Andi dan Yanto yang asyik menyantap makanan di Enas
Café. Aku juga tak peduli berapa rupiah yang telah kukeluarkan untuk mentraktir
mereka seminggu penuh. Ya, aku kalah dalam taruhan ini, kurang satu hari dari
jatah satu bulan.
Entahlah, akhir-akhir ini aku jadi murung. Sejak peristiwa dengan Inayah
beberapa waktu yang lalu membuatku jadi tidak bersemangat. Jiwaku terasa kosong
dan dipenuhi rasa bersalah. Sejak peristiwa itu pula aku tidak pernah menjumpai
Inayah untuk meminta maaf. Tapi aku sudah menjumpai Ali Zaki untuk menyampaikan
maafku. Cowok alim itu menyanggupinya dan tidak menunjukkan rasa sedikitpun
rasa marah atas peristiwa itu. Aku betul betul berterimakasih padanya.
Tiba-tiba saja aku mendapati diriku begitu bodoh dan hina. Kadang-kadang aku
diliputi rasa ketakutan yang amat sangat, lebih-lebih bila teringat ucapan
Inayah padaku, "Ingat, Bung! Semua kita akan mengalami mati. Bila jadi
mayat tubuh kita akan sama bentuknya. Jadi tengkorak! Kalau sudah begitu siapa
yang akan tertartik memuji tampangmu itu?"
Oh, Allah! Begitu mengerikan. Mengapa baru kali ini aku teringat akan sebuah
nama yang bernama kematian? (Rasanya baru kali ini aku menuliskan nama Allah
dalam lembaran buku harianku yang tebal ini. Ampuni hamba, Ya Allah!).
Saat Andi dan Yanto sibuk dengan makanannya, aku hanya tertunduk lesu
memandangi suasana di luar Café. Tiba-tiba mataku menatap sosok Ali Zaki yang
bertemu temannya dengan penampilan yang sama, berkemeja panjang dan berjenggot
tipis. Keduanya bersalaman dan berbincang serius. Ketika dua gadis bercelana
dan berkaos ketat lewat di depan mereka, keduanya serentak menundukkan wajah
dan menyingkir hormat memberi jalan. Hatiku jadi nelangsa. Begitu hormatnya
mereka memperlakukan wanita. Tidak sepertiku yang begitu mudah mencolek dan
menggoda wanita. Eh, aku merasa melihat sesuatu yang membuatku merasa hormat
dan kagum pada Ali Zaki dan temannya itu. Sesuatu yang agung, seperti yang ada
pada diri Inayah! Jadi lelaki juga punya sesuatu yang agung itu? Yang membuat
laki-laki terlihat berwibawa dan terhormat di mata wanita. Tidak sepertiku yang
tidak lebih dari binatang yang hina seperti kata Inayah tempo hari. Jadi selama
ini kemana perginya "keagungan laki-lakiku" itu? Oh, ya.. dia
kuhempaskan dibalik ketampanan wajahku, keatletisan bodyku, kepintaran otakku,
dan kekayaan orang tuaku! Duh, Allah.. Bagaimana sebenarnya hambaMu ini?
4 April 2000
Malam ini aku betul-betul menyerah. Sebuah penyerahan batin yang pertama kali
kualami. Penyerahan total dari ketidakberdayaan melawan ketentuan dari yang di
atas sana. Penyerahan yang kudapati dari seorang wanita yang bernama Inayah.
Aku kalah bukan karena gagal menaklukanmu atau gagal mendapatkan cintamu. Tapi
aku kalah oleh pribadimu dan keagungan wanitamu. Aku kini bagai debu kecil yang
hina di bawah tapak sucimu, karena engkau bunga melati putih yang kudapati
dalam pendakian dalam pendakian batinku yang maha berat.
Karena itu saksikanlah, kuruntuhkan keperkasaanku sebagai petualang cinta, Si
Penakluk Cinta dan sebagai lelaki sempurna dalam segala hal tetapi tanpa
ruhiyah yang bermakna. Adakah pintu buatku untuk menggapai kembali keagungan
itu setelah dua puluh tahun terlindah di bawah kebejatanku? APakah aku bisa
memulainya melalui Ali Zaki dan teman temannya di Musholla kampus? Biar kubuang
jauh-jauh rasa malu dan gengsiku untuk mulai berubah. Aku sudah punya prinsip
sesosok lelaki tanpa iman dari pada nanti diledek atau ditertawakan teman-temanku.
Kemudian saksikanlah mulai malam ini kututup lembaran harian patung cinta ini.
Tidak ada lagi deretan nama gadis-gadis dalam hatiku. Lalu aku tahu ini adalah
sesuatu yang mustahil kukira. Tapi salahkah jika aku berharap suatu saat nanti
aku bisa memetik melati putih itu dengan tangan keimananku dan dengan hati yang
mulai malam ini kubersihkan dengan nama Allah? Kalau tak mampu kuraih, cukuplah
saja harum melati itu menyebar mengenai tubuhku hingga akupun menjadi harum
oleh keimanku. Adzan shubuh berkumandang, saat ini akupun tak mau lagi
ketinggalan...
(Annida, Juli 2000)