Mau cerita nih. Tentang salah seorang sahabat terbaikku. Yang mana hayoo?.
Sahabat terbaik yang hari ini umurnya berkurang satu *wah bu' umur kite sama
donk sekarang*. Yang ngotot memanggilku dengan sebutan 'kak ren', padahal aku
cuma lebih tua 2 bulan 7 hari **. Padahal aku memilih untuk merasa lebih muda..
wohoo..*. Yang lagi semangat banget ngerjain skripsi. Yang hari ini pasti lagi belajar ttg digital
signal processing dan sebangsanya di kampus sana *hayoo.. dilarang begadang*.
Tiadanya ucapan selamat dariku bukan berarti aku tidak perhatian. Karena bagiku
ucapan2 seperti itu bukanlah hal yang essential, dan kamupun aku rasa paham
alasannya. Sama seperti beratnya aku mengucapkan maaf lahir batin ketika iedul
fitri. Karena permintaan maaf yang ditradisikan itu ternyata memang hanya
'tradisi' yang hampir-hampir tanpa esensi. Apalagi kartu2 lebaran yang lama2
dimataku cuma seperti simbol2 yang kehilangan arti. Sehingga ucapan 'maaf' yang
sakral itu terasa mengalami degradasi makna. Waduh, afwan jadi kemana mana...
Tapi sehabis sholat iedul fitri di KBRI, perasaan2 emosional itu seperti sukar
dibendung. Secara spontan aku mencari cari sosoknya yang kebetulan punya nama
sama dengan ibuKebagusanRaya di seberang sana. Sebenarnya bukan cuma nama yang
sama. Cita cita, harapan, semangat, ghirah, mu'aqobah dan keistiqomahan mereka
berdua dalam mengkaji dan mencintai dienul islam ini tak jarang jadi cerminan
buat aku yang masih suka abal abalan ini. Mungkin karena itu juga ikatan ikatan
hati ini serasa begitu kuat menghujam di sanubari, di taman taman ukhuwah yang
mewangi karena semerbaknya kuntum2 tausiyah.
Ternyata si ibu sudah berdiri dihadapanku. Menjabat erat tanganku, memelukku
dan menangis. Ah lebaran tahun lalu juga begini ya. Maafkan aku... maafkan aku,
begitu katanya, terisak isak. Aku terdiam, berusaha tidak terbawa perasaan.
Sungguh bu', selama dua tahun menjadi teman sekamarmu rasanya aku belum pernah
disakiti, dilukai, apalagi dijahatin, trus minta maaf buat apa, begitu fikirku.
Bukankah hampir setiap malam kita hanya dilalui dengan diskusi diskusi panjang
tentang jalan yang tidak akan berhenti kita tempuh. Atau tentang cita cita yang
ingin kita rintis, demi keluarga, agama, dunia dan akhirat. Kalau semangat yang
kita punya ini bisa menjelma menjadi api, mungkin setiap malam kamar kita sudah
hangus terbakar.
"Mungkin ini lebaran bareng kita yang terakhir ya.." kataku. Si ibu
malah semakin terguncang guncang. Akhirnya aku tidak ingin mengatakan apa apa
lagi Sesak.. pahit sekali rasanya. Kacamataku berembun, jilbabpun miring
miring. Abisnya meluk gak minta ijin hehe. Akhirnya ikut2an nangis deh aye.
Jadi malu deh euy. Ya sudahlah, meskipun nantinya akan dipisahkan pulau,
samudera, atau lautan, insyaALLAH masing2 kita tetap menapak tegak tanpa henti
langkah langkah abadi ini. Memenuhi panggilan muslim sejati.
Selamat tinggal sahabatku, Ku kan pergi berjuang, Menegakkan cahaya Islam, jauh
di negeri Seberang. Selamat tinggal sahabatku, Ikhlaskanlah diriku, iringkanlah
doa restumu, Alloh bersama slalu. Kalaupun tak lagi jumpa, Usahlah kau
berduka,Semoga tunai cita - cita. Tegakkan Islam di dalam dirimu, tebar cahanya
di lingkunganmu , sambutlah seruan mujahid yang melangkah maju ,Jangan bimbang
dan ragu !. Relakah kau panji al-Islam terkulai , runtuh tercabik bahkan musnah
terburai. Satukanlah hati dan niatan suci,Hanya ridhlo Ilahi. Jangan tertinggal
hai kawan. Raihlah cinta Ar-Rahman.
Kami sadari jalan ini kan penuh onak dan duri. Aral menghadang dan kedzaliman
yang kan kami hadapi. Jalan ini jalan panjang penuh aral nan melintang. Namun
jua kau lalui tuk Illahi .Walaupun rasa terdera raga berpeluh terluka
**itu liriknya izis loh :P, ditulis mana mana yang inget aja. Soalnya beliau ni
suka banget sama nasyidul jihadnya izzatul islam, sampai suatu hari
menghadiahiku ringtone 'banteng kebenaran' ^_^ **
InsyaALLAH aku tidak akan pernah lupa akan apa2 yang telah kita jalani bersama
sama. Tentu aku akan merindukan saat2 itu. Bagaimana bisa aku melupakan
bagaimana emosinya kita berdua setelah menyaksikan sekilas film ttg palestina.
Bagimana mungkin aku bisa melupakan bagaimana terbakarnya kita saat menyaksikan
episode saat saat terakhir sebelum syahidnya bocah bernama Muhammad Durroh di
palestina sana.
Siapa lagi yang tahan berdiskusi denganku berjam jam kalau bukan antuna semua.
Aku juga bakal kangen banget sama ibu penyuka bawang putih di Gim Moh road
sana, yang tidak pernah protes kalau tiba2 aku pengen mendiskusikan ide ideku
atau ilmu ilmu baru yang aku peroleh. Malah ngompor2in dengan bilang "trus
trus.. gimana uN* atau *eh uN kamu ngutang nge-lecture in aku ttg ini*. Dan
biasanya aku baru berhenti ngomong kalau udah haus atau tiba2 nyadar kalau udah
nyampe di boonlay hehe. Aku juga bakal kangen banget sama si ibu
"gengsian" yang tidak segan segan mengeluarkan statemen2 yang cukup
kontroversial demi kemasalahatan bersama. Sungguh aku tidak yakin, apakah di
tempat yang baru aku akan menemukan kenyamanan yang sama. Apakah aku masih akan
menemukan getar jiwa yang sama. Kalau boleh jujur, aku tidak ingin pergi...
Waduh, afwan jadi melankolis lagi.
teringat syairnya saujana....
Sedingin embunan dedaun kekeringan. Sesegar ingatan kenangan kisah silam. Kita
seiringan bersatu berjuang. Meniti titian persahabatan. Kau hadir bawa cahaya.
Terangi hatiku teman. Saling memerlukan dan mengharapkan. Tangis gembira disaat
bahagia. Moga kan kekal menuju ke syurga . Kerana Tuhan kita itemukan Andai terpisah
itu ketentuan