Minggu, 07 November 2021

Ibu semakin sembuh



Dapat kabar bahwa Ibu sakit, walau sudah membaik dan dirawat di rumah.

Kebalikan dengan anaknya yang berisik, Ibu saya ini cenderung pendiam, meskipun guru SD. Tetapi di depan kelas gemar bercerita. Ibu, sosok yg unik. PNS pertama di kampung halamannya di tahun 1970-an, pedagang sate yang senang Matematika dan Bahasa Indonesia (Ibu jago pribahasa, pantun, dan puisi). Kemampuan berbahasanya unik, bisa ngomong terbalik, per huruf, kalimat, bukan per kata lhooo...
Diajarkan ke saya 🤣.
UBI NAD AYAS IGAB TEGNAB ASAIB GNAY LAH HIIIS KILABRET GNOMOGN HAAA...

Kebalikan dengan anaknya yang kebanyakan bicara, Ibu cenderung pendiam dan tertutup. 
Sejak stroke 2018, ibu makin pendiam, dan kalau saya tanya "Ibu butuh apa?", Ibu hanya tersenyum dan menjawab singkat "Indak ado, alah ado sadonyo". Walau kemudian saya tetap mengada2 mengirimkan entah apa, yg saya yakin akan membuat ibu tertawa2 (coz I know her 😁). Ya bagaimanalah, ibu kan pintu surga kita, setiap bahagia dan tawanya saya harapkan berkah di dalamnya. Bukankah gak akan mungkin terbalas jasa2nya?

Ibu saya tak pernah tampak sedih. 
Makanya saya dulu kaget saat tahu Ibu ternyata sempat menangis ketika saya terbang sendirian ke Singapura menuju NTU tahun 2000 demi kuliah gratis. Saya menelpon sambil tertawa2. Tenaang, udah gede gak akan hilang. Tangis yang sama ketika saya nekat naik bus ke Cianjur tahun 1999, bersama 2 sepupu cowok yg sama2 gak pernah merantau. 
Lalu kami "hilang" 4-5 hari di jalan, karena bis non AC kami mogok gak karu2an berkali2. Tahulah telpon umum benda langka, apalagi di pinggir hutan lintas Sumatera. Saya menuju ITB, kampus impian saya. Dan Ibu mungkin terlanjur pasrah dgn anak gadisnya yang keras kepala.

Walau gak banyak bicara tapi saya tahu sayangnya Ibu pada anak tak hingga (baru paham juga setelah jadi Ibu). "Kamu akan kuliah ke luar negeri suatu hari", kata Ibu yg ucapannya bertuah itu. Suatu hari saat saya SMP, sambil memandang Ibu yg cekatan dengan setrikaan arangnya. Sampai SMA pun, listrik buat kami benda mahal. Saya cuma tertawa2. Mana ada pemikiran saya kuliah di Luar Negeri. Saya tergelak sambil meneruskan menuliskan khayalan2nya Ibu.

Dulu di Ciputat, setiap pulang kerja, kami selalu "ngobrol" di Meja Makan. Walau saya cenderung monolog, dan Ibu antusias dengan ekspresi2 khasnya. Ibu yg Single Parent sejak kami balita, banyak bicara hanya ketika saya mengambil sebuah keputusan besar dalam hidup. Sambil menggosok2 punggung saya, Ibu berkata "Bisa kok, kamu bisaa. Semua ini bisa dilalui. Ibu bahkan dulu gak punya apa2".

Ya ya. Tahulah saya definisi "gak punya apa2".  
Masih inget kok gimana setiap 20rb-an pun dikirim Ibu ke Bandung walau berjeda-jeda misterius. 
Saya kebayang betapa itu gak mudah buat Ibu. Dan saya yakin doa beliau semata yg mengantarkan saya kuliah gratis ke Singapura, dalam sebuah seleksi yg rasanya mustahil.
Keajaiban doa Ibu.
Keadaan saya jauh lebih baik di mata beliau, dan menurut beliau saya bisa. Dan ucapan Ibu adalah mantra, fikir saya. Makanya setiap kali menelpon, walau gak banyak bicara, saya takzim mendengarkan semua kata terpatah2 Ibu yang bagi saya terdengar seperti doa "Kamu bisa, kamu bisa". Itu adalah diksi favoritnya.

Ibu saya yang sempat 14 hari nyaris koma di RS Pusat Otak Nasional. Sebuah titik yang menghantarkan saya pada sebuah kesadaran bahwa, ternyata saat Ibumu sakit, duniamu runtuh, dan persoalan hidup lainnya jadi gak ada artinya. Jadi receh semua. Seolah terngiang sabda Nabi. "Ibumu, Ibumu, Ibumu...."
..
Semoga Ibu cepat sembuh...
Akan halnya Ibu yang merasa "tak butuh apa apa". Bagi seorang anakpun demikian hakikatnya

"Tak ada yg lebih penting dari Ibunya yang sehat dan bahagia" 


Jumat, 24 September 2021

Nyasar di Delft



2014 (7 tahun silam)

Suatu siang.
Sudah hampir pasti, saya akan terlambat ke appointment buka rekening bank. Tapi sudah belasan menit mengayuh sepeda dengan panik, saya masih gak ketemu lokasinya. Padahal udah ke sana H-1, dan nandain lokasi "bank nya dekat jembatan, yang ada bunga cantik, dan airnya hijau"

Daan ternyata hampir setiap belokan di Delft kayak gitu!! Jembatan, bunga cantik, air hijau. Aaarghhh, unisaa bagaimana seeeh. Lugu bener dah.

Darah didikan Singapura yang mengalir kental dalam diri saya, dengan doktrin mengharamkan terlambat, bergejolak-gejolak menahan luapan emosi. Bagaimana ini? Bagaimana ini?

Daan untungnya, 5 menit sebelum waktu janjian, mata saya bersirobok dengan plat bank itu. Ini dia!!! Alhamdulillah. Bergegas parkir sepeda, dan melompat masuk ke ruangan yang hangat.
Yess! Saya tepat waktu. Gak jadi bikin malu bangsa, negara, instansi, dan almamater 😴😴😴. Gak boleh terlambat, uNisA!

Postingan foto ini adalah kenang-kenangan. Betapa dulu di hari-hari pertama di Delft saya selalu nyasar karena gak paham beda antara satu belokan dan belokan lainnya.

Semuanya sama.
Ada jembatan, bunga cantik, dan air hijau.
Aah, saya memang cinta sekali sama kota ini. Cinta sejak pandangan pertama.

2021
Bahkan saat ini, ketika kehidupan rasanya begitu menantang. Udah bingung bagi waktu antara memainkan peran sebagai ibu kesayangan dan mahasiswa disiplin penuh tanggung jawab. Bingung membagi fokus antara bersemedi syahdu dalam aroma kampus Delft yang bagaikan lautan ilmu pengetahuan tanpa batas, dengan mobilitas fisik ke kota sebelah: Den Haag yang modern dan hiruk pikuk, tempat tekos menuntut ilmu.

Namun, cinta akan mengalahkan segala rintangan bukan?

Karena itu, Nak
Kata saya ke duo H
Kita cari terus pola yg ciamik, dan strategi menuju win-win solution, sampai kita menemukan titik equilibrium itu.
Mempertanggungjawabkan segala amanah yg dititipkan kepada kita. Menjadi pelajar, menjadi mahasiswa..
Menjadi anak, menjadi Ibu..
dan menjadi hamba Allah yang fokus menemukan jawaban

Sementara itu, kita nikmati angin syahdu Negeri van Oren, ini

Tawakal, setelah sepenuh2nya ikhtiar. Begitu bukan?
Apakah ikhtiar kita sudah maksimal?
That is a question

Minggu, 29 Agustus 2021

Delft! Mengulang kisah lama


 


End of August 2021...

Angin bulan September mulai menjelang,
nuansanya bagaikan remaja labil. Bimbang meninggalkan musim panas yang ceria, bersiap menyambut nuansa sendu musim gugur.

Oh, I started to smell the silent dance of the falling leaves...
Just the still melancholy that I love...❤❤

^^uNisA menggigau
^^tapi aku beneran cinta Delft
^^semacam "cinta yang memanggilmu untuk kembali" 🌷🌷

Kamis, 26 Agustus 2021

Belanda - new episodes



"Berkelanalah, jelajahi dan temukan jalan nasibmu di bagian-bagian pelosok tak terduga. Langit adalah kitab yang terbentang, penuh dengan mozaik yang akan membangun siapa diri kita nantinya"
(Sang Pemimpi, Andrea Hirata)

"I know it's not ordinary. But who ever loved ordinary?" (Joan Clarke, Imitation game)

"There’s no point in being nuts if you can’t have some fun with it.” (John Nash, Beautiful Mind)

"You Can't Get Any Further Away, Before You Start Coming Back" (The Truman Show)

Bismillah... 

Jumat, 30 Juli 2021

Bye Ranah Minang

 


ye bye Ranah Minang...
See you when I see you...
Hanya beberapa tahun saja...
Empat atau lima..
Semoga gak lebih lama...


Aku, berpetualang lagi...
Menyusuri bumi Allah yang lainnya ^__^

Minggu, 25 Juli 2021

Ter-covid di kampung halaman



Saya gak tahu mana yang lebih sulit, menjadi sakit, atau menemani orang sakit.

Anyway, things are getting a lot more better now. 
Walau teteup belum bisa ke Jakarta. Mulai dari drama nyari dokter spesialis penjelasan medis anak2 blm vaksin (1 minggu urus ini), PPKM Iedul adha anak<18 thn dilarang terbang, syarat PCR yg hanya bisa di RS tertentu, hasil PCR yg bahkan ga keluar setelah 3x24 jam (keterbatasan fasilitas di daerah, so sad), dan jadwal penerbangan yg tahu2 berubah gak ngejar hasil PCR yangg ga kunjung keluar. Terjebakku di kampùng sendiri 😅

Meskipun banyak sekali agenda tertunda, tapi ada 1 hal besar yang harus selalu disyukuri dalam hidup, yaitu: Kehidupan itu sendiri. Being alive! Di tengah letihnya atmosfer udara menampung segala berita duka, di tengah menderasnya air mata orang-orang yang kehilangan jiwa2 terkasihnya, dan di tengah lelahnya bumi tak henti-henti menampung tubuh-tubuh yang telah kembali kepada Rabb-nya.

Setiap bangun pagi rasanya seperti diberi kesempatan ke-2. 
Sapaan "hai kamu, apa kabaaar hari ini", rasanya luar biasa, baik bagi yang menyapa maupun yang disapa.
Frasa "sehat sehat yaaa kamuuu", bukan lagi sekadar basa basi semu. Sungguh mengandung harapan semoga yg disapa dalam keadaan sehat jiwa dan raga.

Perjalanan ke Negeri Oren tertunda cukup lama. Akibat pandemi global administrasi perjalanan ditangguhkan. Thanks to teknologi sehingga kegiatan belajar dapat dilakukan daring.

Sekarang, setiap momen menjadi lebih berarti.
Cucian2 yang menumpuk itu untuk disyukuri, karena masih ada kekuatan untuk memeras dan menjemurnya.
Rumah yang berantakan itu untuk disyukuri, karena artinya anak2 cukup sehat untuk beraktivitas aneka rupa.
Jurnal2 yg memusingkan ini untuk disyukuri karena masih ada dosen yg mau repot2 membagi pemikirannya dgn saya.
Target2 paper itu untuk disyukuri krn pembimbing berarti masih belum menyerah dengan saya 💪

Bernyanyi di hari Sabtu...
Dengan nada2 mengalun merdu...
Lagu ini memang bikin tersipu-sipu 😊
Tapi ke Jakarta, aku sudah begitu rindu!

Sabtu, 15 Mei 2021

Ramadan berlalu (2021)

 




Dia sudah pergi
Pergi jauh, 11 bulan lamanya

Kami tahu,
Rindu itu tidak akan pernah selesai...
Saat-saat munajat syahdu dalam renungan...
Mencermati hakikat perjalanan..
Merayu ampunan dalam sujud-sujud panjang..
Meluruhkan kehambaan dalam jiwa penuh sesal, namun juga penuh keinginan...
Ah, kita memang insan yang lemah..

Dia benar-benar sudah pergi
Pergi jauh, 11 bulan lamanya

Kami tahu...
Setiap detiknya, tak akan tergantikan...
Yang berlalu tak kan terulang...
Waktu yang sempat tersia-siakan, akan menguap seiring penyesalan..
Ya Rabb, lalainya kami

Dia sudah pergi
Pergi jauh, 11 bulan lamanya...

Wahai bulan penuh keagungan,
Semoga masih ada rejeki perjumpaan...
Semoga masih ada kesempatan menyambut magrib pertama-mu dengan air mata ke-khusyuk-an...
Malam-malam di mana hati penuh harap..
Berharap para malaikat turun mengaminkan doa-doa rahasia, di malam laylatul qadr-mu...
Malam yang dirahasiakan...
Malam yang pasti dialami semua orang, hanya saja beda kegiatan...
Entah kami menjalaninya dalam sujud penuh munajat, atau malah dalam kesia-siaan...

Ramadhan sudah pergi
Pergi jauh 11 bulan lamanya...

Jika di waktu ramadhan saja hati tak bisa seluruh penuh berusaha menggapai surga-Mu.
Bagaimanalah lagi di bulan lainnya...

Wahai diri, marilah menyerah..
Tundukkan segala ketaatan, dan merayu memohon hidayahNya.

Berharap pintu-pintu langit dibukakan selebar-lebarnya, berisi cahaya kemaafan, cahaya ampunan, dan menjemput takdir yang indah...
Berharap menjadi insan yang dimaafkan Allah, diridhoi Allah, dan diampuni Allah.
Adakah yang lebih penting dari itu?

Semoga di luar ramadhan, tetap kami maksimalkan ikhtiar...
Sehingga,
Mata ini
Hati ini
Pandangan ini
Fikiran ini
Seluruh panca indra, raga ini..
Hanya melakukan hal2 yang Engkau halalkan dan Engkau ridhoi...

Dia sudah pergi
Pergi jauh 11 bulan lamanya

Ingin berkata, tetaplah di sini
Jangan pergi, jangan pergi
Sujud kami belumlah maksimal
Sholat kami tak pernah benar-benar khusyuk
Bahkan saat berkata Allahu Akbar, di hati kami tetap menari-nari masalah yang terasa besar

Jangan pergi, jangan pergi..
Tetaplah hidup di hati ini..
____ _____

//gak tahu kenapa Keukenhoff serasa mewakili cerianya Ramadhan

Senin, 26 April 2021

Sahabat dan jendela emosi




 "Jendela emosi, sangat penting dimiliki setiap orang. Untuk meleraikan berbagai timbunan kusut di kepala, menderaikan tawa dengan output semburat bahagia, sebagai obat bagi jiwa. Menyehatkan, menyembuhkan".

Itu penjelasan psikolog, yang tentunya sudah aku sunting dengan diksi pilihanku. Tapi intinya begitulah. Setiap orang perlu jendela emosi untuk menyalurkan tumpukan energi dalam dirinya. Supaya kembali segar bugar.

Jendela emosi bisa berupa penyaluran hobby (main musik, nyanyi, olahraga, membaca, menulis), kegiatan spiritual (baca Qur'an, dengerin kajian), bersosialisasi, dll.

Saya punya bbrp jenis jendela emosi, semuanya menyenangkan (of course!). Salah 1 favoritku adalah pertemanan.

Saya bucin banget kalau udah soal berteman. Can not live without them. Apalagi yg frekuensinya udah klop banget gak karu2an. Saya udah sampai di level "name the place, I'll be there, in a minute".

Tahun lalu, saya sempat terjebak dalam a very wrong and toxic kind of friendship. Gak pernah jiwa selelah itu. Dari seluruh jenis "inner circle" yang ada, kenapa yg ini malah bikin seluruh energi-ku tersedot habis seperti dihisap dementor. Aku kehilangan diriku. Seutuhnya. Entah menjelma jadi siapa.

Lalu saya mundur sejenak, dibantu terapi sana sini, dan segala "omelan2" sahabat2 baik, saya rasanya seperti manusia tenggelam yang diangkat lagi ke permukaan. Sakit, namun perlahan melegakan. Saya lahir lagi. Untuk pertama kalinya saya sangat serius mempelajari orang lain, dan diri sendiri. Perih, tapi banyak pembelajaran.

Semoga ya semoga, aku tak jatuh lagi di lubang yang sama. Sudah terlalu tua untuk mengada-ngada.

Dan untuk teman-temanku. Terima kasih ya, untuk semua lengkungan di sudut-sudut bibir. Untuk semua waktu yg telah diluangkan. Untuk semua keceriaan yang dibagi. Dan untuk semua suntikan semangat tentang berbagai topik kehidupan.

Thank you for having me...❤❤

//minjem foto reunian mommies NTU-NUS yak 🌹🌹

Jumat, 12 Maret 2021

Hari ke 28


Hari ke 28.

Bangun tidur hati ini rasanya kayak musim semi. Adem, tentram, bahagia, lega. Mekar, syahdu, seperti musim bunga. Semoga untuk seterusnya.
Jadi inget foto ini. c.a 2015. Keukenhoff. 13 kg yang lampau hehehe. Lemak-lemak jangan balik lagi ya. Kasian ban sepeda...

Hari ke 28.
Saya tahu hati ini Allah yang ciptakan, dan Allah yang genggam.
Maka saat berkaratnya semakin luar biasa, saya kembalikan lagi pada pemiliknya dengan seluruh penuh. Untuk segala resah, sedih, tangis, dan airmata, atas kemilau fana yang dihadapanNya gak lebih dari sebelah sayap nyamuk. Awan abu-abu retak yang menggayuti jiwa, sungguh memberatkan rongga dada.

Hari ke 28.
Hati ini Allah yang ciptakan dan Allah yang berkuasa penuh atas terbolak baliknya. Saya kembalikan padaNya, merayu untuk menyembuhkan hati saya. Karena tiada kuasa saya melakukannya sendiri, dan tiada pula manusia mampu melakukannya.

Hari ke 28.
Saya sampaikan padaNya. Tentu ini perkara mudah bagiNya. Pada siapa lagi saya pasrahkan Khouf, Mahabbah, dan Roja'. Gak ada yang lebih hebat dari padaNya. Gak ada.

Lalu saya bilang, jalan berliku, segala perih akan saya hadapi demi sepotong hati yang baru. Jika itulah satu2nya jalan menuju insan baru yg lebih tangguh, bahu yg lebih lapang, dan kaki yg lebih kokoh. Akan saya tempuh, akan saya tempuh. Janji saya.

Memangnya apalagi sih yang lebih penting dibanding Ridho, Kasih sayang, dan ampunanNya?

Hari ke 28
Makasih buat sahabat2 yang sabar banget dengan kisah unfaedah ku. Tanpa kamu, kamu, dan kamu, terus saja aku berkubang dalam kehinaan hati ini.

Karena, seperti kata ustadz Salim.
Ada bagian tubuh yang tak bisa kita lihat tanpa bantuan cermin. Ada sudut pandang yang tak bisa kita pahami tanpa ketelitian telaah saudara.

____

Laa ilaaha illallaahul ‘azhiimul haliim..
Laa ilaaha illallaahu robbul ‘arsyil ‘azhim...
Laa ilaaha illallaahu robbus-samaawaati wa robbul ardhi wa robbul ‘arsyil kariim...

Do'a Kurb di atas diajarkan Rasulullah untuk saat2 genting. Segenting itu buat saya perkara ini.

Kembali mengutip ust SAF:
Segala luka dan kecewa tampaknya kan malu dan meniada: ketika kita insyafi bahwa Allah Yang Maha Mengatur tak pernah keliru, tak pernah aniaya.

Jumat, 26 Februari 2021

uNisA dan warna hijau


Hampir semua benda yg saya miliki berwarna merah. Someone said "Ah kamu, bajaj di cat merah juga pengen kamu bawa pulang kan? Milih barang juga bukan liat kualitasnya, tapi yang penting MERAH". Hehe iya juga sih, aku gak objektif kalau ketemu merah. I am addicted to red.


Tapiiii, little did people know bahwa re-charging energi saya justru di tempat bernuansa HIJAU kayak gini. Sawah, ladang, pohon, rumput-rumputan, di hadapan saya menjelma menjadi senyuman Ibu pertiwi yang mendamaikan perasaan. Ramah...

Di tempat-tempat seperti ini, seluruh partikel udara seolah berdesak-desakan menari-nari di seluruh penjuru angin, berlomba-lomba menawarkan hembusan semilir yang menyelusup ke rongga-rongga hati terdalam, menawarkan nyaman dan tentram.

Di tempat sehijau ini...
Mata dimanjakan dengan warna yang sekilas monoton, namun seolah menghipnotis segala titik lelah di sudut-sudut mata, meluruhkan keriput di ujung-ujung pelipis, dan meleraikan berbagai kenangan buruk yang sempat melapisi pupil2 mata kita, lalu menggantinya dengan warna-warna ceria

Saya merasa punya 2 pasang mata yang baru.
Bersih.
Dan siap lagi menatap lembar hari yang baru dengan hati lapang.

Di tempat selapang ini.....
Telinga seolah hanya mendengar nyanyian alam, hal-hal indah yang diciptakan Tuhan di bumi, belum dijamah tangan manusia.
Sayup gemericik air seperti buluh perindu yang menghadirkan syahdu.
Hembusan angin seolah punya suara, memainkan lagu-lagu terbaik yang dimiliki alam.
Menghapus memori2 negatif yang mungkin pernah didengar oleh telinga ini, menggantinya dengan alunan-alunan ilusi yang iramanya menembus otak dan hanya suara indah yang terdengar.

Saya rasanya punya 2 pasang telinga yang baru.
Bersih.
Dan siap lagi mendengar lanjutan nada-nada kehidupan di babak selanjutnya.

Di tempat sehijau ini....
Indra penciuman dan pernafasan seolah mengucapkan terima kasih karena kembali menemukan fitrahnya. Menghirup udara bersih, alami, belum banyak bercampur dengan polusi-polusi kreatif ciptaan manusia. Lembaran-lembaran alveolus di ujung cabang-cabang bronkus, seolah menari-nari gembira menemukan atmosfer yang mereka kenang sejak jaman purba.Mereka juga ikut gembira.

I am home...

Rabu, 10 Februari 2021

Kenangan ITB


ITB bagi saya ibarat kasih tak sampai. Eh, sempat sampai denk 1 tahun, tapi harus berpisah pas lagi sayang-sayangnya 😭. Utamanya alasan ekonomi. (kamuuuh, matreee, uNisA). Ya, ada benarnya. Tapi kamu dengar dulu cerita saya, hyung...

Selama di ITB, saya ada isu finansial. Makanan favorit saya adalah Soto Surabaya gerbang belakang. Rp.1000, nasi sepuasnya. Kenyang!
Rutinitas saya: ke bank Bukopin perpus ITB, deg2an, ngecek apakah ada kiriman uang. Kiriman 20rb kala itu rasanya kayak saudagar. Bisa makan 20x.

Saya aktif (nari) di Unit Kesenian Minangkabau (UKM). Ini salah satu penyelamat masalah gizi. Penampilan2 di acara2 nikahan Minangkabau, tentu dilengkapi acara makan hehe ☺. Juga segala gorengan di markas UKM yg boleh ngutang.

Etapii jangan salah, hyung. Saya rajin menari bukan demi gizi semata. Tari minang mengalir dalam darah saya sejak SD. Kalau gak salah yang jadi alasan awal pengen kuliah di ITB adalah ketika senior2 di Smansa Padang ngadain try out dengan label "UKM ITB". Lalu saya melongo diceritain pagelaran2 budaya Minang yang dilakukan. Sejak itu tekad saya kuat: saya harus ke ITB, supaya bisa masuk UKM (ehh, ini gimana, mau kuliah apa menari sih).

Maka ketika itu terwujud, jadilah saya lebih banyak menari daripada kuliah 🤣🤣. Bahkan saya gak lulus ospek jurusan saat pelantikan semester 2, krn suka bolos ospek wik en. Di ITB ospek itu setahun, kakaak. Tapi ya gitulah, saya cinta ITB lahir batin. Setiap langkah kaki dari kosan, rasanya kayak langkah ke pelaminan (eeh..) Penuh semangat!!

Maka ketika dapet beasiswa ke NTU, hari terakhir di Bandung air mata saya menderas. Saya ingin tetap di ITB! Ini impian saya!

Ya tapi gimana, saya tergoda memikirkan gak usah lagi membebani Ibu dengan kiriman2 uang saku, gak usah lagi ngutang2 gorengan, deg2an motokopi bahan ujian, dan gak usah risau mikirin SPP & uang kos. Singapore Scholarship dari Ministry of Foreign Affairs Singapore yang bakal bayarin semuanya. SPP, uang saku, tiket pesawat, you name it. Ibu bisa simpan setiap 20rb-an yang beliau selalu transfer.

Di NTU, kerinduan pada UKM ITB saya obati dengan menularkan virus tari piring. Dengan falsafah di mana bumi dipijak disitu budaya minangkabau dilestarikan (hehehe). Bertahun2 kemudian, versi tari yang saya turunkan (nyontek versi UKM), terus ditampilkan di acara2 di NTU atau acara lain (senangnyaaa). 
.
Yah begitulah, tak semua hal yang kita sayangi harus jadi milik kita mungkin ya (eeeh ini kejauhan analoginya). Sebesar apapun cinta saya sama ITB, ternyata harus berpisah juga. Awalnya membingungkan. Putusan yang sulit. Sebab saya fikir, toh walau kurang uang masih bisa hidup. Mengapa harus ke NTU? Saya lupa bahwa proses seleksi menuju NTU juga saya jalani dengan penuh perjuangan dan kesadaran. Hampir 6 bulan menjalani tes ini itu. Ngutang sana sini juga buat biaya bolak balik ke Jakarta. Ehh pas udah dapet, malah galau. Labil amat yak, maklum usia muda.
Daan kebiasaan saya ketika galau adalah: jalani aja. Galau lagi, jalani lagi, galau lagi, jalani lagi. Daaan, ternyataa, NTU rupanya juga kampus yang unik dengan segala cerita menariknya. Keputusan meninggalkan ITB, dikompensasi oleh berbagai kisah yang juga luar biasa warnanya. Kapan2 kita bahas ya...
.
.
Long after that, ke-ITB-an saya gak pudar juga. Bercita2lah punya suami lulusan ITB. Kesampaian!  Menyenangkan punya teman diskusi yang bisa diajak membicarakan berbagai semesta kehidupan. 
.
.
ITB buat saya mungkin sebuah kasih tak sampai. Tapi saya punya segala kenangan yang berisi banyak momen manis dan penuh pembelajaran selama setahun di sana. Tentang tekad dan determinasi. Tentang menertawakan kesusahan. Tentang betapa bahagianya ketika mewujudkan mimpi. Kenangan itu, semoga selalu menjadi ruh untuk memantapkan langkah kaki, untuk petualangan2 nekat berikutnya.