Jumat, 26 Februari 2021

uNisA dan warna hijau


Hampir semua benda yg saya miliki berwarna merah. Someone said "Ah kamu, bajaj di cat merah juga pengen kamu bawa pulang kan? Milih barang juga bukan liat kualitasnya, tapi yang penting MERAH". Hehe iya juga sih, aku gak objektif kalau ketemu merah. I am addicted to red.


Tapiiii, little did people know bahwa re-charging energi saya justru di tempat bernuansa HIJAU kayak gini. Sawah, ladang, pohon, rumput-rumputan, di hadapan saya menjelma menjadi senyuman Ibu pertiwi yang mendamaikan perasaan. Ramah...

Di tempat-tempat seperti ini, seluruh partikel udara seolah berdesak-desakan menari-nari di seluruh penjuru angin, berlomba-lomba menawarkan hembusan semilir yang menyelusup ke rongga-rongga hati terdalam, menawarkan nyaman dan tentram.

Di tempat sehijau ini...
Mata dimanjakan dengan warna yang sekilas monoton, namun seolah menghipnotis segala titik lelah di sudut-sudut mata, meluruhkan keriput di ujung-ujung pelipis, dan meleraikan berbagai kenangan buruk yang sempat melapisi pupil2 mata kita, lalu menggantinya dengan warna-warna ceria

Saya merasa punya 2 pasang mata yang baru.
Bersih.
Dan siap lagi menatap lembar hari yang baru dengan hati lapang.

Di tempat selapang ini.....
Telinga seolah hanya mendengar nyanyian alam, hal-hal indah yang diciptakan Tuhan di bumi, belum dijamah tangan manusia.
Sayup gemericik air seperti buluh perindu yang menghadirkan syahdu.
Hembusan angin seolah punya suara, memainkan lagu-lagu terbaik yang dimiliki alam.
Menghapus memori2 negatif yang mungkin pernah didengar oleh telinga ini, menggantinya dengan alunan-alunan ilusi yang iramanya menembus otak dan hanya suara indah yang terdengar.

Saya rasanya punya 2 pasang telinga yang baru.
Bersih.
Dan siap lagi mendengar lanjutan nada-nada kehidupan di babak selanjutnya.

Di tempat sehijau ini....
Indra penciuman dan pernafasan seolah mengucapkan terima kasih karena kembali menemukan fitrahnya. Menghirup udara bersih, alami, belum banyak bercampur dengan polusi-polusi kreatif ciptaan manusia. Lembaran-lembaran alveolus di ujung cabang-cabang bronkus, seolah menari-nari gembira menemukan atmosfer yang mereka kenang sejak jaman purba.Mereka juga ikut gembira.

I am home...

Rabu, 10 Februari 2021

Kenangan ITB


ITB bagi saya ibarat kasih tak sampai. Eh, sempat sampai denk 1 tahun, tapi harus berpisah pas lagi sayang-sayangnya 😭. Utamanya alasan ekonomi. (kamuuuh, matreee, uNisA). Ya, ada benarnya. Tapi kamu dengar dulu cerita saya, hyung...

Selama di ITB, saya ada isu finansial. Makanan favorit saya adalah Soto Surabaya gerbang belakang. Rp.1000, nasi sepuasnya. Kenyang!
Rutinitas saya: ke bank Bukopin perpus ITB, deg2an, ngecek apakah ada kiriman uang. Kiriman 20rb kala itu rasanya kayak saudagar. Bisa makan 20x.

Saya aktif (nari) di Unit Kesenian Minangkabau (UKM). Ini salah satu penyelamat masalah gizi. Penampilan2 di acara2 nikahan Minangkabau, tentu dilengkapi acara makan hehe ☺. Juga segala gorengan di markas UKM yg boleh ngutang.

Etapii jangan salah, hyung. Saya rajin menari bukan demi gizi semata. Tari minang mengalir dalam darah saya sejak SD. Kalau gak salah yang jadi alasan awal pengen kuliah di ITB adalah ketika senior2 di Smansa Padang ngadain try out dengan label "UKM ITB". Lalu saya melongo diceritain pagelaran2 budaya Minang yang dilakukan. Sejak itu tekad saya kuat: saya harus ke ITB, supaya bisa masuk UKM (ehh, ini gimana, mau kuliah apa menari sih).

Maka ketika itu terwujud, jadilah saya lebih banyak menari daripada kuliah 🤣🤣. Bahkan saya gak lulus ospek jurusan saat pelantikan semester 2, krn suka bolos ospek wik en. Di ITB ospek itu setahun, kakaak. Tapi ya gitulah, saya cinta ITB lahir batin. Setiap langkah kaki dari kosan, rasanya kayak langkah ke pelaminan (eeh..) Penuh semangat!!

Maka ketika dapet beasiswa ke NTU, hari terakhir di Bandung air mata saya menderas. Saya ingin tetap di ITB! Ini impian saya!

Ya tapi gimana, saya tergoda memikirkan gak usah lagi membebani Ibu dengan kiriman2 uang saku, gak usah lagi ngutang2 gorengan, deg2an motokopi bahan ujian, dan gak usah risau mikirin SPP & uang kos. Singapore Scholarship dari Ministry of Foreign Affairs Singapore yang bakal bayarin semuanya. SPP, uang saku, tiket pesawat, you name it. Ibu bisa simpan setiap 20rb-an yang beliau selalu transfer.

Di NTU, kerinduan pada UKM ITB saya obati dengan menularkan virus tari piring. Dengan falsafah di mana bumi dipijak disitu budaya minangkabau dilestarikan (hehehe). Bertahun2 kemudian, versi tari yang saya turunkan (nyontek versi UKM), terus ditampilkan di acara2 di NTU atau acara lain (senangnyaaa). 
.
Yah begitulah, tak semua hal yang kita sayangi harus jadi milik kita mungkin ya (eeeh ini kejauhan analoginya). Sebesar apapun cinta saya sama ITB, ternyata harus berpisah juga. Awalnya membingungkan. Putusan yang sulit. Sebab saya fikir, toh walau kurang uang masih bisa hidup. Mengapa harus ke NTU? Saya lupa bahwa proses seleksi menuju NTU juga saya jalani dengan penuh perjuangan dan kesadaran. Hampir 6 bulan menjalani tes ini itu. Ngutang sana sini juga buat biaya bolak balik ke Jakarta. Ehh pas udah dapet, malah galau. Labil amat yak, maklum usia muda.
Daan kebiasaan saya ketika galau adalah: jalani aja. Galau lagi, jalani lagi, galau lagi, jalani lagi. Daaan, ternyataa, NTU rupanya juga kampus yang unik dengan segala cerita menariknya. Keputusan meninggalkan ITB, dikompensasi oleh berbagai kisah yang juga luar biasa warnanya. Kapan2 kita bahas ya...
.
.
Long after that, ke-ITB-an saya gak pudar juga. Bercita2lah punya suami lulusan ITB. Kesampaian!  Menyenangkan punya teman diskusi yang bisa diajak membicarakan berbagai semesta kehidupan. 
.
.
ITB buat saya mungkin sebuah kasih tak sampai. Tapi saya punya segala kenangan yang berisi banyak momen manis dan penuh pembelajaran selama setahun di sana. Tentang tekad dan determinasi. Tentang menertawakan kesusahan. Tentang betapa bahagianya ketika mewujudkan mimpi. Kenangan itu, semoga selalu menjadi ruh untuk memantapkan langkah kaki, untuk petualangan2 nekat berikutnya.