Minggu, 07 November 2021

Ibu semakin sembuh



Dapat kabar bahwa Ibu sakit, walau sudah membaik dan dirawat di rumah.

Kebalikan dengan anaknya yang berisik, Ibu saya ini cenderung pendiam, meskipun guru SD. Tetapi di depan kelas gemar bercerita. Ibu, sosok yg unik. PNS pertama di kampung halamannya di tahun 1970-an, pedagang sate yang senang Matematika dan Bahasa Indonesia (Ibu jago pribahasa, pantun, dan puisi). Kemampuan berbahasanya unik, bisa ngomong terbalik, per huruf, kalimat, bukan per kata lhooo...
Diajarkan ke saya 🤣.
UBI NAD AYAS IGAB TEGNAB ASAIB GNAY LAH HIIIS KILABRET GNOMOGN HAAA...

Kebalikan dengan anaknya yang kebanyakan bicara, Ibu cenderung pendiam dan tertutup. 
Sejak stroke 2018, ibu makin pendiam, dan kalau saya tanya "Ibu butuh apa?", Ibu hanya tersenyum dan menjawab singkat "Indak ado, alah ado sadonyo". Walau kemudian saya tetap mengada2 mengirimkan entah apa, yg saya yakin akan membuat ibu tertawa2 (coz I know her 😁). Ya bagaimanalah, ibu kan pintu surga kita, setiap bahagia dan tawanya saya harapkan berkah di dalamnya. Bukankah gak akan mungkin terbalas jasa2nya?

Ibu saya tak pernah tampak sedih. 
Makanya saya dulu kaget saat tahu Ibu ternyata sempat menangis ketika saya terbang sendirian ke Singapura menuju NTU tahun 2000 demi kuliah gratis. Saya menelpon sambil tertawa2. Tenaang, udah gede gak akan hilang. Tangis yang sama ketika saya nekat naik bus ke Cianjur tahun 1999, bersama 2 sepupu cowok yg sama2 gak pernah merantau. 
Lalu kami "hilang" 4-5 hari di jalan, karena bis non AC kami mogok gak karu2an berkali2. Tahulah telpon umum benda langka, apalagi di pinggir hutan lintas Sumatera. Saya menuju ITB, kampus impian saya. Dan Ibu mungkin terlanjur pasrah dgn anak gadisnya yang keras kepala.

Walau gak banyak bicara tapi saya tahu sayangnya Ibu pada anak tak hingga (baru paham juga setelah jadi Ibu). "Kamu akan kuliah ke luar negeri suatu hari", kata Ibu yg ucapannya bertuah itu. Suatu hari saat saya SMP, sambil memandang Ibu yg cekatan dengan setrikaan arangnya. Sampai SMA pun, listrik buat kami benda mahal. Saya cuma tertawa2. Mana ada pemikiran saya kuliah di Luar Negeri. Saya tergelak sambil meneruskan menuliskan khayalan2nya Ibu.

Dulu di Ciputat, setiap pulang kerja, kami selalu "ngobrol" di Meja Makan. Walau saya cenderung monolog, dan Ibu antusias dengan ekspresi2 khasnya. Ibu yg Single Parent sejak kami balita, banyak bicara hanya ketika saya mengambil sebuah keputusan besar dalam hidup. Sambil menggosok2 punggung saya, Ibu berkata "Bisa kok, kamu bisaa. Semua ini bisa dilalui. Ibu bahkan dulu gak punya apa2".

Ya ya. Tahulah saya definisi "gak punya apa2".  
Masih inget kok gimana setiap 20rb-an pun dikirim Ibu ke Bandung walau berjeda-jeda misterius. 
Saya kebayang betapa itu gak mudah buat Ibu. Dan saya yakin doa beliau semata yg mengantarkan saya kuliah gratis ke Singapura, dalam sebuah seleksi yg rasanya mustahil.
Keajaiban doa Ibu.
Keadaan saya jauh lebih baik di mata beliau, dan menurut beliau saya bisa. Dan ucapan Ibu adalah mantra, fikir saya. Makanya setiap kali menelpon, walau gak banyak bicara, saya takzim mendengarkan semua kata terpatah2 Ibu yang bagi saya terdengar seperti doa "Kamu bisa, kamu bisa". Itu adalah diksi favoritnya.

Ibu saya yang sempat 14 hari nyaris koma di RS Pusat Otak Nasional. Sebuah titik yang menghantarkan saya pada sebuah kesadaran bahwa, ternyata saat Ibumu sakit, duniamu runtuh, dan persoalan hidup lainnya jadi gak ada artinya. Jadi receh semua. Seolah terngiang sabda Nabi. "Ibumu, Ibumu, Ibumu...."
..
Semoga Ibu cepat sembuh...
Akan halnya Ibu yang merasa "tak butuh apa apa". Bagi seorang anakpun demikian hakikatnya

"Tak ada yg lebih penting dari Ibunya yang sehat dan bahagia"