Minggu, 25 Juli 2021

Ter-covid di kampung halaman



Saya gak tahu mana yang lebih sulit, menjadi sakit, atau menemani orang sakit.

Anyway, things are getting a lot more better now. 
Walau teteup belum bisa ke Jakarta. Mulai dari drama nyari dokter spesialis penjelasan medis anak2 blm vaksin (1 minggu urus ini), PPKM Iedul adha anak<18 thn dilarang terbang, syarat PCR yg hanya bisa di RS tertentu, hasil PCR yg bahkan ga keluar setelah 3x24 jam (keterbatasan fasilitas di daerah, so sad), dan jadwal penerbangan yg tahu2 berubah gak ngejar hasil PCR yangg ga kunjung keluar. Terjebakku di kampùng sendiri 😅

Meskipun banyak sekali agenda tertunda, tapi ada 1 hal besar yang harus selalu disyukuri dalam hidup, yaitu: Kehidupan itu sendiri. Being alive! Di tengah letihnya atmosfer udara menampung segala berita duka, di tengah menderasnya air mata orang-orang yang kehilangan jiwa2 terkasihnya, dan di tengah lelahnya bumi tak henti-henti menampung tubuh-tubuh yang telah kembali kepada Rabb-nya.

Setiap bangun pagi rasanya seperti diberi kesempatan ke-2. 
Sapaan "hai kamu, apa kabaaar hari ini", rasanya luar biasa, baik bagi yang menyapa maupun yang disapa.
Frasa "sehat sehat yaaa kamuuu", bukan lagi sekadar basa basi semu. Sungguh mengandung harapan semoga yg disapa dalam keadaan sehat jiwa dan raga.

Perjalanan ke Negeri Oren tertunda cukup lama. Akibat pandemi global administrasi perjalanan ditangguhkan. Thanks to teknologi sehingga kegiatan belajar dapat dilakukan daring.

Sekarang, setiap momen menjadi lebih berarti.
Cucian2 yang menumpuk itu untuk disyukuri, karena masih ada kekuatan untuk memeras dan menjemurnya.
Rumah yang berantakan itu untuk disyukuri, karena artinya anak2 cukup sehat untuk beraktivitas aneka rupa.
Jurnal2 yg memusingkan ini untuk disyukuri karena masih ada dosen yg mau repot2 membagi pemikirannya dgn saya.
Target2 paper itu untuk disyukuri krn pembimbing berarti masih belum menyerah dengan saya 💪

Bernyanyi di hari Sabtu...
Dengan nada2 mengalun merdu...
Lagu ini memang bikin tersipu-sipu 😊
Tapi ke Jakarta, aku sudah begitu rindu!

Sabtu, 15 Mei 2021

Ramadan berlalu (2021)

 




Dia sudah pergi
Pergi jauh, 11 bulan lamanya

Kami tahu,
Rindu itu tidak akan pernah selesai...
Saat-saat munajat syahdu dalam renungan...
Mencermati hakikat perjalanan..
Merayu ampunan dalam sujud-sujud panjang..
Meluruhkan kehambaan dalam jiwa penuh sesal, namun juga penuh keinginan...
Ah, kita memang insan yang lemah..

Dia benar-benar sudah pergi
Pergi jauh, 11 bulan lamanya

Kami tahu...
Setiap detiknya, tak akan tergantikan...
Yang berlalu tak kan terulang...
Waktu yang sempat tersia-siakan, akan menguap seiring penyesalan..
Ya Rabb, lalainya kami

Dia sudah pergi
Pergi jauh, 11 bulan lamanya...

Wahai bulan penuh keagungan,
Semoga masih ada rejeki perjumpaan...
Semoga masih ada kesempatan menyambut magrib pertama-mu dengan air mata ke-khusyuk-an...
Malam-malam di mana hati penuh harap..
Berharap para malaikat turun mengaminkan doa-doa rahasia, di malam laylatul qadr-mu...
Malam yang dirahasiakan...
Malam yang pasti dialami semua orang, hanya saja beda kegiatan...
Entah kami menjalaninya dalam sujud penuh munajat, atau malah dalam kesia-siaan...

Ramadhan sudah pergi
Pergi jauh 11 bulan lamanya...

Jika di waktu ramadhan saja hati tak bisa seluruh penuh berusaha menggapai surga-Mu.
Bagaimanalah lagi di bulan lainnya...

Wahai diri, marilah menyerah..
Tundukkan segala ketaatan, dan merayu memohon hidayahNya.

Berharap pintu-pintu langit dibukakan selebar-lebarnya, berisi cahaya kemaafan, cahaya ampunan, dan menjemput takdir yang indah...
Berharap menjadi insan yang dimaafkan Allah, diridhoi Allah, dan diampuni Allah.
Adakah yang lebih penting dari itu?

Semoga di luar ramadhan, tetap kami maksimalkan ikhtiar...
Sehingga,
Mata ini
Hati ini
Pandangan ini
Fikiran ini
Seluruh panca indra, raga ini..
Hanya melakukan hal2 yang Engkau halalkan dan Engkau ridhoi...

Dia sudah pergi
Pergi jauh 11 bulan lamanya

Ingin berkata, tetaplah di sini
Jangan pergi, jangan pergi
Sujud kami belumlah maksimal
Sholat kami tak pernah benar-benar khusyuk
Bahkan saat berkata Allahu Akbar, di hati kami tetap menari-nari masalah yang terasa besar

Jangan pergi, jangan pergi..
Tetaplah hidup di hati ini..
____ _____

//gak tahu kenapa Keukenhoff serasa mewakili cerianya Ramadhan

Senin, 26 April 2021

Sahabat dan jendela emosi




 "Jendela emosi, sangat penting dimiliki setiap orang. Untuk meleraikan berbagai timbunan kusut di kepala, menderaikan tawa dengan output semburat bahagia, sebagai obat bagi jiwa. Menyehatkan, menyembuhkan".

Itu penjelasan psikolog, yang tentunya sudah aku sunting dengan diksi pilihanku. Tapi intinya begitulah. Setiap orang perlu jendela emosi untuk menyalurkan tumpukan energi dalam dirinya. Supaya kembali segar bugar.

Jendela emosi bisa berupa penyaluran hobby (main musik, nyanyi, olahraga, membaca, menulis), kegiatan spiritual (baca Qur'an, dengerin kajian), bersosialisasi, dll.

Saya punya bbrp jenis jendela emosi, semuanya menyenangkan (of course!). Salah 1 favoritku adalah pertemanan.

Saya bucin banget kalau udah soal berteman. Can not live without them. Apalagi yg frekuensinya udah klop banget gak karu2an. Saya udah sampai di level "name the place, I'll be there, in a minute".

Tahun lalu, saya sempat terjebak dalam a very wrong and toxic kind of friendship. Gak pernah jiwa selelah itu. Dari seluruh jenis "inner circle" yang ada, kenapa yg ini malah bikin seluruh energi-ku tersedot habis seperti dihisap dementor. Aku kehilangan diriku. Seutuhnya. Entah menjelma jadi siapa.

Lalu saya mundur sejenak, dibantu terapi sana sini, dan segala "omelan2" sahabat2 baik, saya rasanya seperti manusia tenggelam yang diangkat lagi ke permukaan. Sakit, namun perlahan melegakan. Saya lahir lagi. Untuk pertama kalinya saya sangat serius mempelajari orang lain, dan diri sendiri. Perih, tapi banyak pembelajaran.

Semoga ya semoga, aku tak jatuh lagi di lubang yang sama. Sudah terlalu tua untuk mengada-ngada.

Dan untuk teman-temanku. Terima kasih ya, untuk semua lengkungan di sudut-sudut bibir. Untuk semua waktu yg telah diluangkan. Untuk semua keceriaan yang dibagi. Dan untuk semua suntikan semangat tentang berbagai topik kehidupan.

Thank you for having me...❤❤

//minjem foto reunian mommies NTU-NUS yak 🌹🌹

Jumat, 12 Maret 2021

Hari ke 28


Hari ke 28.

Bangun tidur hati ini rasanya kayak musim semi. Adem, tentram, bahagia, lega. Mekar, syahdu, seperti musim bunga. Semoga untuk seterusnya.
Jadi inget foto ini. c.a 2015. Keukenhoff. 13 kg yang lampau hehehe. Lemak-lemak jangan balik lagi ya. Kasian ban sepeda...

Hari ke 28.
Saya tahu hati ini Allah yang ciptakan, dan Allah yang genggam.
Maka saat berkaratnya semakin luar biasa, saya kembalikan lagi pada pemiliknya dengan seluruh penuh. Untuk segala resah, sedih, tangis, dan airmata, atas kemilau fana yang dihadapanNya gak lebih dari sebelah sayap nyamuk. Awan abu-abu retak yang menggayuti jiwa, sungguh memberatkan rongga dada.

Hari ke 28.
Hati ini Allah yang ciptakan dan Allah yang berkuasa penuh atas terbolak baliknya. Saya kembalikan padaNya, merayu untuk menyembuhkan hati saya. Karena tiada kuasa saya melakukannya sendiri, dan tiada pula manusia mampu melakukannya.

Hari ke 28.
Saya sampaikan padaNya. Tentu ini perkara mudah bagiNya. Pada siapa lagi saya pasrahkan Khouf, Mahabbah, dan Roja'. Gak ada yang lebih hebat dari padaNya. Gak ada.

Lalu saya bilang, jalan berliku, segala perih akan saya hadapi demi sepotong hati yang baru. Jika itulah satu2nya jalan menuju insan baru yg lebih tangguh, bahu yg lebih lapang, dan kaki yg lebih kokoh. Akan saya tempuh, akan saya tempuh. Janji saya.

Memangnya apalagi sih yang lebih penting dibanding Ridho, Kasih sayang, dan ampunanNya?

Hari ke 28
Makasih buat sahabat2 yang sabar banget dengan kisah unfaedah ku. Tanpa kamu, kamu, dan kamu, terus saja aku berkubang dalam kehinaan hati ini.

Karena, seperti kata ustadz Salim.
Ada bagian tubuh yang tak bisa kita lihat tanpa bantuan cermin. Ada sudut pandang yang tak bisa kita pahami tanpa ketelitian telaah saudara.

____

Laa ilaaha illallaahul ‘azhiimul haliim..
Laa ilaaha illallaahu robbul ‘arsyil ‘azhim...
Laa ilaaha illallaahu robbus-samaawaati wa robbul ardhi wa robbul ‘arsyil kariim...

Do'a Kurb di atas diajarkan Rasulullah untuk saat2 genting. Segenting itu buat saya perkara ini.

Kembali mengutip ust SAF:
Segala luka dan kecewa tampaknya kan malu dan meniada: ketika kita insyafi bahwa Allah Yang Maha Mengatur tak pernah keliru, tak pernah aniaya.

Jumat, 26 Februari 2021

uNisA dan warna hijau


Hampir semua benda yg saya miliki berwarna merah. Someone said "Ah kamu, bajaj di cat merah juga pengen kamu bawa pulang kan? Milih barang juga bukan liat kualitasnya, tapi yang penting MERAH". Hehe iya juga sih, aku gak objektif kalau ketemu merah. I am addicted to red.


Tapiiii, little did people know bahwa re-charging energi saya justru di tempat bernuansa HIJAU kayak gini. Sawah, ladang, pohon, rumput-rumputan, di hadapan saya menjelma menjadi senyuman Ibu pertiwi yang mendamaikan perasaan. Ramah...

Di tempat-tempat seperti ini, seluruh partikel udara seolah berdesak-desakan menari-nari di seluruh penjuru angin, berlomba-lomba menawarkan hembusan semilir yang menyelusup ke rongga-rongga hati terdalam, menawarkan nyaman dan tentram.

Di tempat sehijau ini...
Mata dimanjakan dengan warna yang sekilas monoton, namun seolah menghipnotis segala titik lelah di sudut-sudut mata, meluruhkan keriput di ujung-ujung pelipis, dan meleraikan berbagai kenangan buruk yang sempat melapisi pupil2 mata kita, lalu menggantinya dengan warna-warna ceria

Saya merasa punya 2 pasang mata yang baru.
Bersih.
Dan siap lagi menatap lembar hari yang baru dengan hati lapang.

Di tempat selapang ini.....
Telinga seolah hanya mendengar nyanyian alam, hal-hal indah yang diciptakan Tuhan di bumi, belum dijamah tangan manusia.
Sayup gemericik air seperti buluh perindu yang menghadirkan syahdu.
Hembusan angin seolah punya suara, memainkan lagu-lagu terbaik yang dimiliki alam.
Menghapus memori2 negatif yang mungkin pernah didengar oleh telinga ini, menggantinya dengan alunan-alunan ilusi yang iramanya menembus otak dan hanya suara indah yang terdengar.

Saya rasanya punya 2 pasang telinga yang baru.
Bersih.
Dan siap lagi mendengar lanjutan nada-nada kehidupan di babak selanjutnya.

Di tempat sehijau ini....
Indra penciuman dan pernafasan seolah mengucapkan terima kasih karena kembali menemukan fitrahnya. Menghirup udara bersih, alami, belum banyak bercampur dengan polusi-polusi kreatif ciptaan manusia. Lembaran-lembaran alveolus di ujung cabang-cabang bronkus, seolah menari-nari gembira menemukan atmosfer yang mereka kenang sejak jaman purba.Mereka juga ikut gembira.

I am home...

Rabu, 10 Februari 2021

Kenangan ITB


ITB bagi saya ibarat kasih tak sampai. Eh, sempat sampai denk 1 tahun, tapi harus berpisah pas lagi sayang-sayangnya 😭. Utamanya alasan ekonomi. (kamuuuh, matreee, uNisA). Ya, ada benarnya. Tapi kamu dengar dulu cerita saya, hyung...

Selama di ITB, saya ada isu finansial. Makanan favorit saya adalah Soto Surabaya gerbang belakang. Rp.1000, nasi sepuasnya. Kenyang!
Rutinitas saya: ke bank Bukopin perpus ITB, deg2an, ngecek apakah ada kiriman uang. Kiriman 20rb kala itu rasanya kayak saudagar. Bisa makan 20x.

Saya aktif (nari) di Unit Kesenian Minangkabau (UKM). Ini salah satu penyelamat masalah gizi. Penampilan2 di acara2 nikahan Minangkabau, tentu dilengkapi acara makan hehe ☺. Juga segala gorengan di markas UKM yg boleh ngutang.

Etapii jangan salah, hyung. Saya rajin menari bukan demi gizi semata. Tari minang mengalir dalam darah saya sejak SD. Kalau gak salah yang jadi alasan awal pengen kuliah di ITB adalah ketika senior2 di Smansa Padang ngadain try out dengan label "UKM ITB". Lalu saya melongo diceritain pagelaran2 budaya Minang yang dilakukan. Sejak itu tekad saya kuat: saya harus ke ITB, supaya bisa masuk UKM (ehh, ini gimana, mau kuliah apa menari sih).

Maka ketika itu terwujud, jadilah saya lebih banyak menari daripada kuliah 🤣🤣. Bahkan saya gak lulus ospek jurusan saat pelantikan semester 2, krn suka bolos ospek wik en. Di ITB ospek itu setahun, kakaak. Tapi ya gitulah, saya cinta ITB lahir batin. Setiap langkah kaki dari kosan, rasanya kayak langkah ke pelaminan (eeh..) Penuh semangat!!

Maka ketika dapet beasiswa ke NTU, hari terakhir di Bandung air mata saya menderas. Saya ingin tetap di ITB! Ini impian saya!

Ya tapi gimana, saya tergoda memikirkan gak usah lagi membebani Ibu dengan kiriman2 uang saku, gak usah lagi ngutang2 gorengan, deg2an motokopi bahan ujian, dan gak usah risau mikirin SPP & uang kos. Singapore Scholarship dari Ministry of Foreign Affairs Singapore yang bakal bayarin semuanya. SPP, uang saku, tiket pesawat, you name it. Ibu bisa simpan setiap 20rb-an yang beliau selalu transfer.

Di NTU, kerinduan pada UKM ITB saya obati dengan menularkan virus tari piring. Dengan falsafah di mana bumi dipijak disitu budaya minangkabau dilestarikan (hehehe). Bertahun2 kemudian, versi tari yang saya turunkan (nyontek versi UKM), terus ditampilkan di acara2 di NTU atau acara lain (senangnyaaa). 
.
Yah begitulah, tak semua hal yang kita sayangi harus jadi milik kita mungkin ya (eeeh ini kejauhan analoginya). Sebesar apapun cinta saya sama ITB, ternyata harus berpisah juga. Awalnya membingungkan. Putusan yang sulit. Sebab saya fikir, toh walau kurang uang masih bisa hidup. Mengapa harus ke NTU? Saya lupa bahwa proses seleksi menuju NTU juga saya jalani dengan penuh perjuangan dan kesadaran. Hampir 6 bulan menjalani tes ini itu. Ngutang sana sini juga buat biaya bolak balik ke Jakarta. Ehh pas udah dapet, malah galau. Labil amat yak, maklum usia muda.
Daan kebiasaan saya ketika galau adalah: jalani aja. Galau lagi, jalani lagi, galau lagi, jalani lagi. Daaan, ternyataa, NTU rupanya juga kampus yang unik dengan segala cerita menariknya. Keputusan meninggalkan ITB, dikompensasi oleh berbagai kisah yang juga luar biasa warnanya. Kapan2 kita bahas ya...
.
.
Long after that, ke-ITB-an saya gak pudar juga. Bercita2lah punya suami lulusan ITB. Kesampaian!  Menyenangkan punya teman diskusi yang bisa diajak membicarakan berbagai semesta kehidupan. 
.
.
ITB buat saya mungkin sebuah kasih tak sampai. Tapi saya punya segala kenangan yang berisi banyak momen manis dan penuh pembelajaran selama setahun di sana. Tentang tekad dan determinasi. Tentang menertawakan kesusahan. Tentang betapa bahagianya ketika mewujudkan mimpi. Kenangan itu, semoga selalu menjadi ruh untuk memantapkan langkah kaki, untuk petualangan2 nekat berikutnya.

Rabu, 06 Januari 2021

Selamat datang 2021

2020 lewat sudah,

Menggenapi 4 tahun perjalanan karir saya sebagai "independent-cute-and-lovely-mom" bagi duo tekos.

Perjalananan yang penuh warna.

Kadang ada sedih dan sepi.
Of course! Fitrah manusia pasti ingin segalanya lengkap dan genap memenuhi kodratnya. Selalu ada ruang-ruang kosong yang tak mampu saya penuhi. Bukan karena bahu saya kurang lebar, atau tangan saya kurang kokoh. Tapi memang naluri alami saya tidak mampu menjangkaunya. Ibarat burung patah sayap. Ya gak bisa terbang. Tapi ya sudah, saya akhirnya berdamai dengan kenyataan. Burung yang gak bisa terbang masih punya banyak alasan untuk melanjutkan hidup, bukan?

Sering juga ada haru dan syahdu.
Tanpa disadari duo-tekos melesat tumbuh melewati usianya. Apalagi saat kami di rumah hanya ber-3. Mereka paham kapan harus mencuci baju, angkat dan pindahin jemuran, menyapu mengepel, menyiram tanaman, memberi makan kuching, bahkan meramu bahan-bahan masakan. Berusaha keras menjaga kerapian rumah, dan paham makna "chaos yang terdefinisi". Disiplin dan kemandirian, kata bundo, gunanya kelak buat kalian.

Walau jarang, kadang ada juga rasa frustasi. Saat duo tekos di puncak perseteruan ala cowok, hadir berbarengan dengan kompleksitas dunia kerja, ditingkahi genteng bocor, kamar mandi rusak, gas dan aqua galon abis, dinamika urusan sekolah bundo, dan masalah2 epic kampung halaman. Bersemedi sejam dua jam tak selalu mendamaikan hati. Bahkan joke "jika tak ada bahu untuk bersandar, ada telur untuk di-dadar", tak selalu mampu mengubah kepusingan menjadi senyuman.
Tapi ya sudah. Hadapi saja. Benang kusut itu akhirnya terurai juga.
Memang butuh modal banyak:
...Kekuatan tekad.
...Determinasi.
...tak jarang air mata.
...dan tentu saja sang waktu. Ahli menyembuhkan segala luka dan duka.

Daaan di atas semuanya, ada bahagia, senyum, dan tawa. Momen yang paling sering saya share di IG story, facebook, dan blog. Kadang narasinya mungkin berlebihan. Sesekali ada yang menuduh saya pamer. Penafsiran beragam, tentunya di luar kekuasaan saya. Andai mereka tahu bahwa kisah2 manis selalunya saya tulis ulang, untuk semakin menguatkan langkah kaki kami. Bahwa, sayap yang patah itu tidak akan menghalangi kami untuk bahagia

Kamis, 03 September 2020

[Goresan] Sang waktu


Berdialog dalam sunyi..

Berdiam dalam sepi..
Kesendirian kadang memberi ruang untuk kontemplasi..
Menyapa takzim sang waktu yang merajai hari..

Pada akhirnya, sang waktu memang selalu bermetamorfosis menjadi 2 pilihan.

Pilihan pertama: waktu seolah obat atas lelah penat perjalanan, penawar dahaga, dan formula ajaib pengubah pahit menjadi madu. Sehingga setiap tarikan nafas selalu terasa semakin manis dan semakin manis.

Pilihan kedua: waktu seolah kabut yang turun perlahan di dataran rendah penuh rawa. Semakin pekat dan semakin padat, mengungkung pembuluh jiwa, menyesakkan dada. Sehingga setiap tarikan nafas terasa semakin pahit dan semakin pahit.

Akan halnya diri, rupanya terkadang lupa bahwa hakikatnya pemaknaan waktu adalah pilihan. Memilih menjadikan tarikan nafas terasa semakin manis, atau sebaliknya terlena dalam sisi-sisi perih berkubang-kubang.

Pilihan yang akan memberi makna pada usia..
Ah, usia..

Akhir-akhir ini, waktu selalu mengingatkan pada pudarnya siluet kesukaanku.
Yang sering berdiri di persimpangan fikiran.
Tampak gusar pada kerumitan yang kadang tak terurai.
Penuh lompatan-lompatan pertanyaan mencengangkan.
Kegusaran yang memukau..

Akhir-akhir ini, waktu seolah memaksaku, memudarkan sebuah ruang rindu.
Tempat resonansi jiwa bermula, lalu perlahan bermukim nyaman di sebuah ruang rahasia.
Apa perlu aku hilangkan kuncinya?

Ada yang tak bisa pergi.
Ada yang tak ingin kulepas pergi.
Padahal, biarkan saja pergi.
Lalu abaikan remah pahitnya, kumpulkan ceceran yang manis seperti gula.

Hari ini..
Kembali kulepas siluet itu pergi
Walau akan redup cahayaku
...semoga tak lama

Kemudian, ibarat kupu-kupu,
Bersiap terbang, hingga jarak makin terbentang.
Terbang adalah keharusan
...supaya sayap tetap mengepak
...supaya tak ingat lagi perih
walau diterjang halilintar
walau kilat menyambar
walau takut jatuh lagi.

ah tidak,
kalaupun jatuh
haruslah sanggup berdiri dan terbang kembali..
mengejar warna warni pelangi.

Terima kasihku kepada pihak-pihak yang membuat senyuman begitu cemerlang. Walau ditingkahi oleh sebuah cengiran usil di sudut hati yang pelan-pelan harus dipadamkan. Harus dipadamkan

Rabu, 26 Agustus 2020

[Goresan] Terima kasih yaaa

Jadi,

Aku mau bilang makasih, atas segala nasehat, masukan berharga, perenungan-perenungan, bahkan obrolan-obrolan receh yang kita bicarakan. Segala lautan narasi, deskripsi, diksi itu, berkejar-kejaran memasuki ruang-ruang pemikiranku. Sebagian masuk ke ranah sel-sel kelabu yang seringkali membuat dahiku berkerut, otak meleleh. Sebagian lagi bersemayam ke ruang-ruang syahdu yang menentramkan hati. Bahkan tak sedikit juga yang menelusup membaur dengan hormon oksitosin, dopamin dkk, yang membuat sudut-sudut bibir ini melengkung ke atas. Aku tersenyum dan tertawa....

Jadi,
Aku mau bilang makasih, atas sebuah hal penting yang kadang aku consume semena-mena. Hal yang tak kan terulang.
Sang waktu.
Iya, makasih atas segala waktu yang disediakan. Waktu untuk mendengarkan rentetan kalimatku yang seringkali gak beraturan, lalu kau bantu menjadi terstruktur dan indah. Waktu untuk mendengarkan ocehanku yang kadang melompat-lompat memenuhi udara, berebutan mengatakan banyak hal yang kadang tak benar-benar aku pahami, lalu sepenuh hati kau ubah jadi penuh makna. Bahkan waktu untuk mendengar keluh kesah dan irama kesedihanku yang konyol. Sangat cetek. Tak proporsional dengan umur dan berat badan. Yang kadang dalam sekejap berubah lagi jadi tarikan sudut-sudut bibir melawan gravitasi. Aku tersenyum dan tertawa...

Jadi,
Aku juga mau bilang makasih atas ditanamkan padaku bahwa:
...yang penting itu adalah bagaimana menikmati setiap proses yang dilalui.
...bagaimana menjemput hikmah dan manfaat yang kadang mengintip malu-malu.
...kadang kita tersenyum saat menemukan hal-hal baru.
...dan kadang jatuh lalu bangkit lagi ketika sempat sedih karena merasa kaki tiba-tiba lemah.
...dan semoga setiap kalimat yang kita baca, setiap kata yang kita tuliskan, berperan menjadi mata pena yang tajam mengukir kekuatan karakter dalam diri kita. Rasanya seperti ada gemintang masuk ke mataku sejenak, lalu keluar menjelma matahari. Segala pahit menjelma menjadi gula...

Jadi,
Aku mau bilang makasih atas segalanya...
Hanya bisa kubalas dengan do'a.
Karena kufikir, do'a dalam diam adalah ungkapan rahasia paling sempurna.

Terima kasih pernah ada...
Walau kemudian menjadi tiada...