Selasa, 29 Agustus 2006

[Cluster-3] Jelang seperempat abad…

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

29 Agustus 2006

Bunda Sayang…
Berarti tepat 6 hari lagi, usia ini seperempat abad. Nanda mungkin bukan penganut perayaan hari ulang tahun dan mengucapkan selamat atas semakin menipisnya jarak antara jasad ini dengan liang kubur. Hanya berusaha menitipkan salam lewat senyuman rembulan di langit sana buat bunda sayang.

Bunda sayang, bukankah kita menatap langit yang sama. Bukankah kita membagi jiwa yang sama.  Jika demikian, pasti buncahan rindu yang nanda rasakan saat ini adalah hal yang sama yang engkau rasakan juga di sana. Bunda sayang, apakah engkau juga menangis malam ini? Selalu bergetar diri setiap mencoba mengingat-ingat bakti apa yang sudah kuusahakan untuk seorang yang begitu tulus melahirkan, mencintai, membesarkan fisikku, membesarkan hatiku, menempa jiwaku, walau single fighter. Berarti sudah seperempat abad juga sosok tercinta itu berjuang begitu hebat sendirian, demi aku. Jatuh bangun dalam kekurangan harta untuk hidup hari ke hari, demi membiayai aku. Memupuk bintang harapnya setinggi langit, pada aku. Melabuhkan seluruh cinta buatku tanpa keinginan membaginya lagi dengan yang lain walau seperempat abad yang lalu itu usianya masih sangat muda. Ya bunda, 11 bulan tidak melihat wajahmu. Apakah telah bertambah kerut di sana. Cerahkah senyum di sana. Bagaimana hari-harimu. Bunda, aku rindu…

Berarti 6 hari lagi, usia ini seperempat abad. Ketegaranmu dalam hidup bu, bagiku adalah cerminan yang membuat kaki ini selalu mampu melangkah walau kita nyaris sebatang kara. Mendengar cerita-ceritamu akhir-akhir ini membuatku makin tak ingin pulang.  Ah bunda, ternyata kita tak tahu lagi bagaimana memaknai ketulusan. Benda itu sudah langka dan mahal harganya ya. Selalu gerimis hati ini setiap kali kabar-kabar terbaru diterbangkan angin sampai ke pulau ini. Mendung di hatiku setiap kali mengingat bahwa masih banyak terpaan angin kencang yang engkau hadapi. Sabar ya bunda, kaki ini masih belum mampu membawamu terbang ke sini. Tangan ini masih terlalu lemah untuk menghadirkanmu di sini walau setiap malam begitu tinggi harap tak terkatakan. Sabar ya bunda, tak sabarpun rasa di hati mencurahkan sepenuh bakti pada engkau seorang diri. ”Biarlah makan dengan garam Nak, asal ibu dekat denganmu”, begitu katamu selalu. Kalimat itu pula yang mampu menerbangkan aku dari segala kemewahan di Singapura sana. 

Ketidaknyamananmu dengan negeri kecil itu pula yang membuatku mampu menjalani proses adaptasi yang tidak mudah di ibukota tanah air kita ini. Meninggalkan teman-teman tersayang dengan segala keindahan ukhuwah yang telah demikian lama terbina, yang sebagian bahkan telah menjadi lebih dari saudara. Tak terpungkiri bahwa malam terakhir di Singapura adalah salah satu saat paling berat, salah satu keputusan paling susah, karena belantara beton ini sungguh asing bagiku, baik negerinya maupun penduduknya. Merajut persaudaraan yang baru tidaklah mudah, bu, karena rupanya batinku masih nun jauh di pulau itu. Demi engkau bunda, akan kusulap Jakarta menjadi senyaman Singapura.  Demi engkau bunda, tak ada artinya semua harta di dunia. Demi engkau bunda, andai bisa ingin kubuatkan sebuah istana di Surga. Demi senyum di wajahmu bunda, rela kutukar segala kemewahan dunia. Tak ada tempat yang lebih nyaman di dunia ini selain pangkuan ibu, demikian kata seorang penulis berkebangsaan Jepang. Ah bunda, engkau yang terbaik di dunia. Bahkan tak sekalipun kata-kata kasar kudengar dari mulutmu. Senyum selalu di sana, setidaknya yang terlihat di mataku walau perjalanan hidup megajarkan bahwa tak jarang senyummu mengandung tangis di hati. Bunda, aku rindu…

Bunda sayang…
Bagaimana kabar kota kelahiranku? Sudah 20 purnama tidak melihatnya. Tanah melayu yang dulu santun dan akrab dengan nilai-nilai islam. Nanda rindu bu, walau kadang rindu itu tersapu oleh bayang-bayang insan yang membuat kita tidak lagi sanggup menemukan arti ketulusan. Dada ini masih cukup lapang untuk mendengar cerita-ceritamu Bunda, walau tangan ini belum cukup kuat untuk membawamu terbang ke sini.

Titip rindu lewat bintang yang menari  bersama inti bumi. Sujud takzim buat bunda, yang telah membuat perjalanan seperempat abad ini terasa begitu mempesona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar