Senin, 13 November 2006

[Cluster-5] Tamanuang

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

Ah kemana juz 27 ku? Kemana ketenangan yang dulu merayap-rayap setiap kali bimbang meradang. Kemana dendangan-dendangan kalimatNya yang selalu menjadi melodi terindah mendendang Qalbu? Setiap saat setiap detik, dimanapun kapanpun. Kemana petuah-petuah bijak yang selalu jadi senjata andalan ketika satu dua jiwa mendekat ingin bersahabat. “Simpan ayatNya dalam dadamu maka segala pahit akan berubah menjadi semanis gula”, begitu selalu kata diri pada semesta. Maka diripun menjadi rindu pada jiwa lama yang selalu berdendang riang memandang matahari senja Singapura kala warna-warni melukis raga. Maka diripun mejadi rindu pada jiwa lama yang selalu cerah ceria mensketsa sungai Singapura ditemani ayat-ayatNya.

Seribu tanya menari disela sesal yang kemudian tumpah menjadi airmata. Bersalah. Bersalah dalam kekalahan, kalah terhadap diri sendiri. Episode siang ini membingkai jendela. Menjingga, memerah lalu menghitam. Ah diri, kenapa sampai sejauh ini, pantas saja hilang semua koleksi kalimat-kalimatNya. Lalu mencobaku menyelusup mencari jiwa lama itu ke dalam aliran darah, seluruh denyut nadi, lapisan kelabu di kepala. Tak ada. Tiada. Engkau dimana wahai jiwa? Wahai keindahan yang selalu memenuhi semestaku, wahai ketenangan yang selalu menawarkan singgah untuk melepas lelah. Engkau dimana. Tak tahukah aku rindu.

Angin menggenggam jiwa, yang tak tahu lagi bentuk rupanya. Siapakah ini? Senja Singapura tentunya tak ada di sini. Pinggiran sungai Singapura tempat meluahkan asa pun tak ada di sini. Lalu kemana? Kemana harus menumpahkan tegukan pahit di ujung tenggorokan. Kemana harus mengakui kesalahan, meminta teguran, arahan atau luapan marah. Karena kesalahan ini memang begitu mencekam.

Engkau dimana wahai jiwa yang lama? Wahai keindahan yang selalu memenuhi semestaku, wahai ketenangan yang selalu menawarkan singgah untuk melepas lelah. Engkau dimana. Tak tahukah aku rindu.
//akhir 2006
*haruskah menunggu pelangi menari mengitari inti bumi? seperempat abad lewat sudah, berapa lama lagi kutunggu kamu wahai semestaku…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar