Sabtu, 18 Juli 2020

[Goresan] Dear, Nak

Dear Nak,

Saya tidak tahu bagaimana ceritanya tahu-tahu kalian tumbuh menjadi 2 sosok yang mampu hadir dengan pilihan-pilihan kalimat yang sering membuat saya terdiam.
Sore ini misalnya, saat saya mencuci piring sambil menyimak youtube sejarah islam yang berujung ciri-ciri karakter manusia yang tangguh, kalian yang saya kira ke dapur cuma mondar mandir ambil minuman bersepeda, ternyata udah lama berdiam di meja makan, lalu yang kecil nyeletuk:
"Kami tahu kok, bunda kadang sedih kalau kami terlalu banyak main, gak disiplin belajar, bertengkar, marah2an, dan gak patuh. Tapi tenang aja bunda, kami dah gede. Kami diam-diam akur kok dan ingin juga jadi hebat, kami punya cita-cita. Ingin kayak tokoh-tokoh yang bunda dengerin ituu. Tapi kami masih kecil jugaaa (loh, katanya dah gede), kadang berantem, itu biasa ajaa bunda, namanya juga anak laki-laki"
Dan kakaknya nyeletuk "iya bunda, anak laki-laki tu kayak gini. Bunda doain aja terus supaya kami baik"
(Aku tu terdiam, kok serasa gw yang di brainwash. Dan perasaan gak ngomong apa-apa, cuma cuci piring)
Di kesempatan lain misalnya, saat saya merenungi hasil masakan seadanya, dan terus2an bertanya apakah enak, apakah keasinan. Lalu kalian menjawab
"Sudahlah bunda, jangan terlalu gak pede sama diri sendiri. Kami kan selalu jujur karena katanya itu yang utama. Waktu bunda bikin adonan bakso dan rasanya aneh kan kami bilang. Waktu sup kurang garam juga kami bilang. Tapi kata Bunda ini semua masakan penuh cinta, kami juga makan-nya penuh cinta. Bunda kebanyakan kuatir. Mending sekarang istirahat. Ini ayam teriyaki enak, nanti juga abis"
"Iya bunda, pikirin yang penting-penting aja. Yang namanya anak, kalau lapar pasti makan. Gak usah ragu. Apalagi anak laki-laki. Dan kami juga bisa masak nasi. Tenang ajaaaa. Abang juga bisa masak lauk, bunda gak usaaah sering-sering ke dapur..."
(Saya mengernyit. Panjang amat ya jawabannya, pake bawa bawa cinta dan pamer bisa masak. Kalimat terakhir agak mencurigakan, antara majas atau beneran)
Lalu, Nak...
Di suatu malam saat ngobrol di sofa sambil menatap layar TV yang mungkin dalam 1 bulan cuma dinyalain 2-3 kali. Kalian nyeletuk gak santai.
"Nonton TV lah bunda, udah lama gak nonton, depan laptop mulu. Bunda mau channnel apa? HBO? Mau Netflix? Atau mau nonton Korea?"
Saya jawab "gak ada yang menarik ditonton"
Saya dalam hati "Ah, kalian gak tahu aja, gini gini saya juga update ama drakor terbaru, dan kadang nonton juga. Minimal baca sinopsisnya supaya tetap gaul"
Kalian melanjutkan:
"Santai dikit lah bunda, lebih banyak olahraga, jangan cuma Sabtu pagi. Beli lah sepeda, muter2 sore2. Udara sore juga segar. Kadang kadang yang namanya anak pengen juga olahraga sore ditemenin loh"
(Ooooh, ini rupanya maksud segala sindirian tentang olahraga. Ingin sepedaan bareng. Ok, fine!)
Kemudian, Nak...
Juga di sebuah malam yang lain, kalian mungkin lupa. Suasana senyap. Malam larut. Saya menyimak murotal versi anak-anak di ruang kerja. Sendirian seperti biasa. Kirain kalian dah tidur semua di atas. Jelang tengah malam kalian tahu2 turun, dan ngomong.
"Kami tahu kook, bunda ingin kami kayak anak-anak itu. Hafal sekian juz, jago ngaji, hapal sejarah islam. Kami juga tahu bunda merasa gak bisa mengajar kami dengan baik soal agama, abisnya curhat ama temannya tapi pintu kamar gak ditutup, ya kami dengar. Iya bundaaa, kami memang masih jelek ngajinya. Hapalan juga cuma gitu-gitu aja, jauuuh dibanding anak-anak itu. Tapiii tiap anak kan bedaaa, jangan dibanding-bandingin"
Adik menimpali, "Iya bundaa, kata temen dedek dibanding2in itu rasanya lebih perih daripada putus cinta"
(Idih, analogi apaan. Tahu apa soal putus cinta)
"Bunda gak banding2in kalian, ini kan soal Bunda yang gak available buat anak. Kok kalian baper"
"Yaa sama aja bundaa. Jangan abis waktu melihat hidup orang lain, anak lain. Kami juga lagi mikir gimana supaya lebih baik. Bantuin ajaaaa supaya guru ngajinya bisa private. Doain kami juga bundaa, katanya doa seorang Ibu sangat ampuh, ya kan bang. Gak usaaah bandingin hidup kita ama orang"
(Saya pura-pura ambil minum ke dapur. Emang agak seret dengerinnya. Menjawabnya juga bingung)
Dear Nak,
Saya juga gak tahu gimana awalnya tiba2 Hafidz punya sefolder tulisan berjudul "novel Hafidz". Isi ceritanya penuh khayalan, namun pilihan2 kalimatnya rapi dan mengalir. I was like 'kapan dia belajar nulis?'.
Saya juga gak tahu gimana awalnya tiba2 Hanif jadi financial controller. "Gak usah pesen makanan lagi bundaa, di dapur banyak makanan. Belanja online-nya yang penting2 aja bunda, sayang uangnya. Kalau mau pesen cemilan tanya kami dulu bundaa, kami lebih suka masak. Berapa sih bunda cicilan rumah, kata temen dedek itu biaya paling besar orang tuanya, kami bisa bantu apaaa" (sungguh aku bengong di bagian ini. Anak jaman sekarang ngomongin cicilan rumah orang tuaa??)
Begitulah, Nak.
Kadang saya bingung, apa saya se-lost itu kok akhir2 ini terkaget-kaget dengan dialog kalian. Apakah kita kurang akrab? Atau waktu memang melesat cepat?
Dan ini adalah foto saat kalian berusaha keras membuat kopi Dalgona.
"Kami mau bikin minuman kekinian, bundaaa. Gak berhasil2 karena gak pake mixer. Tapi ini jadinya akan enak, karena kami bikinnya pakai kasih sayaaang"
Hehehe. Diksi diksi cinta dan sayang berserakan gitu ya, boyz..
Ah Nak,
Sering saya merasa seperti sedang membaca sebuah buku yang dinamis dan penuh kejutan. Dan kalian adalah 2 tokoh utama di dalamnya dengan manuver-manuver yang susah saya tebak.
Semoga kita terus saling menyayangi, ya. Di tengah segala keterbatasan-keterbatasan ini...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar