Selasa, 24 Mei 2016

Laskar (emak-emak) van Holland

*tulisan ini ditulis buat memeriahkan "Laskar van Holland" by PPI Belanda

“Ibu, tanganmu yang mengepal adalah kepak sayap burung-burung. Yang membawa benih dan menebarkannya di belantara matahari”

Kalimat di atas adalah kalimat pembuka buku “La Tahzan for working mothers” (2008), yang merupakan kumpulan tulisan dari ibu-ibu muda yang memilih untuk berkarya di luar rumah. Working mom, istilah kekinian masa itu. Saya turut menulis di sana. Menceritakan salah 1 episode menarik dalam hidup, yaitu ketika harus dinas jauh beberapa waktu meninggalkan bayi kecil. Saat-saat ketika seorang working mom dihadapkan pada konsekuensi logis atas sebuah pilihan hidup yang dibuat dengan penuh kesadaran. Tanggung jawab professional sebagai pegawai yang disiplin. Tanggung jawab keilmuan sebagai seorang penjelajah oase ilmu pengetahuan. Dan tanggung jawab sebagai seorang ibu kesayangan. Semuanya berkejar-kejaran seiring berlarinya sang waktu. Setiap kita punya kisah yang unik, bukan? Kebetulan kisah seru saya di antaranya adalah menyiapkan ASIP di perjalanan, termasuk di pesawat dan di sudut ruang-ruang rapat nun jauh di belahan bumi yang lain.

Siapa sangka 6 tahun kemudian saya kembali dihadapkan pada situasi yang mirip, walau dengan tingkat kerumitan yang jauh lebih melilit. Dua koper besar yang sudah dipenuhi dengan peralatan tempur 2 bocah yang hendak ikut berpetualang membuka wawasan di negeri yang asing, mendadak hanya bisa teronggok membisu. Seiring sebuah peristiwa fenomenal yang membuat suami saya tidak bisa ikut ke Negeri yang Oren. Setiap kita punya kisah yang unik, bukan? Kebetulan kisah unik saya di antaranya adalah berusaha membesarkan hati saat mengantarkan kedua cahaya mata ke ranah minang.

Maka kemudian saat rindu melanda, saat sibuk menghitung ratusan hari menuju perjumpaan berikutnya, saya sampaikan gumam mesra melalui angin.

Bergembiralah Nak, terus bergembira. Semoga kaki, tangan dan badanmu semakin kuat.
Pun hati dan jiwamu.
Cerialah Nak, terus ceria. Semoga do'a-do’a kami sanggup membuka pintu-pintu langit, memohonkan penjagaaan kepada Yang Maha Menjaga.
Tersenyumlah Nak, terus tersenyum. Mulai belajarlah riang menapaki mushola-mushola ranah minang, mengikuti pemuda-pemuda Surau kampung halaman. Sebuah kemewahan yang jarang ada di kota-kota besar. Salam rindu emak.

Staying abroad mom

Jadi mana bagian dari tulisan ini yang menyangkut tema Laskar Van Holland?  Pada dasarnya ini adalah tulisan mengenai Laskar pencari ilmu di segmen tertentu, yang mungkin jarang dibahas karena dianggap tabu (mungkin). Yaitu para ibu yang kebetulan dihadapkan pada kondisi harus berpisah dengan sang buah hati. Sebutlah studying abroad mom. Tidak hanya di Belanda. Saya mungkin termasuk yang bawel dan lebay, karena setiap saat sibuk sekali membuat puisi dan prosa menceritakan kerinduan kepada anak-anak. Namun saya yakin ada banyak sekali kaum ibu yang bahkan tidak kuasa menuliskan kerinduan itu. Ada banyak sekali para ibu yang bahkan harus setiap saat menyibukkan diri di kampus menepis rindu. Ada banyak sekali para ibu penuntut ilmu yang diam-diam menangis di kesendiriannya setiap mengingat kesayangan. Ada banyak sekali para ibu-ibu penuntut ilmu itu yang tertegun kelu setiap mengunyah makanan lezat sambil berfikir “andai bisa kubagi ini dengan anakku”.

Tulisan ini saya persembahkan khusus buat ibu-ibu ini. Tapi tolong. Tolong jangan tanya mereka mengapa tega meninggalkan Ananda jauh di mata. Percayalah, setiap orang punya kisah yang unik. Sungguh, ada banyak kisah. Dunia tidaklah putih dan hitam saja dengan garis batas yang tegas antara keduanya. Ada banyak warna. Cukup kaum-kaum tertentu yang sibuk berpolemik working mom vs staying at home mom. Cukup kaum-kaum tertentu yang meragukan dan mempertanyakan kesohihan naluri keibuan jutaan wanita yang meninggalkan anaknya > 8 jam sehari. Tulisan ini juga tak hendak membela diri. Tidak, tidak perlu. “Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu” (Ali bin Abi Thalib).

Satu tahun saya ditakdirkan untuk berpisah dengan anak-anak. TarbiyahNya untuk kami luar biasa. Kaki dan tangan mereka yang biasa lemah karena jarang berinteraksi dengan alam, dalam setahun menjadi jauh lebih kuat karena sehari-hari bermain-main di belukar mengejar belalang, jalan kaki jauh ke sekolah, bahkan buat mereka nyemplung dan nyungsep di sawah itu keren abis. Mereka yang awalnya hanya mengerti hewan ternak dari buku-buku, jadi paham sekali segala jenis hewan ternak, bahkan gembira bermain dengan cacing dan ulat.  Akan halnya saya, tentunya harus mengisi hari dengan kegiatan belajar. Tak dapat saya pungkiri bahwa saya senang sekali kembali ke nuansa akademis. Berenang-renang di lautan ilmu pengetahuan yang rasanya seperti tak bertepi. Di balik beratnya perkuliahan, senantiasa merasa takjub setiap menemukan fenomena keilmuan yang baru. Sungguh, bagi penuntut ilmu rasanya pertanyaan-pertanyaan di kepala itu tak ada habisnya. Dan jawaban akan setiap misteri akademis seolah berisi lapisan-lapisan yang selalu menunggu untuk dipahami.

Dibanding mahasiswa lain, saya termasuk yang paling tua. Atau mungkin memang yang paling tua. Rata-rata beda usia dengan teman sekelas mencapai 7 – 11 tahun. Tertekan gak? Wah sempat banget. Takut banget otak yang tua dan lelah ini bakal tertinggal habis-habisan bersaing dengan usia-usia muda yang imut dan cemerlang. Namun kemudian saya teringat tempaan budaya kiasu selama 5,5 tahun kuliah dan kerja di Singapura. Sekuat tenaga saya panggil kembali ruh kiasu yang mestinya bersemayam di sebuah persembunyian di aliran darah ;-). Dan untuk melecut diri, saya berusaha mengingat bahwa saya punya tanggung jawab besar terhadap instansi yang menyekolahkan saya ke Belanda. Setiap orang punya kisah yang unik bukan? Kebetulan kisah saya adalah sebuah tekad untuk menyandingkan hasrat menjadi mahasiswa yang cemerlang, dengan tetap memegang impian menjadi ibu tersayang.

Academic culture

4 tahun kuliah di Singapura dan hampir 2 tahun kuliah di Belanda, mau gak mau alam bawah sadar melakukan perbandingan. Perbedaan yang paling terasa adalah student culture. Aura kiasu sangat kental di Singapura. Suasana mulai mencekam 1 bulan menjelang ujian. Iya, 1 bulan. 30 hari. Saat di mana segala sudut perpustakaan penuh, tutorial room fully booked, segala bench dipenuhi manusia, kantin-kantin tumpah ruah dari sore sampai pagi, bahkan bawa bantal segala. Wajah-wajah ngantuk hilir mudik di kampus. Kampus seolah 24 jam hidup. Mesin-mesin kopi berisik. Asrama mahasiswa heboh, di dapur, di selasar, di taman. Tampang-tampang jutek lelah belajar menggurita. Membuat jantung kadang tertekan, merasa diri  onggokan kuah rendang yang lupa ditaburi rengginang. Rengginangnya bahkan gak ada!

Sebaliknya, mahasiswa di Belanda itu ramah banget, dan tidak terasa aura persaingan yang mencekam. Setiap orang sharing bahan-bahan ujian, summary, atau alat bantu belajar lainnya. Persaingan kita adalah bertempur melawan kemalasan diri dengan alasan segala ke-unyu-an cuaca. Terhadap nilai-pun mereka cenderung ‘santai’. Mungkin saya salah, tapi persepsi yang saya tangkap adalah mereka sangat menikmati hidup dan jarang sekali membicarakan stress-nya kuliah. Mereka kadang bingung menghadapi kita (saya?) yang kadang tak puas dengan nilai ujian dan sibuk membahas ‘mestinya saya bisa lebih baik’. Pernah ada yang nyeletuk ‘bukannya yang penting kamu sudah lulus ya, abis itu liburan, have fun-lah’. Mungkin di dalam hati mereka “stress amat sih emak-emak satu ini”…. pantes gemuk. ~_~

Saya pernah kerja kelompok dengan 4 orang students selama 2 minggu. Dan selama 2 minggu itu pula mereka ber-4 gantian liburan ke luar negeri. Hal yang gak akan bisa dijumpai kalau sekelompok kerja dengan Sporean. Can not lah. Namun demikian, mereka rata-rata sangat bertanggung jawab. Selama liburan bergilir itu senantiasa hadir online meeting untuk rapat harian. Dan rapat dilaksanakan dengan serius dan efektif. Selesai rapat ya mereka liburan lagi, sementara fikiran kiasu saya rasanya susah diajak se-asyik itu. Setelah nilai keluar, kalau bagus ya mereka senang.  Kalau hasilnya kurang bagus juga cuma pundung sejenak, lalu abis itu ketawa-ketawa lagi. Terus, tahu-tahu pasang status facebook udah berjemur di benua mana. Beda banget dengan saya yang kalau nilai ujian gak sesuai harapan bisa karokean lagu minang sendirian non-stop 2 hari 2 malam mengobati sedih. Di sana lah saya kemudian berkesimpulan bahwa mereka menganut prinsip play hard party hard. Di sisi yang ini saya takjub.

Falsafah kuah rendang

Tentang dosen juga menarik. Dosen-dosen di NTU-Singapura akan nyaris selalu ada kapanpun kita perlukan. Kalau ada pelajaran yang gak ngerti? Tinggal email atau datangi aja ruangannya. Jarang sekali ada kejadian susah nyari dosen. Makanya tak jarang di saat-saat tertentu kita berbondong-bondong antri di ruang dosen untuk minta penjelasan tentang pelajaran. Ditambah pula dengan budaya ‘tak mau kalah’, nunggu giliran bertanya sambil menyimak yang ditanyakan teman ;-).

Di sisi lain, dosen Belanda punya jadwal yang sangat sangat disiplin. Kalau gak email dulu, jangan GR bisa ketemu kapan saja. Jangan kaget juga di saat-saat tertentu mereka ada agenda liburan yang gak bisa kita ganggu gugat. Maka bagi mahasiswa thesis seperti saya, masa-masa yang sangat menegangkan  adalah ketika mencari jadwal kick off meeting, green light meeting (rapat yang menentukan kelulusan), dan jadwal sidang akhir. Susah! Sebab perlu menyatukan jadwal 3 dosen yang mazhab liburanya beragam. O iya, tambahan lagi, dosen Belanda cenderung ketat soal nilai, maka siap-siapin mental aja ya, saat sudah GR membayangkan 3 kg rendang, namun yang diterima hanyalah kuah-kuah gulai nangka di ujung nasi putih rumah makan Padang. Namun dampaknya adalah kitapun jadi berusaha keras menjadi pribadi yang disiplin dan berusaha mencapai target, agar segala kesempatan yang ketat itu bisa membuahkan hasil maksimal. Ingat, rendang yang enak itu adalah yang warnanya menghitam legam karena lama bertempur di dalam kuali menghadapi bara api. Itu falsafahnya!

Jadi kesimpulannya? Memang gak untuk disimpulkan. Hanya deskriptif. Masing-masing punya daya pikat yang khas. Yang jelas saya bersyukur pernah mengalami keduanya, dan masing-masing academic culture punya kontribusi signifikan dalam menempa ketangguhan jati diri kita. Tinggal kita mau memilih untuk ditempa atau tidak? Sebenarnya mau kuliah di manapun akan kembali lagi ke tekad individu. Ya, gak sih?

Belajar sejarah di PPI Leiden

Kenapa memilih Belanda? Salah 1 alasannya adalah saya penasaran seperti apa sebuah negeri yang begitu lama mendiami nusantara. Apa sih yang membuat bangsa yang relatif kecil secara geografis mampu begitu lama mendiami negeri lain yang jauh lebih besar, bahkan mendirikan kekuasaan segala. Maka gembira sekali rasanya ketika ada kesempatan mengikuti acara keren by PPI Leiden. HistoRun.
Oleh-oleh acara ini gak sekedar keindahan kota serta sejarah berdirinya universitas Leiden. Atau "semata" deskripsi napak tilas tentang tautan sejarah Indonesia di kota yang cantik itu. Leiden. Tidak “sekedar” mengetahui lokasi-lokasi yang menjadi sejarah perjuangan bapak-bapak bangsa. Acara itu berhasil menjadi trigger untuk memaknasi kembali catatan-catatan historis bangsa dan meninjau kembali tujuan perjalanan kita. Kita jadi memaksa diri untuk menyelami  konsep memori kolektif sebuah bangsa dan imbasnya terhadap sikap mental masa kini. Kita juga jadi merenungkan kembali bagaimana sebaiknya menempatkan diri kita terhadap semua sejarah panjang masa lalu. Juga pada pemikiran bahwa leverage sebuah bangsa akan terjadi ketika ada orang-orang yang tidak hanya memikirkan diri sendiri, tapi memikirkan diri sebagai suatu kesatuan bangsa, suatu peradaban, yang mempengaruhi konsep berfikir secara kolektif. Menanggalkan sejenak identitas mikro.
Sampai juga pada sebuah pertanyaan menarik "Sepulang dari sini, apa sih yang mau kamu sumbangkan kepada tanah air? Selain ijazah dan foto-foto cantik?"
Maka kemudian saya mendapati diri saya sering sekali menceritakan tentang Histo-run kepada 2 bocah kecil di rumah. Sampai-sampai dalam imajinasi saya, belasan tahun ke depan ketika hendak masuk universitas, anak-anak mengatakan ingin kuliah ke Belanda, lalu ketika ditanya alasannya mereka akan jawab “ingin ikut Histo-run PPI Leiden”. Persis emaknya puluhan tahun sebelumnya ketika ditanya kenapa ingin kuliah S1 di ITB, jawabnya “ingin ikut Unit Kesenian Minangkabau, ITB”. Somehow, saya percaya bahwa tujuan ‘sampingan’ yang menyenangkan, akan menambah semangat belajar. Ini sungguh cara special saya mengungkapkan pujian kepada acara tahunannya PPI Leiden yang bagi saya sangat berkesan.

Epilog

Sebelum tulisan ini menjelma menjadi novel saking panjangnya, maka saya tutup dengan persembahan kembali untuk staying abroad mom. Semangatlah bunda, teruslah semangat. Semoga segala perih perpisahan itu kelak akan menjadi kisah yang manis ketika kita menengok ke belakang saat semuanya lewat. Sepemahaman saya, tak ada ibu yang berbesar hati berpisah jauh dengan anak-anaknya. Tak ada. Namun tak semuanya perlu dijelaskan, sebab kita bukanlah seporsi kapsalon pasca ujian, yang pasti disambut perut-perut lelah dengan suka cita. Lagian tetap lebih enak lontong sayur… *eh*. InsyaAllah semua penantian perjumpaan dengan buah hati akan membuahkan hasil yang manis.
Saya kemudian teringat perjumpaan kembali dengan anak-anak setelah ratusan hari tak bertemu. Kalimat pertama mereka "kenapa kok Bunda nangis?"Gak bisa jawab. Bisu beberapa menit. Jumpa lagi setelah ratusan hari gak ketemu, malah kehabisan kata-kata. Manusia memang aneh. Kemudian saat mereka terlelap malam harinya, saya tuliskan buat mereka ungkapan hati.
“Dalam sekejap, duniaku yang sunyi kembali hingar bingar. Tiba-tiba ada remah-remah biskuit di karpet, tumpahan yoghurt di bawah meja, papan tulis penuh gambar, alat tulis di 8 penjuru angin, wajah cemong-cemong yang cengar cengir, posisi benda-benda berubah-ubah, ada jeritan-jeritan, kejar-kejaran. Heboh. Mendadak ada banyak pembagian peran. Gak lagi sekedar masak bareng, atau gotong royong bersihin rumah. Di dalam dunia khayal mereka, diriku menjelma menjadi dinosaurus, monster lumpur yg gemuk, penyihir besar atau pohon raksasa (entah kenapa perannya harus big size semua ~_~)”
Menjadi ibu. Bukan lagi ibu jarak jauh. Tapi ibu yang bisa memegang tangan anaknya.
.. yang berkesempatan mendengarkan cerita2 dan gelak tawa mereka, tanpa masalah gangguan sinyal.
.. yang berkesempatan memastikan mereka menjemput malam dalam keadaan tersenyum dan bahagia.
Percayalah, staying abroad mom, saat itu akan tiba. 
Deft, 3 May 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar