Rabu, 09 Mei 2007

Lembut

kelembutan yang menyejukkan...
Kata orang, seseorang itu belum tentu sama dengan tulisan-tulisannya..
Namun, bukankah kata-kata adalah cerminan jiwa?

Semoga selalu indah dan bahagia hidupmu...
wahai orang yang lembut hatinya...

Selasa, 24 April 2007

Menjelang

Ada banyak warna warni, saat ini KAU pilihkan semburat merah jambu di ujung hatiku
Ada mentari ada bulan, saat ini KAU hadiahkan bintang gemintang di mataku
Ada siang ada malam, saat ini KAU selendangkan terang benderang untuk qalbuku
Ada banyak bentuk rasa, saat ini KAU buatkan manis untukku
Ada panas ada dingin, saat ini KAU selimutkan sejuk untuk hatiku
Ada awan ada hujan, saat ini KAU munculkan pelangiMU untukku

Ada tawa ada duka, saat ini saatnya untuk mengolah semua rasa menjadi suka cita
Tak henti-henti KAU tempa aku dengan tarbiyahmu...
Pahit, manis, indah, suka , duka, luar biasa

Kata sahabatku, menikah adalah...
Saat dimana seseorang tdk hanya memikirkan dirinya sendiri lagi
Saat dimana ada teman untuk berbagi, ada teman untuk bersama2 menuju cinta-Nya
Saat dimana orang tua bertambah, dan keluarga pun bertambah
Saat dimana hati menjadi tenang dan bahagia tanpa harus lupa bahwa ada setumpuk tanggung jawab juga disana

Saat dimana kesempatan tuk menjadi seorang ibu mendekat
Saat dimana peluang sebagai istri sholehah yg akan mendapatkan syurga-Nya ada
Saat dimana tergenapkan separuh Dien...Subhanallah.. mata dan hati berkaca-kaca
Menikah bukanlah segala-galanya
Menikah bukan juga akhir dari segala2nya, tapi awal dr sebuah tahapan kehidupan....

Nasehat demi nasehat mengalir deras..
"Reni, Perbanyak sabar ya... menikah adalah tentang sabar dan sabar
“Reni, sabar-sabar ya sama suami nanti.."
“SABAR ya... (karena, hal itu yang akan sangat diuji dalam kehidupan rumah tangga kalian) dari malam pertama, hingga akhir hayat kalian."
“Reni, Belajar sabar ya dari Sekarang. Itu salah satu yang terpenting dalam berumah tangga nanti.."

Subhanallah.. mata dan hati berkaca-kaca
Semoga dialah semestaku, yang akan melukis hari-harinya dengan do'a, dan tetap tabah membangun peradaban bersama, yang pasti tak akan manis dalam setiap detiknya


Kamis, 19 April 2007

[Cluster-9] Susahnya Konsisten

Tulisan ini juga dimuat di eramuslim,
http://www.eramuslim.com/atk/oim/45f67f87.htm

Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Apa yang paling dekat, paling jauh, paling berat, paling ringan, paling besar dan paling tajam dalam hidup ini. Sejujurnya kisah seperti itu sudah sering kudengar, baik lisan maupun tulisan. Namun entah kenapa ketika beliau menyampaikan kembali rasanya begitu tajam menghunjam ke sanubari. Yang paling dekat dengan kita adalah kematian, yang paling jauh dengan kita adalah masa lalu, yang paling besar adalah nafsu, yang paling tajam adalah lidah, yang paling berat adalah amanah dan yang paling ringan adalah meninggalkan sholat.

Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Apalagi suaranya begitu berapi-api, melengking naik turun, kadang mendayu, menusuk langsung ke kalbu, menghanyutkan, apalagi ketika kemudian ayat-ayat Nya dibacakan. Tanpa terasa urat malu serasa dibelah-belah sempurna. Sepertinya ke-enam hal tersebut mulai menjadi hal yang jarang direnungkan. “Gue banget gitu loh'. Tes, tes, tes, air mata menetes malu-malu. Dan seperti biasa setiap dinasehati, hati bernyanyi, berjanji akan menjadi lebih baik.

Saya begitu terpesonanya ketika sosok di depanku memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Tanpa terasa 20 menit mengalir begitu saja. Mulut terkunci rapat, hati sunyi, qalbu tertunduk malu. Tersindir sejadi-jadinya. Apalagi ketika paparan tentang melalaikan sholat sebagai hal yang ternyata paling ringan, paling gampang, paling mudah dilakukan. Saya tersindir hebat, berapa kali saya benar-benar berdiri ketika adzan menggema? Apalagi mempersiapkan wudhu, hati, dzikir dan jiwa beberapa saat menjelang azan sehingga saat menghadap padaNya dalam keadaan indah luar biasa. Dan untuk kali ini pula, kami sholat benar-benar tepat pada waktunya. Pembicaraan benar-benar disudahi begitu adzan memanggil. Tidak seperti minggu-minggu biasanya, dikorupsi dulu beberapa menit, bahkan sampai 1 jam.

Saya begitu terpesonanya setelah sosok di depanku selesai memaparkan tentang beberapa nasehat singkat sehubungan dengan 6 pertanyaan imam al-Ghozali. Pikiran dan hati inipun masih dalam keadaan merenung sempurna saat sosok itu mengajak ke Islamic Book Fair yang lagi digelar di Istora Senayan. Kami banyak berdiskusi kembali tentang hal di atas.

Tetapi kemudian....
ah sudahlah...

update @2008
(tulisan aslinya dipotong sampai sini aja, rasanya seperti ghiah)

Selasa, 10 April 2007

[Cluster-6] Yang paling dekat dengan kita: Kematian

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//


Cerita tentang Bapak itu saya dengar baik dari buletin interen kantor maupun cerita beberapa orang. Yah, sesuai dengan judul di atas, cerita saya kali ini masih berhubungan dengan kematian. Kematian menjadi hal yang akrab bagi kita mestinya, setelah belasan (atau puluhan?) ujian tak henti-henti menerpa negeri.

Cerita tentang Bapak itu saya dengar baik dari buletin interen kantor maupun cerita beberapa orang. Anaknya meninggal 2 orang sekaligus! Kembar, masih TK, sedang lucu-lucunya, dalam peristiwa kebakaran di rumahnya. Dari cerita yang saya baca dan dengar penyebab kebakaran tersebut adalah korslet dari kipas angin yang menimbulkan percikan api, lalu membakar kasur busa. Kasur busa yang jika terbakar cenderung menimbulkan asap yang sangat hitam dan bau yang memusingkan. Katanya saat lampu padam (diduga ketika korslet) beliau ini masih sempat mendengar jeritan putra kembarnya tersebut, lalu kebakaran terjadi begitu cepat, dan dia tidak mendengar apa-apa lagi setelah api padam. Beliau sempat menerobos kamar tersebut dan pada akhirnya mengalami luka bakar serius pada beberapa bagian tubuhnya. Tak sanggup membayangkan sesakit apa yang dirasakan putra kembarnya. Duh, sedih banget membaca kisahnya.  Buat teman-teman yang sudah punya putra dan putri, hati-hati ya dengan kipas angin ataupun benda-benda yang bisa menimbulkan korslet (emak yusuf, emak majid, emak zhafran, emak nida aufal.. dan buat emak emak sedunia)

Dan pagi ini aku melihat bapak itu secara langsung. Diperkenalkan kepada semua di ruangan untuk suatu keperluan pekerjaan. Mungkin berlebihan jika aku menganggap bahwa di wajahnya terlihat sebuah kesedihan yang amat sangat. Selaku pribadi yang suka melankolis, aku kadang bertanya-tanya sendiri. Kesedihan seperti itu sanggup diredam berapa bulan? tahun? puluhan tahun? entahlah.
Sehabis berkenalan dengan beliau tiba-tiba aku ingin menangis. Kenapa reaksiku begitu berlebihan? Bukankah kematian itu hanyalah suatu antrian yang pasti? Bukankah setelah mati justru kita tidak akan merasakan kesedihan lagi? Tapi manusia memang cenderung takut untuk ‘ditinggalkan yang tersayang’. Tiba-tiba aku teringat my Ibu yang dulu juga kehilangan dua anaknya (kakak laki-laki dan kakak perempuanku dalam selang waktu hanya beberapa bulan). Meninggal karena sakit. Kata ibu juga setelah mengetahui uda dan uni meninggal dunia, ibu tidak sanggup lagi melihat wajah mereka. Seperti itu juga yang dilakukan bapak tersebut. Tidak sanggup menatap wajah-wajah terkasih untuk terakhir kalinya. Hmm, ibu. Bahkan ibu tidak punya foto uda (kala itu foto masih barang langka). Ah ibu, Seperti apa rasanya kehilangan yang begitu hebat? Mungkin karena itu juga ibu tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan kepada kami. Walaupun cuma sekali. Mungkin karena itu juga aku tidak berani bertanya, seperti apa uda dan uni. Tak sanggup membayangkan berapa lama waktu itu untuk melupakan kenangan tentang mereka. Saat mereka lahir, saat mereka tumbuh, sakit lalu meninggal. Aku belum menikah, apalagi mengandung dan punya anak. Jadi belum berhak untuk mengaku bisa merasakan seperti apa kesedihan itu. Yang aku pahami, ibu kemudian menjadi sosok yang luar biasa.

Teringat kisah tentang 6 pertanyaan imam Ghozali.

Suatu hari, Imam Al Ghozali  berkumpuldengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya….

Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia  ini?”. Murid- muridnya menjawab “orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya”.  Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu BENAR.
Tetapi yang paling  dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab, sememangnya janji Allah SWT bahwa  setiap yang bernyawa pasti akan mati.(Ali Imran 185)
“Ya Allah, ya Rabb berikanlah hidayahMu agar kami dapat menjalankan perintahMu. Jadikanlah Al Qur’an dan As Sunnah menjadi pegangan hidup kami dan keluarga kami. Selamatkanlah kami dan keluarga kami dari siksa api neraka dan matikanlah kami dan keluarga kami dalam khusnul khatimah“
- teman-teman… pls take care of your buah hati



[Cluster-1] Hafalan yang Memudar

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

Terhenyak. Ternyata selama 15 bulan di Jakarta hapalan Quranku tidak bertambah kecuali beberapa ayat sahaja. Kemunduran yang luar biasa. Sangat! Tercenung. Sedemikian lamanya terlena dalam aktifitas duniawi sampai-sampai hal yang dulunya sempat menjadi hobby, bahan dasar makanan ruhiyah, penyemangat jiwa, kesukaan, kesenangan, terlalaikan sedemikian hebatnya. Jika saja saat ini tidak tengah menyiapkan sebuah agenda maha penting dalam hidup mungkin aku tidak akan sadar-sadar juga tentang keterpurukan ini. Jika saja saat ini tidak tengah menganalisa, introspeksi, mempelajari kesiapan diri untuk menghadapi tahapan maha penting dalam hidupku, mungkin aku tidak akan sadar-sadar juga.

Kilasan masa lalu membayang jelas menghadirkan rona-rona malu sekaligus rindu pada jiwa yang lama. Masih segar dalam ingatan bagaimana dulu 6 bulan lamanya semasa kuliah praktek, 1,5 jam di kereta dan bus dari NTU ke Jurong East dihabiskan dengan menikmati kesenangan menambah hapalan. Nikmat sangat. Subhanallah. Rasanya masih ingat di bus stop mana akhirnya al-Mutafifin benar-benar hinggap, di hari ke berapa at-Takwir baru berkenalan. Indah!! Bener!!! Sambil pepohonan ‘berlari’ di luar jendela, aku juga menyimpan kalimat-kalimatNya di dalam dada. Rasanya luar biasa. Sejuk. Tentram. Penat pun hilang. Masih segar dalam ingatan saat-saat pengangguran sehabis kuliah. 1 jam perjalanan dari Boon lay ke Jurong East kemudian ganti kereta ke Yishun untuk mengajar privat anak SD begitu manis dalam kenangan bersama al Waqiah, al hadid dst. Padahal saat itu justru keadaan ekonomiku sedang parah-parahnya. Hanya mengandalkan pemasukan dari mengajar privat 2 kali seminggu, berjualan kartu telpon serta sisa-sisa tabungan waktu kuliah, untuk bergulat dengan biaya hidup Singapura yang mahal pisan. Berbulan-bulan. Kadang-kadang nangis juga di kereta karena cemas gimana kalau tak kunjung kerja juga. Namun justru di masa itu ibadah terasa demikian manisnya. Hati demikian tentramnya. Hiks...

Demikian juga setelah bekerja di Novena. Walau memang jam-jam yang berlalu lebih tersita oleh memikirkan kantor, namun masih sempat menengok dan mengejar target sekuatnya walau tidak sepetyi dulu. Nah, sekarang? Sebenarnya alasanku apa? Jakarta macet? Ah, alasan.. ke kantor jalan kaki 15 menit sahaja. Training-training yang menuntut pembuatan makalah tiap 2 minggu? Ah gaya aja tuh, makalahnya dibuat bersepuluh orang per kelompok. Lalu selama 15 bulan ini ngapain aja? . Jika saja saat ini tidak tengah menyiapkan sebuah agenda maha penting dalam hidup mungkin aku tidak akan sadar-sadar juga tentang keterpurukan ini. Jika saja saat ini tidak tengah menganalisa, introspeksi, mempelajari kesiapan diri untuk menghadapi tahapan maha penting dalam hidupku, mungkin aku tidak akan sadar-sadar juga.

Padahal padaNya aku selalu meminta dihadiahkan pasangan yang kelak juga bisa menjadi partner dalam mencintai al-Qur’an. Semoga keterlenaan ini tidak terlalu lama


10 April 2007

19 hari menjelang hari itu

Selasa, 27 Maret 2007

[Cluster-7] Duo malam di Ranah Minang

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

27 maret 2007

Tak kupungkiri!
Selalu saja ada segumpal rasa haru yang menderu-deru memenuhi rongga dada setiap kali pesawat terbang yang membawaku mulai memperlihatkan garis-garis pantai barat Sumatera, dengan pantainya yang bersih dan gugusan pohon kelapa yang indah dipandang dari ketinggian. Ranah Minang! Rasa haru yang luar biasa itu makin hebat saat kaki ini mulai melangkah keluar dari Pesawat dan bergegas-gegas menuju koridor utama untuk segera bertemu MEREKA! Wajah-wajah terkasih. Banyak nian! Nenek, bundo, mama, paman dan deretan sepupu-sepupu mungilku dengan tawa mereka yang khas, murni, bersih, lugu serta bintang gemintang di mata mereka yang penuh sayang.


Kakak pulaaaaaaaang… kakak kami pulaaaaaaaaaaaaaang…., teriak mereka. Lalu deretan wajah-wajah mungil itu akan berhamburan,  berteriak, memegang kakiku, memeluk, mencium walau satu-dua di antaranya hanya sekedar tersenyum malu sambil menyembunyikan tangan di belakang punggung. Tak pernah rasanya malu menghinggapi diri walau selalu saja aku menjadi penumpang dengan sambutan terheboh. Ah biar dibilang kampungan. Tak ada yang melebihi ikatan sayang yang melimpah-limpah antara aku, kakak tertua dan 11 orang sepupu tersayang, walau kebanyakan di antara mereka dilahirkan saat aku di rantau.

Tak kupungkiri!
Selalu saja ada segumpal rasa haru yang menderu-deru memenuhi rongga dada setiap kali mataku mulai bertemu dengan mata IBU. Wajah tercinta yang dengan sabar membiarkan para sepupu menikmati hiruk pikuk dunianya sesaat. Wajah tercinta dengan senyum sabarnya yang tak pernah pudar dimakan waktu. “Anak ibu…” katanya pelan sambil membelai punggungku dengan sayang. Wajah tercinta yang merelakan dirinya 22 tahun bergelut dengan pahit manisnya hidup sendirian.
Hanya untuk memastikan mentari selalu hadir di mata kami. Bagaimanapun caranya. Rindu sangat. Wajah tercinta yang do’a-do’a nya luar biasa hebat. Memotivasi, meneguhkan hati, memantapkan tekad, dan Subhanallah hampir selalu terkabul. Ibu… ibu… andai bisa kupesankan untukmu istana di Surga.

Lalu dua malam terasa begitu singkat. Bagi keluarga ini aku tidak pernah pernah berubah seperti hari pertama aku meninggalkan rumah ini untuk kemudian jarang pulang. Bagi kakek dan nenek aku tetap cucu tertua yang perlu ditemani belajar malam-malam dirumah saat semua orang berkumpul di warung sate kami. Bagi mereka aku tetap perlu dioleh-olehi rambutan, ikan tangkapan dari sungai, serta bengkuang seiap kali akan pegi lagi. Bagi ibu aku tetap anak kecil yang selalu harus dipastikan sudah makan pagi, siang dan malam. Baginya aku tetap anak-anak yang wajib dibelikan sala lauak sebagai oleh-oleh dari pasar.

Buat mama aku tetaplah anak rantau yang wajib dibekali pisang berplastik-plastik fresh from the ladang near our sawah. Bagi sepupu-sepupuku aku tetap kakak mereka seperti saat pergi 8 tahun yang lalu, sehingga setiap pulang wajib mendengarkan cerita-cerita mereka di kamarku sampai menjelang tengah malam. Dan aku wajib bercerita tentang kisah-kisah di rantau, lengkap dengan foto-fotonya. Bagi mereka kepulanganku adalah saatnya berkumpul kita ber12 lalu sekedar menghabiskan seharian di taman melati, pantai padang, museum adityawarman atau sekadar berlarian bersama di ladang atau di sawah. Apapun! Asal bersama-sama


Bagi tetangga-tetangga aku tetap kakak pembimbing dari anak-anak mereka yang kerap datang untuk sekadar menanyakan PR malam hari atau untuk dibimbing menghadapi ujian akhir di sekolah. Sehingga rasa haru tak henti-henti tiap kali selalu kudapati bermacam-macam hasil sawah dan ladang mereka berplastik-plastik yang dikirimkan ke rumah beberapa jam setelah kedatanganku. Mulai dari kacang panjang, jariang (jengkol), patai (petai), ketimun, bahkan telur bebek! Fresh from the kandang. Kadang tak sampai hati mengingat rata-rata mereka adalah keluarga petani yang hidup seadanya. Namun tak tega rasanya menolak pemberian yang disodorkan dengan sungguh-sungguh, senyum terkembang apalagi jika si pemberi masih memakai atribut lengkap dengan tingkuluk di kepala dan kaki berlumpur…

Tak kupungkiri!
Selalu ada rasa geli menggelitik setiap kali kusempatkan barang 1 atau 2 jam berputar-putar dengan angkutan umum Kota Padang yang KHAS!! Keren, wangi, eksentrik, full musik. Setiap unit angkutan berlomba-lomba untuk dihias secantik dan se’gaul’ mungkin untuk menarik hati penumpang. Mode tahun ini sepertinya rumput dan tanaman bunga. Sehingga begitu memasuki angkutan yang berwarna warni dan hiuk pikuk itu, aku serasa berada di taman bunga. Bahkan satu dua diantaranya dilengkapi dengan TV 14 inch.. Haduh haduh.. kotaku ini..


Tak kupungkiri!
Selalu saja malam terakhir di rumah adalah yang terberat. Apalagi beberapa jam menjelang keberangkatan. Saat angkot yang disewa ibu mulai dipenuhi oleh sepupu-sepupuku dan aku harus mendatangai satu persatu keluarga untuk berpamitan. Rinduku belum habis! Dan mungkin tak akan pernah habis. Mereka tak tergantikan. Selamanya. Pun ketika mereka yang masih berumur di bawah 5 tahun dengan gaya digagahkan beramai-ramai merangkulku dan menepuk-nepuk punggungku seperti orang dewasa sambil berkata: ”kakak ka pai liak? Elok-elok se lah yo kak” (kakak mau pergi lagi? Hati-hati selalu). Antara sedih dan geli 


Selamat tinggal ibu, selamat tinggal adik-adik, selamat tinggal keluargaku, bisikku saat melambai-lambaikan tangan dari dalam terminal keberangkatan. Tentunya pada saatnya aku akan pulang lagi dan kita ulangi lagi tradisi kita.
Selamanya 


Kamis, 22 Februari 2007

Begitu Senja

Dulu aku selalu merindukan senja
Karena ujung matahari yang perlahan-lahan menghilang karenanya...
Semburatnya menghadirkan banyak inspirasi. Siluet. Jingga. Samar. Manis
Dan sapaan rombongan burung yang berduyun-duyun melintas sawah...
Membentuk pola-pola tertentu laksana awan-awan semu
...Sesuai imajinasi yang melihatnya
...Sesuai suasana hati yang melihatnya
...Sesuai harapan yang melihatnya

Dulu aku selalu merindukan senja
Karena ia adalah fase penyesuaian antara siang dan malam
Karena ia adalah fase penerimaan dari terang ke gelap
Saat cahaya buatan insan menggantikan perkasa sang Surya
walau tak tertandingi
...kekuatannya
...fungsinya
...khasiatnya
...pesonanya

Dulu aku selalu merindukan senja
Karena itu berarti jua pemberhentian sejenak menyongsong esok
Masa untuk melepaskan sendi-sendi penat
Untuk dipakai kembali esok hari
Masa untuk mengistirahatkan raga
...hati
...batin
...jiwa
...rasa

Dulu aku selalu merindukan senja
Karena mestinya saat itu kau mengada
...merupa
...menjelma

Sampai tadi pagi aku masih merindukan senja
Saat baru tersadarkan
Ternyata siang masih begitu lama

*fase menanti belahan jiwa....

Senin, 05 Februari 2007

Tali Pusat

Wahai dede di Perut...
Ayo de, tali pusarnya dilepasin ya de ^_^.
Jangan dimain2in ya de..
Apalagi sampai dililitin ke leher begitu.
Main ama tali pusarnya udahan ya de :).
Kan kasian.. dedenya ntar sakit.
Dilepasin atuh yah honey sayang :).
Abah n umminya juga jadi kuatir..
Nanti dede kenapa-kenapa..
Dilepasin ya de :)
Muach muach...

Rabu, 29 November 2006

Kelezatan Iman


 Dari 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash r.a., katanya seorang laki laki bertanya kepada Rasulullah saw  "Orang islam yang bagaimanakah yang paling baik?" Jawab Rasulullah saw., "Ialah orang orang yang menjaga orang orang islam lainnya dari bencana lidah dan perbuatannya."

 Dari Anas r.a, dari Nabi saw., sabdanya: "Ada tiga perkara, bila terdapat dalam diri seseorang maka dia akan merasakan bagaimana manisnya Iman: Mencintai Allah dan Rasul-Nya, melebihi daripada yang lain lain. Mencintai orang lain karena Allah semata mata. Benci menjadi kafir kembali setelah Allah melepaskannya dari kekafiran itu, sebagaimana bencinya akan dilemparkan ke neraka"

Saudariku seiman, apabila tiga sifat tersebut telah mengakar di dalam hati, jiwa dan fikiranmu, maka engkau -dengan ijin ALLAH- keimananmu akan menghasilkan sesuatu yg baru, yaitu ketenangan, kesigapan dan ketentraman

Saudariku seiman, inilah tiga hal yang sangat penting. Karenanya peliharalah dan berikan seluruh perhatianmu kepadanya, sehingga engkau benar benar merasakan suatu kelezatan di dalam jiwamu, yaitu 'kelezatan iman'.

maraji:
1. shohih muslim
2. membentuk muslimah militan, Najib Khalid Al-'Amir

Senin, 13 November 2006

[Cluster-5] Tamanuang

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

Ah kemana juz 27 ku? Kemana ketenangan yang dulu merayap-rayap setiap kali bimbang meradang. Kemana dendangan-dendangan kalimatNya yang selalu menjadi melodi terindah mendendang Qalbu? Setiap saat setiap detik, dimanapun kapanpun. Kemana petuah-petuah bijak yang selalu jadi senjata andalan ketika satu dua jiwa mendekat ingin bersahabat. “Simpan ayatNya dalam dadamu maka segala pahit akan berubah menjadi semanis gula”, begitu selalu kata diri pada semesta. Maka diripun menjadi rindu pada jiwa lama yang selalu berdendang riang memandang matahari senja Singapura kala warna-warni melukis raga. Maka diripun mejadi rindu pada jiwa lama yang selalu cerah ceria mensketsa sungai Singapura ditemani ayat-ayatNya.

Seribu tanya menari disela sesal yang kemudian tumpah menjadi airmata. Bersalah. Bersalah dalam kekalahan, kalah terhadap diri sendiri. Episode siang ini membingkai jendela. Menjingga, memerah lalu menghitam. Ah diri, kenapa sampai sejauh ini, pantas saja hilang semua koleksi kalimat-kalimatNya. Lalu mencobaku menyelusup mencari jiwa lama itu ke dalam aliran darah, seluruh denyut nadi, lapisan kelabu di kepala. Tak ada. Tiada. Engkau dimana wahai jiwa? Wahai keindahan yang selalu memenuhi semestaku, wahai ketenangan yang selalu menawarkan singgah untuk melepas lelah. Engkau dimana. Tak tahukah aku rindu.

Angin menggenggam jiwa, yang tak tahu lagi bentuk rupanya. Siapakah ini? Senja Singapura tentunya tak ada di sini. Pinggiran sungai Singapura tempat meluahkan asa pun tak ada di sini. Lalu kemana? Kemana harus menumpahkan tegukan pahit di ujung tenggorokan. Kemana harus mengakui kesalahan, meminta teguran, arahan atau luapan marah. Karena kesalahan ini memang begitu mencekam.

Engkau dimana wahai jiwa yang lama? Wahai keindahan yang selalu memenuhi semestaku, wahai ketenangan yang selalu menawarkan singgah untuk melepas lelah. Engkau dimana. Tak tahukah aku rindu.
//akhir 2006
*haruskah menunggu pelangi menari mengitari inti bumi? seperempat abad lewat sudah, berapa lama lagi kutunggu kamu wahai semestaku…