Minggu, 24 Oktober 2004

[Cerpen] Karena Engkau Adalah Melati

Dari webmis: 
Saya menemukan cerita ini sehabis ngubek ngubek koleksi cerpen islami di copy dari portal kita jaman dahulu kala. Sayangnya saya gak tahu siapa nama pengarangnya. Yang jelas ini pernah dimuat di annida 2000. Selamat membaca =). InsyaAllah bermanfaat ^_^

=============

( Catatan Harian Seorang Laki-Laki, Maaf, Bacaan Khusus Laki-Laki ! )

15 Januari 2000
Yap, akhirnya! Berhasil juga kudapatkan cinta Rika, si tomboy yang jago mendaki gunung itu setelah beberapa Minggu ini aku giat merayunya. Itupun dengan dilandasi ejekan Andi dan Yanto yang menantangku, "Ayo, Fan, taklukin tuh cewek. Ingat waktunya sebulan!"

Dengan modal dasar ditambah keahlianku merayu, Rika menerima cintaku di sini, saat kami berhasil mencapai puncak Gunung Purtri Elok I dengan waktu kurang dari satu bulan. Ini sesuai dengan target konyolku: Tahun Baru, Pacar Baru!

Kebersamaan kami dalam pendakian atau di sekretariat MAPALA membuatku tertarik pada Rika. Bayangan Ayu yang menjadi pacarku hampir tiga bulan hilang begitu saja. Wajah lembut keibuan itu terkikis oleh wajah imut dan ceria milik Rika. Malam itu sungguh mengesankan. Rekan-rekan sependakian menyanyikan kami lagu-lagu mesra dengan diiringi gitar di sekeliling api unggun sebagai tanda peresmian kami.
Tentunya sepulang dari pendakian ini Andi dan Yanto harus bersiap-siap mentraktirku makan besar.


21 Januari 2000
Aku hampir tidak dapat berdiri lagi akibat kekenyangan menyantap makanan kesukaanku di Enas Café. Ini masih jatah dari Andi. Besok Yanto yang mentraktirku. Keduanya tak henti-henti memuji keberhasilanku mendapatkan Rika.
"Tapi bagaimana dengan Ayu, Fan?"
"Gampang," kataku cuek sambil menghembuskan asap rokok. "Kampus MIPA dengan FE kan jauh. Pintar-pintar akulah membagi waktu dengan keduanya. Walau ketahuan, terserah mereka mau bagaimana. Aku bisa cari penggantinya."
"Huuu.., kamu benar-benar playboy antic dari Fakultas Ekonomi, Fan !"


31 Januari 2000
Pagi tadi secara tidak sengaja aku bertemu Ayu di kantin Pak Li. Andi, Yanto, dan Pardan buru-buru membuang muka dan menjauh. Aku tidak bisa mengelak.
"Fan, kamu mulai jarang datang," suara halus calon ibu guru itu lembut menegurku. Kulihat mukanya kusam. Aku segera pasang muka serius. "Maaf, Yu. Aku sibuk."
"Sebegitu sibukkah, Fan, sampai-sampai tak ada waktu sedikitpun buatku?"
Aku tertawa kaku. "Begitulah, Yu. Nanti ya aku datang..."
Aku memang sibuk akhir-akhir ini. Sibuk kuliah, di sekretariat MAPALA dan sibuk menemani Rika jalan-jalan, shopping atau nonton. Aku tidak bohong khan :)


10 Februari 2000
Hari-hariku kian berbunga bersama Rika. Bayangan Ayu hanya sesekali melintas dalam benakku. Semua mahasiswa Fakultas Ekonomi sudah tahu aku jadian sama Rika. Mereka tidak heran lagi jika di FE aku jalan bareng Rika, dan sewaktu-waktu mereka mendapatiku di kampus MIPA dan yang di dalam sedan civicku adalah Au. Mereka semua mengerti adatku dan memakluminya.


21 Februari 2000
Mulai hari ini aku putus dengan Ayu. Siang tadi dia sengaja menemui di area parkir FE.
"Jangan kira aku buta dengan hubunganmu sama Rika, Fan. Begini rupanya cara kerjamu dengan wanita-wanita sebelum aku. Malah aku baru tahu dari Tanti kau tinggalkan begitu saja sewaktu kau mengejar-ngejarku, Fan. Beruntung aku cepat mengetahui belangmu. Dasar ular berkepala dua..!"

Ular berkepala dua. Hmm, kukira julukan itu pantas untukku. Sejak dulu aku sudah terbiasa memelihara lebih dari satu wanita di hatiku. Aku pantas mendapatkannya. Tampang, body dan otakku di atas rata-rata, ditambah kekayaan orang tuaku sebagai salah satu pengusaha besar. Banyak lelaki yang mundur teratur bila tahu saingannya adalah aku. Ada satu dua yang menantangku duel memperebutkan cinta seorang wanita. Tentu saja aku jagonya. Tidak klop rasanya bila orang top sepertiku tidak dililiti sabuk ban hitam.


2 Maret 2000
Belum genap 2 bulan hubunganku dengan Rika, aku sudah diisukan oleh nama seorang wanita lain, Inayah Fitri. Yanto yang pertama kali menggembor-gemborkannya.

"Dia adik kelasku di jurusan Manajemen. Kebetulan aku ngambil mata kuliah yang sama dengannya. Orangnya cantik. Banyak cowok yang suka padanya. Tuh cewek cuek banget! Orangnya tertutup sekali. Tidak pernah bergabung dengan cowok. Pendiam dan sangat bersahaja. Si Erlan, anak pejabat itu sampe frustasi ngedekati dia. Emangnya cowok yang bagaimana sih yang dimauinya? Si Erlan saja ditolak, apalagi aku yang cuma begini!"

"Usaha dong, To. Usaha! Enggak semua cewek doyan sama cowok kaya. Justru ada cewek yang suka cowok sederhana seperti kamu," hibur Andi sambil senyum-senyum."

"Memangnya seperti apakah si Inayah itu? Apa dia anak orang kaya, cantik, atau sangat populer dalam organisasi sampai jadi sombong begitu pilih pilih cowok?" tanyaku.
Yanto menunduk. "Tidak, justru ia sangat sederhana dengan pakaian lebar dan berjilbab. Dia nggak ikut organisasi. Yang kutahu dia aktif di Masjid kampus ngadain pengajian-pengajian dan ceramah."

"Aduh, To, kok turun seleramu..." Aku dan Andi geleng-geleng kepala.
"Masa cewek seperti itu nggak bisa kamu dapatin, To ? Yanto memandangiku gusar, "Itulah, Fan. Kamu nggak tahu tipe cewek yang satu ini." Dan bukan aku namanya kalau tidak penasaran dan mengenal cewek itu.


3 Maret 2000
Gadis yang bernama Inayah itu sosok yang berjilbab lebar dan berpakaian rapi menutupi seluruh tubuhnya.
Penampilannya amat rapi dengan paduan warna serasi. Teman-temannya kebanyakan berpenampilan sepertinya dan tempat mangkalnya di Mushola Al-Misan. Kami yang sembunyi-sembunyi melihatnya dari taman kampus dekat Musholla sering mendapatinya berdiskusi serius di tangga Musholla. Gaya bicaranya tegas dan bersemangat. Kami menyaksikan dari kajauhan. Andi dan Yanto sibuk mengomentari gadis itu. Sedang aku yang duduk di batang akasia hanya diam membisu memandanginya. Aku tidak menampik, wajah bersih dan selalu menunduk dibalut jilbab biru muda itu sangat cantik. Dan aku.. aku..


11 Maret 2000
Adalah hal yang aneh kalau sekarang aku sering berada di Musholla untuk sholat atau duduk-duduk bengong di tangga (Aku mengerjakan sholat ini dengan terpaksa. Untung aku masih ingat gerakan dan doa yang terpatah patah yang kuyakini banyak salah dan tidak mengerti maksudnya). Sejak melihat gadis berjilbab itu, aku sudah bertekad untuk mengubernya seperti halnya Tanti, Ayu, Rika, dan mantan-mantanku dulu. Tentu saja tidak seru kalau tidak pakai taruhan. Andi dan Yanto yang jadi penantangnya. Enas Café jadi langganan si pemenang selama seminggu penuh dibayar oleh yang kalah. Yanto yang sudah jelas kalah itu sempat meremehkanku. Tapi, mantanku di semester II dulu adalah Sofia, mahasiswi teknik yang berjilbab. Toh, jilbabnya hanyalah jilbab, sepotong kain penutup kepala semacam mode. Suka pakai celana panjang dan kaos ketat. Kelakuannya sama bejatnya dengan kelakuanku di luar kampus. jadi apa istimewanya dengan jilbab?

Pertaruhan telah dimulai. Batas waktunya sebulan. Ini sudah hari kedelapan usahaku mendekati Inayah. Makanya aku dan Andi serta Yanto yang sering menemaniku di Musholla kampus. Ini salah satu tehnik dan strategiku. Beberapa suara-suara keheranan singgah di telingaku. "Udah insaf kali si Irfan, ya..?"


21 Maret 2000
Sialan! Benar-benar eror. Ini sudah hari kedelapan belas dan hasilnya nol besar. Kok, sulit sekali sih, mendekati gadis itu ? Bila kuajak bicara sendirian saja, dengan cara halus dia bisa mengelak. Segala tegur sapaku ditanggapinya apa adanya sambil menundukkan wajah. Tidak seperti gadis gadis yang kukenal selama ini. Dengan muka memerah dan suara manja mereka berlama-lama menahanku ada di dekatnya. Tapi sikap gadis yang bernama Inayah ini justru membuatku terpesona dan jadi segan mengusilinya. Aku mulai merasakan ada yang tidak beres dengan diriku.

Entah kenapa setiap kali membayangkan Inayah, aku seperti melihat setangkai bunga melati yang kudapati di atas gunung atau hutan-hutan lebat dalam pendakianku. Melati berduri yang ada diantara semak belukar sehingga tidak sembarang orang bisa memetik atau menyentuhnya. Namun begitu aroma keharumannya semerbak di sekelilingnya membuat orang merasa damai dan senang berada di dekatnya. Bila kutatap atau curi-curi pandang ke wajahnya, serasa ada setitik embun yang menempel pada mahkota melati itu jatuh mengenai hatiku yang kerontang. Sejuk.

Ups! Taruhan tetaplah taruhan. Harus kubuktikan bahwa aku adalah Petualang Cinta. Rika yang mulai mencium gelagatku tidak ambil pusing. Dia asyik dengan pendakian-pendakiannya bersama team Mapala. Aku tahu bukannya dia tidak tahu apa maksud tujuanku mendekati Musholla kampus. Mungkin kegilaannya mendaki yang kian menjadi-jadi itu adalah satu cara menutupi kekecewaannya. Beberapa hari yang lalu kulihat Ayu berboncengan dengan lelaki berpakaian necis di depan perpustakaan. Persetan dengan mereka semua. Targetku sekarang adalah: Inayah!


25 Maret 2000
Aku sungguh tidak mengerti dengan wanita yang satu ini. Aku hampir gila dibuatnya. Apa yang dimilikinya sehingga membuat aku tidak bisa memperlakukan seperti gadis-gadis lainnya? Keberadaanku tidak sebelah matapun dipandangnya. Malah kemarin aku ditegur Ali Zaki, mahasiswa jurusan akuntansi yang sering jadi imam Musholla.

"Maaf, Fan. Aku disuruh menyampaikan pesan dari para jama'ah wanita agar kamu jangan terlalu menampakkan diri di sekitar kaum wanita. Terlebih pada saudari Inayah. Dia merasa sangat terganggu."
Bah! Ingin kutonjok muka berjenggot tipis di dagunya itu. Apa urusannya dengan kami? Atau dia pingin mendapatkan Inayah? Kalau bersaing yang jantan Bung! Untung emosiku tidak sampai meledak waktu uty. Tapi yang pasti aku masih gagal mendapatkan cinta Inayah.

Cinta? Apa pula ini? Orangnya saja belum apa-apa kok sudah cintanya, Irfan Amara? Jujur saja, aku selalu memikirkan Inayah, dan kini kudapati jawaban itu dari diriku sendiri mengapa dia begitu mempesonaku. Bukan dengan kecantikannya, tetapi dari sesuatu yang dimiliki dari dalam. Sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa "sesuatu" itu. Atau sebut saja sebagai "keagungan wanita" yang ada padanya. Ya! Semacam keagungan wanita yang membuatku sangat hormat, segan dan tunduk padanya sebagai calon ibu dan ibu yang melahirkan putra-putrinya. Jadi apakah wanita yang pernah dekat denganku selama ini tidak memiliki "keagungan wanita" itu? Kukira mereka semua punya.Hanya saja mungkin mereka tidak menyadari atau malah tidak memperdulikan keagungan mereka itu. Mereka menganggap keagungan itu tidak sesuai dengan mode dan yang paling parah adalah dengan kodrat serta harkat martabat mereka! Jadilah mereka wanita yang segan-segan mengobral cinta, tubuh, dan harga diri. Diantara mereka adalah pacar-pacarku dulu.

Kalau begitu apa bedanya pula dengan aku yang laki-laki ini? Laki-laki yang menerima keberadaan bahkan bergaul dengan wanita yang tidak menyadari "keagungannya" itu tentulah lelaki yang sama dengan wanita itu. Ah! Bisa gila aku kalau begini? Apa yang telah terjadi denganku?


28 Maret 2000
Kali ini aku benar-benar gila. Rasa putus asa karena belum mendapatkan Inayah sementara waktunya sudah mepet, membuatku jadi berbuat nekad. Karena kenekadanku itu jadilah hari ini hati yang paling bersejarah dalam hidupku.

Sewaktu melihat Inayah keluar dari Musholla seorang diri. Andi dan Yanto yang masih memberi harapan kepadaku memberi kode agar mendekatinya. Karena kesal ditambah putus asa, tiba-tiba aku mencolek pinggul gadis itu! Kebiasaan yang sering kulakukan pada gadis-gadis lain! Bukan hanya mencolek tapi kulontarkan kata-kata yang tidak pantas untuk seorang gadis seperti Inayah.

"Alaah, sok belagak alim, lu! Pura-pura jual mahal! Padahal, lu, nggak beda ama cewek-cewek lain, malu-malu tapi mau! Emangnya lu udah merasa paling cakep di dunia maklanya menolak cowok seganteng gue! Eh, buka mata lu lebar-lebar dan lihat tampang gue baik-baik. PErempuan seperti Elu biasnaya punya nafsu besar dibanding laki-laki seperti gue. Tapi nggak pandai gunakan akal untuk..."

Plakk!!!
Rasa pedih seketika mendera pipiku. Aku ditampar! Asli! Kurasa mukaku merah waktu itu. Merah karena sakit dan merah karena malu dilihat oleh banyak mahasiswa di sekitar Musholla. Di tengah-tengah ketegangan itu terdengar suara hadis itu terbata-bata dan menunjuk mukaku dengan jari bergetar, "Kau.., kau benar. Perempuan lebih banyak nafsunya dari lelaki. Tapi dengan sedikit akal yang dimilikinya wanita bisa menjaga nafsunya sehingga menjadi terhormat. Tidak seperti kamu yang banyak akal tapi tidak bisa menjaga satu nafsumu sehingga kamu tidak lebih dari binatang yang hina!"

Blarr!!

Aku tertohok hebat. Rasanya waktu itu aku ingin hilang saja dari tempat itu menyembunyikan maluku. Masih banyak lagi lagi kata-kata yang diucapkan gadis itu sebelum akhirnya berlari kembali ke dalam Musholla sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa laki-laki yang keluar dari dalam Musholla, sudah berniat menghajarku. Tapi secara kebetulan Ali Zaki tiba di tempat itu dan menahan mereka. Aku diminta segera pergi. Dengan rasa malu yang tiada tara aku dikawal Andi dan Yanto meninggalkan tempat itu diiringi tatapan marah beberapa gadis-gadis berjilbab yang menyaksikan peristiwa itu. Aku betul-betul gila jadinya. Baru kusadari begitu rendahnya perbuatanku pada wanita yang selama ini diam-diam aku agungkan dan yang kukagumi. Aku munafik!


2 April 2000
Aku tidak mempedulikan Andi dan Yanto yang asyik menyantap makanan di Enas Café. Aku juga tak peduli berapa rupiah yang telah kukeluarkan untuk mentraktir mereka seminggu penuh. Ya, aku kalah dalam taruhan ini, kurang satu hari dari jatah satu bulan.

Entahlah, akhir-akhir ini aku jadi murung. Sejak peristiwa dengan Inayah beberapa waktu yang lalu membuatku jadi tidak bersemangat. Jiwaku terasa kosong dan dipenuhi rasa bersalah. Sejak peristiwa itu pula aku tidak pernah menjumpai Inayah untuk meminta maaf. Tapi aku sudah menjumpai Ali Zaki untuk menyampaikan maafku. Cowok alim itu menyanggupinya dan tidak menunjukkan rasa sedikitpun rasa marah atas peristiwa itu. Aku betul betul berterimakasih padanya.

Tiba-tiba saja aku mendapati diriku begitu bodoh dan hina. Kadang-kadang aku diliputi rasa ketakutan yang amat sangat, lebih-lebih bila teringat ucapan Inayah padaku, "Ingat, Bung! Semua kita akan mengalami mati. Bila jadi mayat tubuh kita akan sama bentuknya. Jadi tengkorak! Kalau sudah begitu siapa yang akan tertartik memuji tampangmu itu?"

Oh, Allah! Begitu mengerikan. Mengapa baru kali ini aku teringat akan sebuah nama yang bernama kematian? (Rasanya baru kali ini aku menuliskan nama Allah dalam lembaran buku harianku yang tebal ini. Ampuni hamba, Ya Allah!).

Saat Andi dan Yanto sibuk dengan makanannya, aku hanya tertunduk lesu memandangi suasana di luar Café. Tiba-tiba mataku menatap sosok Ali Zaki yang bertemu temannya dengan penampilan yang sama, berkemeja panjang dan berjenggot tipis. Keduanya bersalaman dan berbincang serius. Ketika dua gadis bercelana dan berkaos ketat lewat di depan mereka, keduanya serentak menundukkan wajah dan menyingkir hormat memberi jalan. Hatiku jadi nelangsa. Begitu hormatnya mereka memperlakukan wanita. Tidak sepertiku yang begitu mudah mencolek dan menggoda wanita. Eh, aku merasa melihat sesuatu yang membuatku merasa hormat dan kagum pada Ali Zaki dan temannya itu. Sesuatu yang agung, seperti yang ada pada diri Inayah! Jadi lelaki juga punya sesuatu yang agung itu? Yang membuat laki-laki terlihat berwibawa dan terhormat di mata wanita. Tidak sepertiku yang tidak lebih dari binatang yang hina seperti kata Inayah tempo hari. Jadi selama ini kemana perginya "keagungan laki-lakiku" itu? Oh, ya.. dia kuhempaskan dibalik ketampanan wajahku, keatletisan bodyku, kepintaran otakku, dan kekayaan orang tuaku! Duh, Allah.. Bagaimana sebenarnya hambaMu ini?


4 April 2000
Malam ini aku betul-betul menyerah. Sebuah penyerahan batin yang pertama kali kualami. Penyerahan total dari ketidakberdayaan melawan ketentuan dari yang di atas sana. Penyerahan yang kudapati dari seorang wanita yang bernama Inayah. Aku kalah bukan karena gagal menaklukanmu atau gagal mendapatkan cintamu. Tapi aku kalah oleh pribadimu dan keagungan wanitamu. Aku kini bagai debu kecil yang hina di bawah tapak sucimu, karena engkau bunga melati putih yang kudapati dalam pendakian dalam pendakian batinku yang maha berat.

Karena itu saksikanlah, kuruntuhkan keperkasaanku sebagai petualang cinta, Si Penakluk Cinta dan sebagai lelaki sempurna dalam segala hal tetapi tanpa ruhiyah yang bermakna. Adakah pintu buatku untuk menggapai kembali keagungan itu setelah dua puluh tahun terlindah di bawah kebejatanku? APakah aku bisa memulainya melalui Ali Zaki dan teman temannya di Musholla kampus? Biar kubuang jauh-jauh rasa malu dan gengsiku untuk mulai berubah. Aku sudah punya prinsip sesosok lelaki tanpa iman dari pada nanti diledek atau ditertawakan teman-temanku. Kemudian saksikanlah mulai malam ini kututup lembaran harian patung cinta ini. Tidak ada lagi deretan nama gadis-gadis dalam hatiku. Lalu aku tahu ini adalah sesuatu yang mustahil kukira. Tapi salahkah jika aku berharap suatu saat nanti aku bisa memetik melati putih itu dengan tangan keimananku dan dengan hati yang mulai malam ini kubersihkan dengan nama Allah? Kalau tak mampu kuraih, cukuplah saja harum melati itu menyebar mengenai tubuhku hingga akupun menjadi harum oleh keimanku. Adzan shubuh berkumandang, saat ini akupun tak mau lagi ketinggalan...
(Annida, Juli 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar