Senin, 01 November 2004

[Cluster 3]: Belahan jiwa bunda

//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//

Di sini --> http://unisa.f2o.org/log/maR04.html pernah kutulis tentang laki-laki itu. Pada entry singkat berjudul "Senyumnya Matahari" , tertanggal Saturday, March 13, 2004. Juga di tulisan-tulisan di tahun-tahun sebelumnya, 2003, 2002, baik pada hari-hari biasa ataupun di hari-hari penting baginya. Selalunya ada entry-entry khusus buat dia.

Beberapa minggu yang lalu berkesempatan lagi berjumpa dengan laki-laki itu. Laki-laki yang sama yang selalu menyita sel-sel kelabu di kepala. Canggung juga rasa hati mengingat pertemuan terakhir dengannya adalah 8 bulan yang silam. Maka terburu-buru menyelesaikan tugas kantor dan segera melesat ke Orchard road, satu-satunya tempat yang ia pahami begitu menginjakkan kaki di Singapura. Beberapa saat menjelang magrib kala itu, saat akhirnya sosoknya kulihat dari kejauhan duduk menunggu di salah satu bangku di depan Lucky plaza. Sedang memandangi arus manusia di depannya.

Aku muncul, melambaikan tangan. Sosoknya berdiri seketika. Ah masih sama. Tinggi besar dan gagah. Wajah coklat tembaga itu tersenyum.
Manis sekali. Garis-garis wajah ayah tergambar jelas di wajahnya. Senyumnya yang malu-malu dan canggung persis meniru ibunda. Pakaian yang rapi, wangi dan matching, jelas bukan meniru uni nya (hehehe...)

Si dia yang dulunya masih berseragam SMP ketika kutinggal ke ITB. Yang beberapa tahun kemudian menjelma menjadi pemuda gagah dengan sisi-sisi pergaulan mengikuti jamannya. Yang bangga dengan koleksi-koleksi musiknya yang hangar bingar bikin sakit telinga, juga sebuah foto asing di kamarnya dengan judul ‘calon menantu ibunda’. (Ooolaalaa.. uni-nya aja tak punya foto dengan judul begitu). Yang bangga dengan teman-teman bermotornya yang rupa-rupa warnanya dan sering memutarin kota Padang sampai pagi tiba. Duh duh adinda. Khayalanku mungkin masih jauh melambung di tsurayya, mengharapmu bergabung dengan barisan-barisan manis yang bukan malaikat namun indah cintanya pada agamanya. Duh duh adinda sudah lama aku menyerah kalah.

Si hitam manis (bukan kucing looh…) mengangsurkan bungkusan mungil. “Ada tempe goreng, kentang goreng, ikan asin dan sambal lado kesukaan uni” katanya malu-malu. Waduh waduh senangnya rasa hati. Maka makanlah kami di sebuah bangku di pinggir jalan itu. Lalu lintas kendaraan yang rapi dan tak banyak polusi menjadi hiburan tersendiri. Kelap kelip lampu kota menghiasi malam menutupi sinar rembulan. Rembulan yang cantik alami dan tak pernah iri pada lampu-lampu kota yang semu indahnya. “Magrib uni, magrib sebentar lagi, mesjid ada di mana?”, ups tidak salah dengarkah telinga ini?. “Ada, ada.. mesjid al Falah namanya, tak berapa jauh, hanya sepeminuman kopi” (dooo serasa di jaman persilatan)

Bergegas ia ketika mesjid di depan mata.
Oh oh sungguh ingin rasanya mengucek2 mata dan mencubit lengan. Benarkah pemuda gagah yang sedang berlari-lari itu pemuda yang sama yang setahuku alergi dengan mesjid dan atribut2nya. Ah biarlah, bukankah Allah sang pemilik hati. Maka terpekurlah aku menunggunya, si belahan hati ibunda, di depan mesjid. Aduh, aduh kenapa lama sekali. Apakah tersasar di dalam? Atau terkunci di kamar mandi?. Tak tahan rasa hati akhirnya melongokkan kepala mencuri-curi pandang ke barisan para Rijal. Mana dimana dirimu. Yaa Rabbi, sang pemilik hati, yang kucari sedang bersujud lama di ujung sana. Yaa bunda, benarkah itu adikku?

Aku mengamatinya menalikan sepatu. Benar. Itu masih dia. Pemuda yang sama yang dari kecil selalu menyamakan panjang tali2 sepatunya sebelum mengikatnya. Dia berdiri, menggamit buntelan yang dibawanya, akan bersiap melangkah ketika matanya tertumbuk pada jejeran buku-buku di pelataran mesjid. “Uni, aku mau buku ini”, ups tidak salah dengarkah telinga ini? Sejak kapan buku-buku fiqih menjadi wished-list nya. “Ah jangan becanda” sahutku harap-harap cemas. Dia tidak menjawab, menatapku sekilas lalu kembali asyik menekuni buku2 di hadapannya. Wajah itu ya wajah itu, walau masih sama dgn bertahun2 silam tapi sesuatu disana berbeda.

“Aku mau buku-buku seperti tadi...” katanya memecah sunyi. Duhai hati tak sanggup bertanya. “Uni punya?”. Aku mengangguk mantap, mengatupkan bibir, memilih tidak berkata-kata. Menahan tetesan bening yang mengumpul di pelupuk mata. Mengalihkan topik, berusaha menyembunyikan haru yang menelusup di ruang-ruang hati. Yaa bunda, benarkah ini adikku?

Namun butir-butir bening itu tak malu-malu menguraikan hujan ketika hari berikutnya mendapatinya dalam diam terbangun kala subuh menjemput. Mengucurkan wudhu, yang seketika itu menjelma menjadi simpony paling indah di dunia. Lalu bersujud panjang di hadapan tuhannya. Yaa bunda, benarkah itu adikku?

Jika ini adalah awal dari suatu perubahan dalam hidupmu, maka semoga istiqomah selalu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar