Kamis, 23 Juni 2005

Lembar-lembar berganti

episode kanak kanak

Perempuan itu (tepatnya, anak itu) masih kelas 2 SMA. Senja baru saja merayap menutup malam. Begitu asyik menemani ibunda memotong2 daun pisang di pelataran warung sate milik Abak(kakek) dan Amak(nenek). Ibunda masih suka bantu bantu kegiatan di warung tersebut kalau lagi tidak mengajar tambahan atau sibuk dengan hobi mencuci, menyetrika dan beres2.

"Aku ingin sekolah di luar negeri" katanya memecah hening. Sang ibu terperanjat. Sesaat saja. Lalu kembali meneruskan aktivitasnya sambil bergumam kecil, "Mau bayar pake apa? ngejual sawah orang sekampung?". Lalu mereka pun tertawa bersama. Renyah. Manis tanpa beban. "Boleh", kata ibunda tiba tiba. "Kalau memang mungkin, pergilah menuntut ilmu. Namun jangan pernah lupa adat basandi syara', syara' basandi kitabullah", lanjut ibunda yang erat melekat dgn budaya minang.

Tapi tiba2 ibu menoleh lagi.. "Alah, bandel kayak kamu mau ke luar negeri. Bisa2 ilang ntar. Kemaren aja naik gunung gak bilang bilang". Si anak kecil cengengesan. Maaf .. maaf..

Lalu percakapan itupun terlupakan sampai bertahun tahun kemudian. Sampai suatu hari ketika perempuan itu benar2 menemani ibunda berkeliling sebuah instansi pendidikan. Beradanya di luar negeri.Seperti cita citanya. Di negeri singa yang sama sekali tak pernah dihuni seekor singa-pun :D.Seperti do'a ibunda. Saat itulah ibunda buka rahasia tentang do'a2 yang selalu terucap tentang cita2 'iseng' anaknya.

episode remaja

Saat itu masa SMA berakhir sudah. Pagi baru akan menggantikan tugasnya malam, seperti janji Ar rahman. Perempuan itu menatap ibunda yang sibuk dengan cuciannya di sebuah sumur tradisional, sementara perempuan sudah rapi ingin minta diri. UMPTN!!! "Takut... bagaimana kalau aku gagal bu?" dia menatap ibunda mengharap mulutnya mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang selalu menghadirkan nyala tentang pentingnya sebuah tekad dan optimisme.

"Ibu tahu kamu bisa. Tinggal bawa tisu yang banyak untuk melawan keringat di tangan. Bisa kok.. pasti bisa" Jawabnya singkat. Perempuan itu menangkap kalimat sang ibu sbg sebuah pendar harapan. Lalu kenangan itu menjadi penghibur kala ketakutan tiba tiba menerpa.

Percakapan itupun terlupakan sampai berbulan bulan kemudian. Sampai suatu hari ketika perempuan itu benar2 menemani beliau berkeliling kampus ganesha. Saat itulah ibunda kembali buka rahasia tentang do'a2 yang selalu terucap semenjak anaknya minta ijin.

episode pematangan jiwa

Saat itu masa perkuliahan berakhir sudah. Namun ternyata dunia di luar kampus demikian kerasnya. Bolak balik interview di Singapura, bahkan sampai ke Batam dan Jakarta, belum juga menunjukkan hasilnya. sementara sisa sisa beasiswa mulai menipis. Putus asa mulai menerpa. "Ibu... aku takut, kemana lagi kaki harus melangkah, semua usaha sudah dicoba", kata perempuan suatu ketika padanya yang jauh di mata. "Memintalah padaNya, seharusnya kamu lebih paham" kata ibu singkat. "berjuanglah.."

Lalu perjalanan takdir membawanya kembali ke Singapura, setelah sempat berikhtiar penuh mengikhlaskan Jakarta sebagai tujuan berikutnya. Belantara beton yang saat itu begitu menakutkan di kepala. Ratusan malam berlalu tanpa perempuan itu sadari bahwa setiap malam do'a do'a bunda begitu larut dalam kesabaran yang berlipat ganda.

episode pendewasaan

Suatu siang terasa begitu penuh semangat kala perempuan itu menghabiskan detik demi detik ber-brainstorming bersama seorang brother di seberang benua sana.
Tentang kontribusi buat ummat, pencerdasan di bidang IT, islamic enterpreneur, dst dst. Seorang brother yang sepengetahuannya begitu patuh dan tunduk pada seorang wanita bernama ibu. Bahkan pada konteks yang kadang2 membuatnya mengerutkan kening. Misal, masalah suku dalam memilih calon istri, dst dst. Namun pada hakikatnya tak mengapa. Sepanjang apa yg diperintahkan itu tak menyuruh kita kepada maksiat, syirik dan pelanggaran. Dan memanglah akhir yang sangat baik yang dipahaminya dari kisah tentang brother. Sang calon istri begitu sesuai dengan kriteria (perempuan itu lebih suka menyebutnya do'a) ibundanya. Bagus agamanya. Indah akhlaknya.

"Akhir yang sangat indah" perempuan berujar di sela sela pembicaraan.
"Mungkin berkat do'a ibu" jawab brother. "Karena itu selalulah berdiskusi dan minta restu ibu dalam apapun perbuatan" nasehatnya singkat.

Do'a ibu. Ridho ibu. Ya... ternyata benarlah indah adanya do'a do'a yang selama ini kita pintakan padaNya...
Yaa Rabb, kami mengharap ridhoMu... dan juga ridho orang tua kami...

Begitu istimewanya kedudukan orang tua dalam agama kita. Mudah2an jiwa jiwa kita tak pernah lupa untuk selalu berusaha menyalakan binar binar kebahagian di mata mereka. Pengukir jiwa raga kita.

Yakinlah, tak ada do'a yang tulus yang tak dikabulkanNya. Mungkin cuma caranya saja yang berbeda. Atau waktunya saja yang ditunda. Dan jawaban dari do'a do'a kita tidaklah musti "iya", namun adalah apa apa yang terbaik menurut ilmuNya...

Yaa Rabb, jikapun terasa belum Engkau kabulkan apa2 yg kami pinta saat ini. Kami percaya, akan datang jawabanMu dengan cara yang berbeda. Atau masalah waktu saja yang tertunda. Atau ada jawaban yang lebih indah yang mungkin belum bisa kami tebak skenarionya.

...apakah do'a bunda buat KITA hari ini?
...yang tak kalah pentingnya
...apakah kita juga selalu mengingat dan mendoakannya? ...kalau belum, mari renungkan sama sama...
...sungguh merugi jika kita tidak sempat banyak berbakti kala orang tua kita masih di dunia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar