Rabu, 14 Desember 2005

[catatan 1]: And so the story goes...

10.00 am, IT nya kantor pajak, Singapura 
[Miss Boss]

Rapat siang ini dicancel kata miss Boss, ditunda sampai senen. Jadi nampaknya sore ini bisa pulang cepat, magrib di Raffles lalu bongkar bongkar koper serta menyisihkan baju-baju yang kira-kira bisa ditinggal. Miss boss sedang ga begitu baik moodnya. Terlalu sibuk dan terlalu banyak deadline. Berkali-kali dia dan beberapa petinggi-petinggi rapat kilat di meja panjang persis di belakang perempuan itu. Kadang-kadang sudut matanya melirik mereka dari kaca spion yang ditempelkan Yati, si gadis melayu sahabatnya, di sudut kiri monitor. Katanya itu hadiah ulang tahun. Berguna buat keamanan biar perempuan itu ga kepergok ketika sedang menulis di sela-sela waktu luang, demikian katanya.

Diantara petinggi yang lain Miss boss termasuk yang paling muda. Miss boss ini kakak kelas perempuan itu di NTU, jadi umurnya paling banter 25 tahun. Posisinya melejit cepat karena selama di NTU beliau ini dibiayai beasiswa penuh dari Institusi ini. Kontras sekali melihat miss Boss yang muda energik, cerdas, ramah dan luwes berbrainstorming dengan beberapa bapak-bapak yang setidaknya on their late forties. Biasanya kalau kebetulan perempuan itu sedang ikutan lembur juga, dia merasa kasihan ketika mendapati beliau ini masih asyik di depan monitor ketika lewat pukul 10 malam dan tak ada tanda-tanda akan beranjak pulang. Tapi entahlah, sementara perempuan itu kasihan mungkin bahkan miss Boss sangat menikmatinya. Yang jelas perempuan itu gak berniat menjalani hidup seperti itu untuk jangka panjang.

02.00 pm, at the same place
[Sorry, but I can't]

Miss boss melongo waktu perempuan itu mengutarakan keinginannya.
Senyum cerianya yang khas dan menyenangkan perlahan pudar berganti kerut di kening. Tetap cantik sih

"Kenapa sekarang, tak bisa ditunda 2 atau 3 bulan lagi?, akhir February kita mau release dan lagipula awal maret kontrak tahun pertamamu selesai.
Tak mau menunggu bonus akhir kontrak?" katanya.
"No, I need to go by the end of this month" sahut si perempuan kalem. "Bonusnya 2 bulan gaji¡¨ desak miss Boss.
"It's not about money" Wohoo , kepala perempuan itu berdenyut.
Jumlah yang dia sebut melenakan. Tinggal ditambah sedikit lagi dan dia bisa naik haji dengan uang segitu.
Kening miss Bos berkerut lalu mulai menjelaskan betapa bulan ini adalah saat yang kritikal buat dia dengan posisi barunya dst dst.
"Bagaimana kalau ditunda 2 minggu?"
"Ga bisa"
"4 hari, kita bayar", Again! Money!
"I've already buy the air ticket"
Hening
Hening
Hening
Tragis!
Dia mengiming-imingi perempuan itu benda keramat yang sukses menjauhkan ketulusan dari orang-orang teramat dia sayang, nun jauh di kampung halaman. Sebuah artikel di kompas pagi ini cukup menentramkan jiwa. Ternyata tak sedikit memang yang dinisbahkan menjadi pabrik uang ketika terdengar bekerja di luar negeri. Bukan tentang jumlahnya yang memberatkan, namun penilaian dan perlakuan yang melelahkan batin secara terus menerus. Sayangnya dia perempuan. Tak selalunya punya bahu yang lapang.


08.00 pm, Tepi sungai, Singapura
[It's not about money-1]

Ini tempat favouritenya. Ya perempuan itu, kita tak sedang membicarakan miss Boss lagi. 5,5 tahun belakangan ini dia selalu kesini kala perasaan hati tidak normal. Tempat yang indah, mengingatkan pada kampung halaman yang dikelilingi sungai-sungai besar dengan lebar puluhan meter. Mesjid Mohd Ali terletak under ground, di bawah gedung-gedung perkantoran, hanya beberapa meter dari pinggir sungai. Malam merayap, sebentar lagi mungkin Isya. Bangku bangku di pinggir sungai dipenuhi manusia. Ada yang kelelahan abis jogging, ada yang sekadar berkumpul-kumpul, kebanyakan sedang jepret sana sini. Fotografi!!!. Wah perempuan itu juga suka dan berniat serius mendalami. Moga-moga segera dikasih rejeki beli kamera.

Nun di sebelah kiri berjejer tenda-tenda menaungi sepanjang pinggirian sungai sampai ke ujung jalan.
Itulah Boat Quay, salah satu tempat tujuan wisata turis-turis. Disebut Clarke Quay juga. Awalnya diabingung bedanya apa?. Ternyata tempatnya sama. Cuma yang satu adalah di North part of Singapore River. Satunya lagi di South part of Singapore river. Sungai Singapura bersih dan dipenuhi kelap kelip kapal yang membawa pelancong mengarunginya dari ujung ke ujung. Di sebelah kanan Fullerton Hotel berdiri gagah dan mewah. Seperti istana mungil. Disekelilingnya gedung-gedung pencakar langit menjulang angkuh. 

Kepalanya berdenyar-denyar. Setiap masalah adalah pijakan bagi kita untuk melompat lebih tinggi lagi memang. Yang dia takutkan hanyalah jika sampai lupa bersyukur. Dia memang musti meninggalkan negeri ini segera. Suasananya tak lagi baik untuk ruhiyah. Newton menemukan teory relativitas, tapi seharusnya dia juga menemukan teori sensitivitas. Kadang begitu lelah ketika satu-persatu sekelilingnya mulai menuntut jawaban. Jiwanya tak lagi ada di sini. Orang-orang bilang kalau mau kaya tetaplah disini, but tak semua orang paham bahwa, it's not about the money

08.00 pm, Tepi sungai, Singapura
[It's not about money-2]

Lalu suara-suara itu berderet-deret memenuhi rongga kepalanya.

"Kenapa musti Jakarta? Kenapa mau meninggalkan kemapanan di pulau ini? Buat apa kembali ke negeri yang sumpek, panas, polusi, banyak Kriminal dan ruwet. Gajinya paling seperlima di sini bla bla bla", Demikian salah satu rentetan pertanyaan. Lalu perempuan itu semakin lelah ketika mencoba menjawab dan dipatahkan kembali. Akhirnya diri tersadar. Setiap orang punya latar belakang yang berbeda, punya jalan hidup yang berbeda, dan otomatis punya nilai-nilai yang berbeda dalam memandang hidup.

"Buat apa kerja tinggi-tinggi? Manajemen trainee? Mau jadi wanita karir? Wanita itu tempatnya di rumah, mendidik keluarga, mengasuh anak", Huah!! Ini lagi. Awalnya dia marah. Namun mencoba belajar dewasa. Ternyata setelah dianalisa setiap "hujatan, kecaman, sindiran" berbeda nadanya. Berdasarkan latar belakang yang punya lidah. Berdasakan derajat kenyamanan perlindungan keluarga, level kemapanan, pendidikan dan yang terpenting sensitivitas dalam menghargai orang lain. Ya, rambut kita sama-sama hitam namun gelombang yang kita terjang tidak ada yang sama. Lagian rasanya dia belum pernah bilang kalau punya cita-cita demikian. Banyak hal yang musti kita ketahui sebelum menilai sesuatu.

"Selamat deh kalau gitu, selamat berkubang dengan uang haram seumur hidup, karena kamu bergabung dengan mbahnya system riba di Indonesia", Nah yah, ini lagi komentar paling manis. Tentang yang ini memerlukan pembahasan tersendiri dan tak ingin membicarakannya disini. Yang berkomentar ini menginginkan sebuah system yang berubah sim salabim. Tidak ada gunanya juga jika dijelaskan sebenernya di bagian apa perempuan ini akan bergerak nantinya, mengurusi apa, mempelajari apa, dst dst.
"Aku sudah konsultasi jauh-jauh hari dengan ustadz" tambah si perempuan.
"Ya, kamu pertanggung jawabkan saja kelak sama ustadz itu di akhirat, Ngakunya akhwat kok begini". Huff!. Tepat di ulu hati. Manis sekali memang sahabat yang satu ini =) dan perempuan itu tak ingin berpanjang-panjang. Cukuplah sudah perdebatan-perdebatan di berbagai milis yang memanas akhir-akhir ini mengeruhkan kebersamaan. Perempuan itu undur diri.

"Berapa gaji pertama?"
"1,5 juta kayaknya"
"Ah paling gaji pokok, pasti ada tunjangan blab la bla"
"yang aku tahu belum ada, setidaknya setahun ini"
"Ah masa iya, pasti gede, ga mungkin kamu mau kalau cuma segitu, tenang nanti blab la bla dst dst, jangan lupa ntar sepuluh tahun lagi kalau bla bla bla, jangan lupa bla bla dst dst "
Hhh pusing.
IIt's not about the money.

"Kamu merasa kering ruhiyah di sini?" another dialogue comes out
"Itu salah satunya, cuma merasa tempatku bukan di sini. Inginnya juga bisa berbuat sesuatu jika kembali di negeri sendiri"
"Ga musti pulang kok, kerja aja di sini lalu kumpulin duit trs sumbangkan"
"Jiwaku tidak ingin begitu"
"Ah kamu ini, kamu kan bisa bla bla bla.."
Hhh pusing.Lalu pembicaraan berlanjut berjam-jam.
It's not about the money. Plese understand me..

"Pasti ngejar ikhwan!, mau nikah ya?" kejar seseorang dibalik monitor antusias. Aha menarik! Yang ini bukan tentang uang lagi prasangka yang menyertainya. Perempuan tersenyum miris.
"Kapan nikahnya" kejarnya lagi, oh dia serasa di acara infotainment
"Tunggu apalagi sih, kok sampai sekarang ga nikah-nikah", Hmm ya pertanyaan yang bagus.
Akhirnya perempuan itu memutuskan tak ingin berpanjang-panjang lagi bercakap dengannya. Perih. Menanyakan itu sama saja dengan menanyakan kapan dia meninggal. Karena dua-duanya sama-sama rahasiaNya

09.00 pm, Tepi sungai, Singapura
[Kamu meninggalkanku-1]

Lama-lama perempuan itu sadar, tak mungkin untuk menyenangkan semua orang dan melelahkan untuk meyakinkan semua orang. Lama-lama perempuan itu sadar tidak perlu untuk melakukan itu semua. Dan akhirnya memutuskan bahwa senyuman adalah jawaban paling cukup. Singkat, padat dan sakral. Lagipula, kepala tak mampu menampung banyak hal dalam bersamaan.

Teringat sahabat yang lagi di Jakarta bulan ini melengkapkan separuh agamanya. Wah kangen berat. Beliau yang begitu menyejukkan dengan segudang positive thinking dan nasihat2 bijaknya. Dengannya kadang ada hal-hal yang sama-sama manis jika dibiarkan tak terbahas. Dengannya mudah saling memahami bahwa keidealan yang kadang dituntut dan dibentuk oleh suatu golongan tak bisa dipaksakan untuk setiap orang, kembali karena latar belakang, kisah hidup dan keberuntungan setiap orang berbeda-beda. Apalagi mengatakan suatu prinsip yang kemudian malah disalahi sendiri prakteknya.

Dengannya tak semua cerita musti mengalir karena kadang ada saatnya bagi jiwa untuk merenung, berfikir dan butuh waktu sendiri. Dengannya teori sensitivitas membalur erat dan rapat. Maka sungguh nyaman ketika ada hal-hal tertentu yang tidak saling dibicarakan. Persahabatan yang dihiasi husnuzhon dan penjagaan atas cerita satu sama lain. Perempuan itu sempat kecewa berat dengan seseorang ketika suatu ketika mengetahui bahwa ada bagian2 kisah yang seharusnya untuknya sendiri tidak untuk disounding kemana2.

"Kamu tega meninggalkanku" kata perempuan itu ketika menyadari bahwa setelah menikah tentunya sahabatnya akan ikut sang pangeran ke negeri tulip.
"Bukannya kamu yang meninggalkanku", jawab sobatnya kalem "Kamu duluan menetap di Jakarta, bukan aku". Ah ya benar juga. Mungkin kita saling meninggalkan.

09.00 pm, Tepi sungai, Singapura
[Kamu meninggalkanku-2]

Huff mana pernah perempuan itu menyangka kalau suatu saat mereka akan terpisah demikian jauh ya? Dengannya masa-masa belajar semasa kuliah terasa begitu menyenangkan. Dan pasti dijamin jatah 500 sms gratis sebulan bakal ga cukup jika sudah sibuk sms-an dengannya.

Dia juga tipe orang yang menghargai orang lain dengan caranya sendiri. Suatu hari perempuan itu masuk ke blog pribadi sobatnya itu dan membaca yang berikut ini:

+++++++++++
Aku termasuk orang yang senang sms-an.
Selain suka sms, senang juga me-review sms-sms yang masih disimpan. Sms-sms yang disimpan antara lain sms taushiyah dan do¡¦a-do¡¦a dari orang-orang tersayang. Dan inilah dua yang paling lama bertengger di inbox saya :

"Seorang mukmin adalah sahabat sejati, ia mengetahui berat beban saudaranya, memaafkan & memberi uluran tangan, serta mendorong dengan memberinya kebanggan, pengertian & harapan"
Sender: +62....
Sent : 14 April 2003

"Apa kabar iman? Semoga slalu menapak maju. Apa kabar hati?Smoga bersih dari kelabu. Apa kabar cinta? Semoga tetap berpeluh rinduNya. May Allah always love you.
Tetap semangat,OK."
Sender: +65....
Sent : 21 Sept 2003

Aku seneng banget sama dua sms itu. Kenapa? coba deh dibaca, diresapi, dan direnungkan. Uhibbuki fiLlah yah ibu-ibu. Walau dua-duanya udah ga tiap hari ketemu insyaAllah jauh dimata dekat dihati ya.
+++++++++++

Demikian bunyi tulisannya.

Perempuan itu tertegun ketika membaca sms yang ke-dua. Sms itu dari perempuan itu ketika mereka masih kuliah dan bertemu tiap hari. Ia dulu memperolehnya dari seorang teman dan mengirimkannya kembali ke sahabat-sahabat terbaik namun tidak pernah menyimpannya. Tanggal yang tertera di sana lebih dua tahun yang lalu.
Subhanallah, dia masih menyimpannya padahal sudah selama itu. Hati perempuan itu bergetar dan haru memenuhi rongga dada kala itu.

Ah ya, bukan sahabatnya yang meninggalkannya, tapi tepatnya mereka saling meninggalkan. Ia berharap mereka masih akan tetap saling mendoakan ketika saling mengingat satu sama lain.

09.00 pm, Tepi sungai, Singapura
[the song that I sing]

Malam memeluk hari, seharusnya sudah Isya dari tadi. Perempuan itu beranjak perlahan. Ah ya, dia sudah memutuskan sesuatu dan setiap keputusan punya aturan main sendiri. The Art of choosing. Seperti hidup yang terus berjalan maka tak ada alasan untuk menyerah kalah dan berhenti. Tak bisa lagi harapkan dukungan moril dari rumah. Akan berpisah juga dengan sahabat-sahabat lama. Maka adalah sebuah tantangan untuk merambah dunia yang benar-benar baru sendirian. Melangkah sendiri adalah suatu keniscayaan dan bukankah dari dulupun demikian. Jadi seharusnya tak ada alasan untuk gentar

dan cerita perempuan ini akan terus berlanjut...



Komentar


uniang :: [E-Mail they said true friends are like stars, they can't always be seen but they are there.
Insya Allah, everything is gonna be allright.
Everything is going to be allright:) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar