//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net//
tulisan lama: 18
des 2005 , ditengok kembali sbg renungan atas bertubi2nya Jogja, sinjai dan
sekarang Pangandaran. Setelah ini…?
Sudah lewat
tengah malam waktu Singapura kala itu. Lima pasang mata menatap layar televisi
dengan gejolak hati yang bermacam-macam. Namun saya yakin semuanya bermuara
pada satu titik rasa walau berbeda cara pengungkapan dan pengekspresiannya.
Ibarat karya sastra yang multitafsir, demikian juga raut muka dan gejolak jiwa.
Channel news Asia memutar tayangan documenter tentang ledakan krakatau 26-27
August 1883. Salah satu bencana alam terbesar dalam beberapa abad ini. Layakkah
disebut bencana jika pada hakikatnya itu adalah hukum alam yang sekadar berjalan
mengikuti aturan dan sifatnya. Lalu yang menjadi pembeda apresiasi kita atasnya
adalah bagaimana mengubah paradigma tentangnya dan menghubungkannya dengan
konsep ketundukkan, kepatuhan dan kehambaan di hadapanNya.
The eruption of Krakatau
(Krakatoa) in 1883 created the largest explosion ever heard and produced
tsunamis which killed more than 30 000 people. Bunyi letusannya terdengar
sampai ke selatan Australia
dan kepulauan di sekitarnya. Debu-debu panas berhamburan, maka pesisir barat
pulau Jawa laksana dihiasi hujan salju. Salju semu yang membakar. Ombak
setinggi awan menyapu dan menghempaskan apa saja yang dilewatinya. Mercusuar
seperti dipenggal dan roboh seketika. Semburan gas beracun merenggut ribuan
jiwa. Manusia-manusia yang
lemah berhamburan kemana-mana tak tentu arah. Daratan seketika berubah menjadi
lautan dangkal untuk kembali surut. Keseketikaan yang maha dahsyat.
Sudah lewat tengah
malam waktu Singapura kala itu. Lima pasang mata menatap layar televisi dengan
gejolak hati yang bermacam-macam. Narator membahas fenomena tersebut dari segi
ilmu pengetahuan dengan ilustrasi-ilustrasi yang menggetarkan jiwa. Lima sosok jiwa tak mampu berkata-kata.
Seperti sejarah yang kerap kali mengulang dirinya sendiri. Maka saat inipun
turunannya Krakatau akan terus hidup, membesar dan berkembang dan mungkin
menunggu saat juga untuk memuntahkan isi perutnya. Mulailah kembali teringat
bahwa dalam kitabNya tertulis akan ada hari yang lebih dahsyat dari itu.
Gunung gunung
belumlah di hamburkan…
Bintang bintang
belumlah berjatuhan…
Lautan belumlah
sempurna meluap..
Matahari belumlah
digulung…
Langit belumlah
terbelah…
Bumi belumlah
memuntahkan semua isinya…
Belum… belum
diguncangkan dengan sempurna
Ketika seharusnya
saat itu benar benar tiba…
Belum.. belum apa apa…
Dibanding hari yang Kau janjikan
Tapi kami sudah menggigil begini hebat
Masih punyakah alasan untuk sombong dan
tidak tahu diri?
Sudah lewat tengah malam waktu Singapura
kala itu. Lima
pasang mata menatap layar televisi dengan gejolak hati yang bermacam-macam.
Narator menyajikan cuplikan documenter edisi pekan mendatang, yaitu Asian
Tsunami, yang memporakporandakan berbagai daerah di Asia
termasuk Aceh, negeri seribu mesjid. Tindakan-tindakan, aksi-aksi, uluran
tangan, tulisan dan do’a seketika menghambur dan mengarahkan perhatian pada
satu titik di ujung sana ,
negeri seribu mesjid. Duka, duka dan duka menggantung di langit dan menaungi
wajah-wajah yang masih terpana dalam kekagetan di sana , negeri seribu mesjid.
Tangan inipun tak mampu mencoba memetakan
tentang apapun yang didengar, dilihat dan dirasakan tentang satu episode yang
menggayut di sana ,
di negeri seribu mesjid. Semoga ya semoga berapapun insan yang tersisa dan
bagaimanapun terkoyak jiwa yang ditorehkannya, semoga azan-azan tetap
berkumandang indah di langit sana ,
di negeri seribu mesjid. Semoga kaki-kaki tak pernah enggan melangkah
meramaikan majelis-majelis ilmu di sana ,
di negeri seribu mesjid. Semoga pemuda-pemudi serta seluruh penghuninya selalu
tegar hati dalam balutan kekokohan jiwa untuk terus melangkah, bersujud, syukur
dan sabar sehingga mampu mengubah luka yang duka menjadi senyuman semanis gula
dan gerak langkah yang nyata. Gerak langkah yang merupakan perwujudan proses
pengumpulan point menuju hari yang pasti.
Tangan inipun tak mampu mencoba memetakan
tentang apapun yang didengar, dilihat dan dirasakan tentang satu episode yang
menggayut di sana ,
di negeri seribu mesjid.
Ngeri,
jeri
Hilang
kata
Mengenang
hampir setahun tsunami Aceh,
uNisA@5 hari terakhir di Singapura…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar