Minggu, 18 Desember 2005

[Cluster-2] Teringat negeri seribu mesjid


//ini hasil migrasi blog, 7 Juli 2015. Pindahan dari unisa81.net// 

tulisan lama: 18 des 2005 , ditengok kembali sbg renungan atas bertubi2nya Jogja, sinjai dan sekarang Pangandaran. Setelah ini…?

Sudah lewat tengah malam waktu Singapura kala itu. Lima pasang mata menatap layar televisi dengan gejolak hati yang bermacam-macam. Namun saya yakin semuanya bermuara pada satu titik rasa walau berbeda cara pengungkapan dan pengekspresiannya. Ibarat karya sastra yang multitafsir, demikian juga raut muka dan gejolak jiwa. Channel news Asia memutar tayangan documenter tentang ledakan krakatau 26-27 August 1883. Salah satu bencana alam terbesar dalam beberapa abad ini. Layakkah disebut bencana jika pada hakikatnya itu adalah hukum alam yang sekadar berjalan mengikuti aturan dan sifatnya. Lalu yang menjadi pembeda apresiasi kita atasnya adalah bagaimana mengubah paradigma tentangnya dan menghubungkannya dengan konsep ketundukkan, kepatuhan dan kehambaan di hadapanNya.

The eruption of Krakatau (Krakatoa) in 1883 created the largest explosion ever heard and produced tsunamis which killed more than 30 000 people. Bunyi letusannya terdengar sampai ke selatan Australia dan kepulauan di sekitarnya. Debu-debu panas berhamburan, maka pesisir barat pulau Jawa laksana dihiasi hujan salju. Salju semu yang membakar. Ombak setinggi awan menyapu dan menghempaskan apa saja yang dilewatinya. Mercusuar seperti dipenggal dan roboh seketika. Semburan gas beracun merenggut ribuan jiwa. Manusia-manusia yang lemah berhamburan kemana-mana tak tentu arah. Daratan seketika berubah menjadi lautan dangkal untuk kembali surut. Keseketikaan yang maha dahsyat.                                                                                                          

Sudah lewat tengah malam waktu Singapura kala itu. Lima pasang mata menatap layar televisi dengan gejolak hati yang bermacam-macam. Narator membahas fenomena tersebut dari segi ilmu pengetahuan dengan ilustrasi-ilustrasi yang menggetarkan jiwa. Lima sosok jiwa tak mampu berkata-kata. Seperti sejarah yang kerap kali mengulang dirinya sendiri. Maka saat inipun turunannya Krakatau akan terus hidup, membesar dan berkembang dan mungkin menunggu saat juga untuk memuntahkan isi perutnya. Mulailah kembali teringat bahwa dalam kitabNya tertulis akan ada hari yang lebih dahsyat dari itu.

Gunung gunung belumlah di hamburkan…
Bintang bintang belumlah berjatuhan…
Lautan belumlah sempurna meluap..
Matahari belumlah digulung…

Langit belumlah terbelah…
Bumi belumlah memuntahkan semua isinya…
Belum… belum diguncangkan dengan sempurna
Ketika seharusnya saat itu benar benar tiba…

Belum.. belum apa apa…
Dibanding hari yang Kau janjikan
Tapi kami sudah menggigil begini hebat
Masih punyakah alasan untuk sombong dan tidak tahu diri?

Sudah lewat tengah malam waktu Singapura kala itu. Lima pasang mata menatap layar televisi dengan gejolak hati yang bermacam-macam. Narator menyajikan cuplikan documenter edisi pekan mendatang, yaitu Asian Tsunami, yang memporakporandakan berbagai daerah di Asia termasuk Aceh, negeri seribu mesjid. Tindakan-tindakan, aksi-aksi, uluran tangan, tulisan dan do’a seketika menghambur dan mengarahkan perhatian pada satu titik di ujung sana, negeri seribu mesjid. Duka, duka dan duka menggantung di langit dan menaungi wajah-wajah yang masih terpana dalam kekagetan di sana, negeri seribu mesjid.

Tangan inipun tak mampu mencoba memetakan tentang apapun yang didengar, dilihat dan dirasakan tentang satu episode yang menggayut di sana, di negeri seribu mesjid. Semoga ya semoga berapapun insan yang tersisa dan bagaimanapun terkoyak jiwa yang ditorehkannya, semoga azan-azan tetap berkumandang indah di langit sana, di negeri seribu mesjid. Semoga kaki-kaki tak pernah enggan melangkah meramaikan majelis-majelis ilmu di sana, di negeri seribu mesjid. Semoga pemuda-pemudi serta seluruh penghuninya selalu tegar hati dalam balutan kekokohan jiwa untuk terus melangkah, bersujud, syukur dan sabar sehingga mampu mengubah luka yang duka menjadi senyuman semanis gula dan gerak langkah yang nyata. Gerak langkah yang merupakan perwujudan proses pengumpulan point menuju hari yang pasti.

Tangan inipun tak mampu mencoba memetakan tentang apapun yang didengar, dilihat dan dirasakan tentang satu episode yang menggayut di sana, di negeri seribu mesjid.
Ngeri, jeri
Hilang kata

Mengenang hampir setahun tsunami Aceh,
uNisA@5 hari terakhir di Singapura…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar