Tampilkan postingan dengan label H2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label H2. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 April 2017

Teko 2 dan Matematika kesukaan

Saya makin menyadari minat H2 (7 tahun) yang sangat tinggi terhadap matematika akhir-akhir ini, dan sepertinya saya harus mulai serius memikirkan penyalurannya.
Awalnya merasa lucu aja ketika di usia 5 tahun dia sangat terobsesi dengan angka2. Dia paham sendiri konsep perkalian dan pembagian saat masih di Belanda (5thn), ketika dia mengasosiasikan bahwa 3 barang @150 Euro sama dengan 900 kotak lemon tea Albert Heijn @50cent. Kemudian menjelaskan ke saya bahwa 16 kali bumi mengelilingi matahari sama dengan 192 kali bulan mengelilingi bumi setelah suatu saat nonton youtube tentang tata surya.
Masih banyak kejutan2 lainnya. Awalnya saya abaikan ketika dalam kesempatan (moment) apapun yg dia cari adalah hal yg berhubungan dengan angka, mulai dari usia, waktu, jumlah makanan, harga-harga, tinggi badan dll. Sebab terkadang kami kesulitan menikmati suasana karena lebih didominasi oleh hal2 numerik.

Suatu malam dia rewel sekali, sebab terus2an minta saya kasih soal matematika (padahal kita lagi nonton family movie di rumah). Ogah2an saya kasih soal, dan selalu dia jawab cepat dan antusias. Sebelum tidur dia maksa lagi dikasih soal perkalian. Akhirnya saya jawab sekenanya "oke deeh, 74 x 3 berapa".
Dalam 5 detik kali ya, dia jawab sambil nyengir "222, bunda!". Saya tanya gimana caranya? "Gampang, 75 x 3, yaitu 225 lalu dikurang 3". Saya tanya kenapa cepat banget tahu 75 x 3?, dia jawab "itu kelipatan 25 kan poin di game Plant vs Zombie"

Oh gitu ya. Ternyata main game bagus juga untuk melatih otak kiri yah. Ya sudahlah kita ikuti dulu kemana arah minat H2 ini yah... Gpp deh jika kamu memang sedemikian terobsesinya dengan angka-angka, asal tetap menikmati masa-masa bermain yak. Tadi dia sempat rehat mikirin angka-angka saat kakaknya ngajak baca buku kisah Nabi dan komik Doraemon (yang harus dibaca berurutan..). Doraemonnya udah banyak, tapi selama ini belum mau baca hingga jumpa no.1. Semua harus sesuai pattern banget lah!

Sehat-sehat selalu ya, Nak
Dan jangan lupa untuk bahagia :-)

Rabu, 17 Februari 2016

Mie ayam van Holland

Mie ayam van Holland
(Chicken Noodle dari Belanda)

Pagi ini anak-anak dapet rejeki hantaran mie ayam dari one of the best chef van Delft. Kakak Fitri Yustina. Mereka yang udah 2 hari ogah2an banget makan karena panas tinggi, mulai menunjukkan minat pada makanan. Tadi malam H1 sempat makan lahap juga sih, minta makanannya kakakAdiska Fardani yang sempat berkunjung. So far, hasil-hasil karya Bundo Reni Unisa di dapur masih dicuekin dengan sentosa ~_~. Introspeksi diri lah mak wink emoticon. Siang ini H2 juga mau makan sedikit setelah dinasehatin kakak Lusi Martalia donk. Alhamdulillah walau suara masih serak di sana sini, abang dan adik udah jauh lebih ceria. Beda banget dengan hari kemaren, layu seperti benang basah.

Kembali ke mie ayam, tentunya bundo juga jadi ikut mencicipi. Pada suapan pertama, bundo langsung freeze. Enaaaaak. Ingatan langsung melayang ke warung2 mie ayam terbaik di jabodetabek. Kakak fitri sempat ceritain sih resep rahasianya, namun belum mampulah otak ini mencerna ðŸ˜†.

Buka PO donk sis wink emoticon

Terimakasih ya kakak2, semoga kebaikan hatinya dibalas dengan nikmat dan barokah yang berlipat ganda. Semoga kita semua diberi kelancaran menghadapi sisa perkuliahan ini. Amin.

Minggu, 23 Agustus 2015

Ini tidak mudah tapi akan kita lewati, Nak

Jauh sebelum mereka datang ke Belanda, aku tahu dan sadar banget bahwa hari ini akan datang. Tepatnya malam ini. Malam menyiapkan keperluan sekolah mereka besok hari. Hari pertama mereka sekolah di Belanda. Dengan bahasa Belanda!

Ketika mereka mendarat di Schipol lebih dari 1.5 bulan yang lalu, kepercayaan diriku begitu tinggi. Ah, masih ada 1.5 bulan, fikirku saat itu. Masih cukup waktu untuk ngajarin mereka tentang toilet ala Belanda. Masih cukup waktu untuk belajar dasar-dasar bahasa Belanda bersama (aku buta banget soal ini). Masih cukup waktu belajar memasak, akan aku pelajari banyak resep masakan yang enak. Masih cukup waktu kami untuk saling mengenal lagi setelah 1 tahun gak berinteraksi intensif. Masih cukup waktu untuk kami memahami bahwa kita ber-3 memang harus saling membantu untuk menghadapi 1 tahun ke depan. Bahkan aku cukup percaya diri aku akan ada waktu untuk nyicil belajar pelajaran tahun ke-2 kuliah, karena yakin banget bakal sering bolos kuliah (terutama kuliah sore). Atau kalau bisa malah mulai mikirin thesis. Terlalu pede!

Namun aku salah.
Bergulirnya sang waktu ternyata jauh lebih cepat dari rencana-rencana kita di atas kertas.

Berpisah selama 1 tahun adalah waktu yang tidak singkat. Apalagi mereka di usia-usia pertumbuhan. Aku memang tak mampu mengembalikan waktu. Dan tak ada yang akan mampu aku lakukan untuk menebus kehilangan 1 tahun kebersamaan itu. Hanya berbekal tekad untuk menghadapi segala rintangan bersama, dan bermodal keyakinan bahwa abang dan adik adalah anak-anak yang baik.


Toilet issue
Toilet things bagi Abang sama sekali gak masalah. Entah kenapa, Abang membuat dirinya begitu mandiri gak lama setelah adik lahir. Di usia 3 tahun kurang udah gak ngompol. Di usia menjelang 4 tahun udah minta bobok sendiri dengan lampu dimatiin. Abang gak banyak ngomong, anaknya indirect. Bahkan jika ada yang dia inginkan, akan dia sampaikan secara tidak langsung. Misal, abang akan memilih ngomong "sepertinya donat itu enak, gimana ya cara bikinnya", daripada "aku ingin makan donat". Lalu matanya akan berbinar-binar bahagia saat aku sambung "hmm, kayaknya enak deh, bunda mau makan donat, abang mau?"

Sebaliknya, bagi adik toilet issue ini adalah hal yang berat. Sodara yang mengasuh adik dari kecil begitu menyayangi adik, bahkan merasa seperti anak sendiri. Masalahnya, kadang bentuk ungkapan rasa sayangnya tidak aku setujui. Misalnya, dengan tetap memakaikan diapers ke adik selama 1 tahun terakhir di Padang, dengan alasan kasihan ~_~. Hasilnya, adik tampak tertatih-tatih belajar mengurangi ketergantungan pada diapers. Minggu-minggu pertama begitu sulit. Adik ngompol, pup di celana, bisa berkali-kali dalam sehari. Dia lelah dan merasa bersalah. Aku juga lelah, sedih dan merasa bersalah atas segala yang dia alami 1 tahun terakhir. Kami berdua belajar. Aku tahu ini gak mudah.

Hal yang membahagiakan adalah, walau adik terllihat tidak semandiri abang dalam mengurus dirinya, namun adik begitu perasa. Aku tahu dia berusaha keras membuktikan dirinya gak ngompol dan gak pup di celana lagi. Diam2 menangis, meminta maaf berulang2, menggigau, bahkan menghukum dirinya jika suatu hari dia keseringan ngompol dan BAB.

Suatu hari saat kita bertiga jalan-jalan ke Leiden, adik ngotot gak mau dipakein diapers. Aku biasanya pakein kalau bepergian ke luar Delft. Dia ngotot, katanya dia ingin seperti abang. Sesampainya di Leiden ternyata dia pup di celana. Saat bersihin celananya, kran air macet, tanganku belepotan BAB-nya. Perasaanku campur aduk, dan tanpa sadar aku menangis. Hahla cengeng yak. Setelah itu aku pindah toilet, dan membersihkan tanganku dan membersihkan badan adik dalam diam.

Malamnya, abang bilang adik barusan curhat bahwa dia menyesal membuat bunda menangis. Adik meminta supaya abang menyampaikan ke bunda bahwa : "Dedek juga akan sehebat abang, gak akan ngompol lagi, karena dedek juga sayang bunda".

Adik yang belum lagi 6 tahun menyampaikan pesan itu untukku. Aku mencari adik. Memeluknya. Mengatakan bahwa bunda juga selalu menyayangi adik, dan bunda sangat bahagia dan menghargai usaha adik untuk gak pakai diapers lagi.

Aahhh, sayang. Di umur sekecil ini kalian dihadapkan pada kondisi-kondisi seperti ini hanya karena aku gak ingin lagi berpisah dengan kalian. Semoga kita semakin saling paham ya, Nak.

Dan besok adalah hari pertama kalian sekolah. Semoga adik dberi kemampuan ya untuk ke toilet sendiri dan belajar membersihkan sendiri, walau dengan kondisi hanya ada tisue. Khas toilet Belanda. Sekolah ini menekankan dari awal bahwa kemandirian adalah salah satu hal yang mereka tekankan di sini. Setiap anak harus bisa ke toilet sendiri dan membersihkan dirinya sendiri. Semoga adik kuat dan semakin tangguh!

Selera Makan

1 tahun sudah mereka di Padang, dan rupanya banyak sekali ketertinggalanku dalam memahami selera makan mereka. Rupanya selama di sana, atas dasar kasih sayang, menu makanan mereka sehari-hari adalah "mau makan apa Nak?", dan bukan "ayo Nak, kita makan".

Lumayan lama waktu yang aku butuhkan untuk menanamkan kembali kepada abang dan adik tentang konsep syukur atas nikmat, termasuk rejeki makanan. Bukan hanya karena kemampuan memasakku yang terbatas, namun aku tak ingin mereka berfikir bahwa rumah adalah restoran, sehingga apapun jenis makanan yang mereka minta akan segera tersedia.

Akhirnya kami belajar lagi dari dasar tentang penghargaan terhadap masakan. Kami bahkan kadang memasak bareng. Mereka jadi tahu proses bikin gulai ayam, cara membuat bakso, dan konsep-konsep dasar memasak sayur. Mereka juga belajar tentang manfaat makanan-makanan itu. Perlahan mereka belajar untuk menghargai apapun yang tersedia di meja makan. Mensyukuri dan menikmati. Tentang berterimakasih. Menghargai perjuangan menghadirkannya ke meja makan. Menikmati sebuah proses, terlibat di dalamnya, dan menghargai hasilnya.

Alhamdulillah sekarang apapun yang aku masak mereka akan makan. Namun tentunya pembelajaran ini masih terus berlanjut. Tarbiyah untukku dan untuk mereka. Luar biasa. Kepayahan dan keletihan yang aku yakin akan menghasilkan buah yang insyaAllah manis. Aku yang tadinya bahkan gak tahu bedanya ketumbar, jahe dan lengkuas, tiba-tiba menjadi harus mampu menghasilkan sesuatu yang layak dimakan di meja makan.  Mereka yang tadinya terbiasa menyebutkan menu-menu lauk pauk, tiba-tiba dihadapkan pada sebuah rumus-rumus panjang tentang dunia dapur, mengolah makanan dan menghargai setiap prosesnya.

Selera Belajar 

Seperti sudah kuduga, rasa ingin tahu adik terhadap pelajaran semakin tak terbendung.  Di usia 2 tahun sudah mengerti abjad, di usia 4,5 tahun sudah lacar membaca textbook berbahasa Indonesia. Sebuah kondisi yang terus terang bukan aku yang merancangnya. Adik sendiri yang menantang dirinya dan mengkondisikan dirinya menjadi seperti itu. Selama di Jakarta aku nyaris selalu pulang malam, yang aku lakukan biasanya hanya menyediakan alat2 bermain dan perangkat belajar mandiri. Dan aku tidak membuat target apapun buat mereka di usia dini. Yang penting masa kecil mereka bahagia, mereka menghargai dirinya dan orang lain. Jadi hanya bisa  terkaget-kaget setiap kali adik menunjukkan progress yang mencengangkan.

Namun aku mulai menangkap perasaan tak nyaman pada diri Abang, ketika dia menceritakan bahwa setiap kali ngerjain PR di Padang, beberapa anggota keluarga selalu meminta agar adik yang ngajarin. Dan aku yakin sesekali pasti terselip ucapan-ucapan yang membanding-bandingkan mereka berdua. Maka di Belanda ini, aku berusaha menetralkan segala perasaan-perasaan yang tak nyaman yang mungkin pernah ada. Baik perasaan tak nyaman Abang yang selalu merasa dibandingkan, mau pun perasaan tak nyaman adik yang selalu di kondisikan pada ultimate position "pasti lebih tahu".

Lagi-lagi ini gak gampang. Akupun masih belajar. Belajar mengenal mereka kembali. Belajar memahami kembali apa core interest masing-masing mereka. Aku masih meyakinin bahwa, setiap anak unik, dan memerlukan penanganan yang berbeda.

Belajar Mandiri

Demikianlah beberapa issue utama yang kami hadapi. Adapun  dalam hal urusan kerumahtanggaan, kami bagi-bagi tugas, Abang dan adik belajar memahami bahwa kerapian dan kebersihan rumah adalah tanggung jawab bersama. Perlahan mereka juga mulai merhargai usaha  mereka untuk membuat suasana rumah menjadi rapi dan bersih. Sebuah pengalaman yang setahun terakhir tak lagi mereka dapatkan, karena masalah kebersihan dan kerapian rumah adalah sesuatu yang berada di luar diri mereka.

Demikian, sekelumit kisah.

Besok mereka sekolah untuk pertama kalinya di Belanda. Alhamdulillah jadwal sekolah mereka 1 minggu lebih awal daripada jadwal kuliahku. Sehingga aku masih ada waktu 1 minggu untuk mempelajari bagaimana mereka menghadapi situasi baru ini. Aku ada waktu seminggu untuk meng-adjust diriki, menyesuaikan ekspektasi, menyamakan persepsi, dll, sehingga berharap menemukan sebuah pola yang akan menjadi win win solution untuk kelanjutkan perkuliahanku di Belanda ini sambil tetap menjalankan keselarasan fungsi sebagai ibu bagi mereka.

Berpisah selama 1 tahun adalah waktu yang tidak singkat. Apalagi mereka di usia-usia pertumbuhan. Aku memang tak mampu mengembalikan waktu. Dan tak ada yang akan mampu aku lakukan untuk menebus kehilangan 1 tahun kebersamaan itu. Hanya berbekal tekad untuk menghadapi segala rintangan bersama, dan bermodal keyakinan bahwa abang dan adik adalah anak-anak yang baik.

Semoga Allah memampukan diriku untuk menjadi ibu yang membuat mereka kembali nyaman. Menjadi ibu yang membuat mereka akan selalu berfikir bahwa kelak mereka akan punya bekal yang selalu membuat mereka yakin bahwa "tak ada badai yang tak selesai".

Selamat berjuang, wahai anak-anakku sayang...

Delft,
23 Agustus 2015