Minggu, 23 Agustus 2015

Ini tidak mudah tapi akan kita lewati, Nak

Jauh sebelum mereka datang ke Belanda, aku tahu dan sadar banget bahwa hari ini akan datang. Tepatnya malam ini. Malam menyiapkan keperluan sekolah mereka besok hari. Hari pertama mereka sekolah di Belanda. Dengan bahasa Belanda!

Ketika mereka mendarat di Schipol lebih dari 1.5 bulan yang lalu, kepercayaan diriku begitu tinggi. Ah, masih ada 1.5 bulan, fikirku saat itu. Masih cukup waktu untuk ngajarin mereka tentang toilet ala Belanda. Masih cukup waktu untuk belajar dasar-dasar bahasa Belanda bersama (aku buta banget soal ini). Masih cukup waktu belajar memasak, akan aku pelajari banyak resep masakan yang enak. Masih cukup waktu kami untuk saling mengenal lagi setelah 1 tahun gak berinteraksi intensif. Masih cukup waktu untuk kami memahami bahwa kita ber-3 memang harus saling membantu untuk menghadapi 1 tahun ke depan. Bahkan aku cukup percaya diri aku akan ada waktu untuk nyicil belajar pelajaran tahun ke-2 kuliah, karena yakin banget bakal sering bolos kuliah (terutama kuliah sore). Atau kalau bisa malah mulai mikirin thesis. Terlalu pede!

Namun aku salah.
Bergulirnya sang waktu ternyata jauh lebih cepat dari rencana-rencana kita di atas kertas.

Berpisah selama 1 tahun adalah waktu yang tidak singkat. Apalagi mereka di usia-usia pertumbuhan. Aku memang tak mampu mengembalikan waktu. Dan tak ada yang akan mampu aku lakukan untuk menebus kehilangan 1 tahun kebersamaan itu. Hanya berbekal tekad untuk menghadapi segala rintangan bersama, dan bermodal keyakinan bahwa abang dan adik adalah anak-anak yang baik.


Toilet issue
Toilet things bagi Abang sama sekali gak masalah. Entah kenapa, Abang membuat dirinya begitu mandiri gak lama setelah adik lahir. Di usia 3 tahun kurang udah gak ngompol. Di usia menjelang 4 tahun udah minta bobok sendiri dengan lampu dimatiin. Abang gak banyak ngomong, anaknya indirect. Bahkan jika ada yang dia inginkan, akan dia sampaikan secara tidak langsung. Misal, abang akan memilih ngomong "sepertinya donat itu enak, gimana ya cara bikinnya", daripada "aku ingin makan donat". Lalu matanya akan berbinar-binar bahagia saat aku sambung "hmm, kayaknya enak deh, bunda mau makan donat, abang mau?"

Sebaliknya, bagi adik toilet issue ini adalah hal yang berat. Sodara yang mengasuh adik dari kecil begitu menyayangi adik, bahkan merasa seperti anak sendiri. Masalahnya, kadang bentuk ungkapan rasa sayangnya tidak aku setujui. Misalnya, dengan tetap memakaikan diapers ke adik selama 1 tahun terakhir di Padang, dengan alasan kasihan ~_~. Hasilnya, adik tampak tertatih-tatih belajar mengurangi ketergantungan pada diapers. Minggu-minggu pertama begitu sulit. Adik ngompol, pup di celana, bisa berkali-kali dalam sehari. Dia lelah dan merasa bersalah. Aku juga lelah, sedih dan merasa bersalah atas segala yang dia alami 1 tahun terakhir. Kami berdua belajar. Aku tahu ini gak mudah.

Hal yang membahagiakan adalah, walau adik terllihat tidak semandiri abang dalam mengurus dirinya, namun adik begitu perasa. Aku tahu dia berusaha keras membuktikan dirinya gak ngompol dan gak pup di celana lagi. Diam2 menangis, meminta maaf berulang2, menggigau, bahkan menghukum dirinya jika suatu hari dia keseringan ngompol dan BAB.

Suatu hari saat kita bertiga jalan-jalan ke Leiden, adik ngotot gak mau dipakein diapers. Aku biasanya pakein kalau bepergian ke luar Delft. Dia ngotot, katanya dia ingin seperti abang. Sesampainya di Leiden ternyata dia pup di celana. Saat bersihin celananya, kran air macet, tanganku belepotan BAB-nya. Perasaanku campur aduk, dan tanpa sadar aku menangis. Hahla cengeng yak. Setelah itu aku pindah toilet, dan membersihkan tanganku dan membersihkan badan adik dalam diam.

Malamnya, abang bilang adik barusan curhat bahwa dia menyesal membuat bunda menangis. Adik meminta supaya abang menyampaikan ke bunda bahwa : "Dedek juga akan sehebat abang, gak akan ngompol lagi, karena dedek juga sayang bunda".

Adik yang belum lagi 6 tahun menyampaikan pesan itu untukku. Aku mencari adik. Memeluknya. Mengatakan bahwa bunda juga selalu menyayangi adik, dan bunda sangat bahagia dan menghargai usaha adik untuk gak pakai diapers lagi.

Aahhh, sayang. Di umur sekecil ini kalian dihadapkan pada kondisi-kondisi seperti ini hanya karena aku gak ingin lagi berpisah dengan kalian. Semoga kita semakin saling paham ya, Nak.

Dan besok adalah hari pertama kalian sekolah. Semoga adik dberi kemampuan ya untuk ke toilet sendiri dan belajar membersihkan sendiri, walau dengan kondisi hanya ada tisue. Khas toilet Belanda. Sekolah ini menekankan dari awal bahwa kemandirian adalah salah satu hal yang mereka tekankan di sini. Setiap anak harus bisa ke toilet sendiri dan membersihkan dirinya sendiri. Semoga adik kuat dan semakin tangguh!

Selera Makan

1 tahun sudah mereka di Padang, dan rupanya banyak sekali ketertinggalanku dalam memahami selera makan mereka. Rupanya selama di sana, atas dasar kasih sayang, menu makanan mereka sehari-hari adalah "mau makan apa Nak?", dan bukan "ayo Nak, kita makan".

Lumayan lama waktu yang aku butuhkan untuk menanamkan kembali kepada abang dan adik tentang konsep syukur atas nikmat, termasuk rejeki makanan. Bukan hanya karena kemampuan memasakku yang terbatas, namun aku tak ingin mereka berfikir bahwa rumah adalah restoran, sehingga apapun jenis makanan yang mereka minta akan segera tersedia.

Akhirnya kami belajar lagi dari dasar tentang penghargaan terhadap masakan. Kami bahkan kadang memasak bareng. Mereka jadi tahu proses bikin gulai ayam, cara membuat bakso, dan konsep-konsep dasar memasak sayur. Mereka juga belajar tentang manfaat makanan-makanan itu. Perlahan mereka belajar untuk menghargai apapun yang tersedia di meja makan. Mensyukuri dan menikmati. Tentang berterimakasih. Menghargai perjuangan menghadirkannya ke meja makan. Menikmati sebuah proses, terlibat di dalamnya, dan menghargai hasilnya.

Alhamdulillah sekarang apapun yang aku masak mereka akan makan. Namun tentunya pembelajaran ini masih terus berlanjut. Tarbiyah untukku dan untuk mereka. Luar biasa. Kepayahan dan keletihan yang aku yakin akan menghasilkan buah yang insyaAllah manis. Aku yang tadinya bahkan gak tahu bedanya ketumbar, jahe dan lengkuas, tiba-tiba menjadi harus mampu menghasilkan sesuatu yang layak dimakan di meja makan.  Mereka yang tadinya terbiasa menyebutkan menu-menu lauk pauk, tiba-tiba dihadapkan pada sebuah rumus-rumus panjang tentang dunia dapur, mengolah makanan dan menghargai setiap prosesnya.

Selera Belajar 

Seperti sudah kuduga, rasa ingin tahu adik terhadap pelajaran semakin tak terbendung.  Di usia 2 tahun sudah mengerti abjad, di usia 4,5 tahun sudah lacar membaca textbook berbahasa Indonesia. Sebuah kondisi yang terus terang bukan aku yang merancangnya. Adik sendiri yang menantang dirinya dan mengkondisikan dirinya menjadi seperti itu. Selama di Jakarta aku nyaris selalu pulang malam, yang aku lakukan biasanya hanya menyediakan alat2 bermain dan perangkat belajar mandiri. Dan aku tidak membuat target apapun buat mereka di usia dini. Yang penting masa kecil mereka bahagia, mereka menghargai dirinya dan orang lain. Jadi hanya bisa  terkaget-kaget setiap kali adik menunjukkan progress yang mencengangkan.

Namun aku mulai menangkap perasaan tak nyaman pada diri Abang, ketika dia menceritakan bahwa setiap kali ngerjain PR di Padang, beberapa anggota keluarga selalu meminta agar adik yang ngajarin. Dan aku yakin sesekali pasti terselip ucapan-ucapan yang membanding-bandingkan mereka berdua. Maka di Belanda ini, aku berusaha menetralkan segala perasaan-perasaan yang tak nyaman yang mungkin pernah ada. Baik perasaan tak nyaman Abang yang selalu merasa dibandingkan, mau pun perasaan tak nyaman adik yang selalu di kondisikan pada ultimate position "pasti lebih tahu".

Lagi-lagi ini gak gampang. Akupun masih belajar. Belajar mengenal mereka kembali. Belajar memahami kembali apa core interest masing-masing mereka. Aku masih meyakinin bahwa, setiap anak unik, dan memerlukan penanganan yang berbeda.

Belajar Mandiri

Demikianlah beberapa issue utama yang kami hadapi. Adapun  dalam hal urusan kerumahtanggaan, kami bagi-bagi tugas, Abang dan adik belajar memahami bahwa kerapian dan kebersihan rumah adalah tanggung jawab bersama. Perlahan mereka juga mulai merhargai usaha  mereka untuk membuat suasana rumah menjadi rapi dan bersih. Sebuah pengalaman yang setahun terakhir tak lagi mereka dapatkan, karena masalah kebersihan dan kerapian rumah adalah sesuatu yang berada di luar diri mereka.

Demikian, sekelumit kisah.

Besok mereka sekolah untuk pertama kalinya di Belanda. Alhamdulillah jadwal sekolah mereka 1 minggu lebih awal daripada jadwal kuliahku. Sehingga aku masih ada waktu 1 minggu untuk mempelajari bagaimana mereka menghadapi situasi baru ini. Aku ada waktu seminggu untuk meng-adjust diriki, menyesuaikan ekspektasi, menyamakan persepsi, dll, sehingga berharap menemukan sebuah pola yang akan menjadi win win solution untuk kelanjutkan perkuliahanku di Belanda ini sambil tetap menjalankan keselarasan fungsi sebagai ibu bagi mereka.

Berpisah selama 1 tahun adalah waktu yang tidak singkat. Apalagi mereka di usia-usia pertumbuhan. Aku memang tak mampu mengembalikan waktu. Dan tak ada yang akan mampu aku lakukan untuk menebus kehilangan 1 tahun kebersamaan itu. Hanya berbekal tekad untuk menghadapi segala rintangan bersama, dan bermodal keyakinan bahwa abang dan adik adalah anak-anak yang baik.

Semoga Allah memampukan diriku untuk menjadi ibu yang membuat mereka kembali nyaman. Menjadi ibu yang membuat mereka akan selalu berfikir bahwa kelak mereka akan punya bekal yang selalu membuat mereka yakin bahwa "tak ada badai yang tak selesai".

Selamat berjuang, wahai anak-anakku sayang...

Delft,
23 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar